Kamis, 13 Juni 2013

Diri sendiri



Kota Batu, 24 Maret 2013

            Mereka yang ingin memahami kebenaran sejati, maka ia harus
memahami kebenaran bagi dirinya sendiri. Setelah ia tahu tentang suatu kebenaran, maka ia selayaknya kuat dan tegar apabila kritikan menghampirinya, karena kritikan merupakan suatu evaluasi dalam meningkatkan mutu hidup, apabila kritikan ditanggap secara negatif, maka kritikan itu menyakitkan, melukai perasaan dan sulit untuk diterima. Sebaliknya kita jangan terlena kepada pujian, karena pujian merupakan pendukung motivasi diri untuk lebih dapat ditingkatkan menjadi kualitas hidup, apabila pujian dijadikan sebagai pedoman kesombongan, maka diri ini akan menganggap “Akulah yang terhebat,Akulah....,....”, sehingga manusia akan lupa dengan menyadari siapa dirinya?!
            Jika seseorang tidak memiliki kepercayaan terhadap dirinya sendiri, maka pada saat kritikan datang yang menyatakan bahwa ia buruk, maka ia akan merasa dirinya buruk, jika seseorang menyatakan diri kita buruk, maka kita menanggapinya dengan cara, kita melakukan pengamatan diri, apabila tidak benar kita hiraukan, sebaliknya benar kita belajarlah dari mereka.
            Dalam dua permasalahan di atas, mengapa harus marah? jika anda dapat melihat segala sesuatu seperti ini, anda benar-benar berada dalam kedamaian. Tidak ada yang salah, yang ada hanyalah kebenaran, karena anda mampu menjadikan kritikan sebagai evaluasi perbaikan diri, sehingga dalam kegiatan selanjutnya diharapkan membawa pengendalian diri jauh lebih baik, dan pujian juga sebagai penyemangat diri dalam menjalankan aktifitas
            Seorang yang bijak, mereka akan berfikir dan melakukan pembinaan diri terlebih dahulu, untuk membina dirinya, ia lebih dulu meluruskan hatinya, untuk meluruskan hatinya, ia terlebih dahulu memantapkan tekadnya, untuk memantapkan tekadnya, maka ia terlebih dahulu mencukupi pengetahuannya, untuk mencukupi pengetahuannya, maka ia meneliti hakikat setiap perkara, dengan meneliti hakikat setiap perkara, maka cukuplah pengetahuannya, dengan cukup pengetahuannya, akan dapat memantapkan tekadnya, dengan memantapkan tekadnya, maka ia dapat meluruskan hatinya, dengan hati yang lurus, maka ia dapat membina dirinya sendiri, sehingga dapat tercapailah tujuan yang damai dan harmonis.
            Jika anda betul-betul menggunakan alat kebenaran, anda tidak perlu merasa iri terhadap orang lain. Oleh karena itu, orang malas hanya ingin mendengarkan dan percaya, kita akan bisa mandiri, mampu menghidupi diri sendiri dengan usaha sendiri. Terkadang kita menemukan suatu masalah dalam hidup, hal tersebut merupakan suatu tantangan yang perlu seseorang pecahkan, sehingga menemukan solusi dalam masalahnya tersebut.
            Tidak sedikit orang mengalami stres ataupun depresi ringan hingga yang berat, apabila mereka tidak mampu melewati problem itu, maka bisa saja jalan pintas yang dianggap pantas bisa mereka lakukan, yaitu bunuh diri, maka sebelum problem yang muncul didalam diri berlarut, ada upaya untuk mencegahnya dengan cara seseorang dapat mengolah diri sendiri melalui pengembangan batin dengan mendalami spritualitas sebagai kunci atau pondasi penguat pedoman kehidupan ini.
            Batin seseorang yang rapuh, sangat mudah dirobohkan, ibarat pohon yang tidak memiliki akar yang kuat, maka pada saat pohon itu diterjang angin, pohon tersebut akan tumbang dengan mudah, sebaliknya apabila seseorang telah menanamkan keyakinan yang kuat pada pemahaman agama dan terpenting telah mampu mempraktikkan ajaran agamanya dengan baik, benar dan bijaksana, maka kerapuhan hati terhadap problem apapun dapat dilewati dengan tenang dan damai, diibarat pohon yang telah tertanam dengan kuat, hingga akarnya dapat menjalar keatas tanah, sehingga angin maupun badai tidak mampu mengguncangkannya.
            Ada sebuah cerita, seorang anak tunggal dari keluarga yang sederhana, Ayah dan ibunya memiliki keyakinan yang berbeda dengannya, memiliki harapan agar anaknya dapat bekerja, berumah tangga, dan tidak boleh terlalu mendalami keyakinan yang dianut oleh anaknya, kedua orang tuanya tersebut sangat mengkhawatirkan apabila anaknya melangkah untuk tidak berumah tangga menjadi seorang Imam dari agamnyanya itu. Sehingga pada saat remaja anak ini dibatasi ruang pergaulannya terutama dalam hal keagamaan, pada sewaktu ketika anak tersebut melangkah untuk menempuh pendidikan diluar pulau tempat mereka tinggal.
Pada saat anak ini menempuh pendidikan, kedua orang tuanya hanya bisa meratapi dan berharap agar si anak dapat melepaskan ikatan keagamaannya, dengan cara ditelepon sepanjang saat, tentunya si anak memiliki komitmen bahwa agama adalah hak asasi setiap orang dan tidak dapat diganggu gugat karena hal tersebut telah tercatat dalam UUD 1945. usaha dari kedua orang tuanya terus menghantui si anak, agar anaknya dapat memenuhi keinginan mereka, sedangkan pada kenyataan kedua orang tuanya sudah tidak bersama, tidak pernah membiayai pendidikan anaknya dan belum tentu mereka dapat menjamin si anak, apabila melepaskan pendidikan keagamaannya bisa memiliki masa depan yang cerah. si anak terus berjuang untuk meluluskan pendidikannya, dan apabila kekuatan kebaikannya mendukung anak tersebut akan meneruskan cita-cita mulia menjadi Imam, meskipun kedua orang tuanya tidak mendukung, kerena ini sebuah tekad yang muncul dari sebuah panggilan hati nurani yang paling dalam.
Sebagai orang tua yang bijaksana tentunya memiliki toleransi dalam beragama dan memberikan kebebasan bagi anak untuk memilih dan memutuskan masa depan yang akan dia jalankan, bukan sebaliknya orang tua menjadi hakim yang memutuskan dan menuntut anak seperti apa yang diinginkan. Pada dasarnya diri sendiri terbentuk menjadi baik maupun tidak tergantung dari lingkungan keluarga, masyarakat yang mempengaruhinya.
Teori Naturalisme diungkapkan oleh seorang filsuf Prancis bernama J.J. Rousseaue. Teori ini mengatakan bahwa setiap anak yang baru lahir pada hakikatnya memiliki pembawaan baik, namun pembawaan baik itu dapat berubah sebaliknya karena dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan tersebut dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Aliran ini juga dikenal sebagai aliran Negativisme.  (H.7) . “Segala sesuatu adalah baik ketika ia baru keluar dari alam, dan segala sesuatu menjadi jelek manakala ia sudah berada di tangan manusia ”. Seorang anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, maka anak tersebut harus diserahkan ke alam. Kekuatan alam akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir secara alamiah sejak kelahiran anak tersebut. Dengan kata lain J.J.Rousseaue menginginkan perkembangan anak dikembalikan ke alam yang mengembangkan anak secara wajar karena hanya alamlah yang paling tepat menjadi guru.  (H 8).
Diri sendiri adalah sebagai penentu masa depan, karena semua rencana, hingga keputusan hanyalah kita seorang diri yang dapat memutuskan, orang lain hanya sebagai penasehat, bukan hakim dan juga bukan jaksa penuntut, sehingga langkah awal kita agar memiliki sebuah keputusan yang cemerlang adalah kita dapat mengasah dunia spritualitas dengan baik sehingga arah dari masa depan yang berlandas pada rencana dapat terlealisasi dengan harapan yang memuaskan.
 Terus maju....., berkarya untuk alam.... dan salam sukses luar biasa...!!!

Refrensi:
Guttadhammo. 2011. Inspirasi Kehidupan 1. Temanggung.
Susanto, Jusuf. 2007. Kearifan Timur dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin. PT. Kompas
Media Nusantara. Jakarta.

Rabu, 12 Juni 2013

Kegiatan Samanera Vimalaseno

Menulis Artikel




Mengisi Dhamma TV



Kegiatan Padepokan Dhammadipa Arama

Kunjungan Suster Khatolik
 Kunjungan Lama Tibet



KARMA




Kota Batu, 31 Mei 2013
Samanera Vimalaseno

Yâni karoti puriso Tâni attani passati.
Perbuatan apa yang dilakukan seseorang, itulah yang dilihatlah dalam dirinya.

Kebahagiaan duniawi (perumah tangga) tentu masih mengandung unsur nafsu keinginan (Taṇha), dan kemelekatan (upᾱdᾱna), apabila dikejar maka kedua unsur itu akan membawa dampak munculnya Dukkha, sebab dukkha adalah Taṇha dan upᾱdᾱna, jalan terhentinya dukkha adalah memadamkan Taṇha dan upᾱdᾱna dengan cara jalan mulia berfaktor delapan. Taṇha dan upᾱdᾱna apabila dikejar untuk dipenuhi dapat digambarkan seperti seseorang yang sedang haus yang diberi minum air garam, maka rasa haus itu semakin menjadi dan tidak akan terobati dengan segelas air garam,seperti contoh orang yang ingin punya rumah baru, sudah punya rumah baru, tidak puas bentuk rumah, tambah lantai dua, tidak puas tambah lantai tiga, tidak puas pindah rumah baru, punya motor baru tidak puas di modif mengikuti gaya jaman sekarang, ada model baru, ganti motor baru dan modif motor baru, bahkan bosan dengan suami dan isteri ganti atau nambah suami dan isteri baru, dari kesemua itu akan membawakan kemelekatan dan apabila berpisah dengan apa yang dimiliki/ dicintai orang tersebut akan menderita. Pada dasarnya manusia ini serakah dan tidak pernah puas, inilah dikatakan adanya Taṇha (nafsu keinginan) dan kemelekatan (upᾱdᾱna).
 Niat (Cetanᾱ)/ pikiran seseorang kepada obyek itu telah dikatakan Kamma, belum termasuk ucapan dan perbuatan bada jasmani. Perbuatan dari pikiran disebut (mano kamma), ucapan (vaci kamma), tindakan jasmani (kᾱya kamma), perbuatan baik melalui pikiran disebut (kusala mano kamma), ucapan (kusala vaci kamma), tindakan jasmani (kusala kᾱya kamma), dan sebaliknya perbuatan tidak baik dari pikiran disebut (akusala mano kamma), ucapan (akusala vaci kamma), tindakan jasmani (akusala kᾱya kamma), dari semua perbuatan akan membuahkan hasil perbuatan yaitu Vipᾱka Kamma.
Di dalam kehidupan bermasyarakat tentu kita akan menjumpai berbagai macam jenis karakter orang lain, tentu  di dalam Aṅguttara Nikᾱya; III;2, dijelaskan orang tolol ditandai dengan prilakunya, orang bijaksana ditandai oleh prilakunya, kebijaksanaan memancar terang prilakunya. Lewat tiga hal orang tolol dapat dikenali: lewat perilaku tubuh, ucapan, dan pikiran yang buruk. Lewat tiga hal orang bijaksana dapat dikenali: lewat perilaku tubuh, ucapan, dan pikirannya yang baik.
Apabila kita merenung dari hakikat kehidupan ini, manusia tidak dapat terlepas dari kamma, kamma identik dengan perbuatan, perbuatan itu baik hasilnya pun baik seperti kebahagiaan, dan sebaliknya perbuatan buruk, hasilnya juga buruk adalah penderitaan, ada orang bertanya kenapa orang baik ada yang hidupnya kurang beruntung, orang baik matinya cepat, malah sebaliknya orang jahat lebih beruntung, umurnya panjang. Apabila kita boleh meninjau, makhluk tidak cukup lahir saat ini saja, melainkan setiap makluk mengalami kelahiran yang tidak terhitung  jumlahnya, karena pada dasarnya alam dalam agama buddha ada 31 alam, terbagi menjadi 4 alam menderita (ᾱpaya bhūmi), 11 alam masih melekat pada kesenangan (Kᾱmasugati Bhūmi), 16 alam Rupa Bhūmi , dan 4 alam Arupa Bhūmi. Tentu apabila kita melihat orang baik umurnya pendek atapun kurang beruntung tentu dilihat dari segi yang lain salah satunya faktor kamma masa lalu sebagai pendukung dikehidupan saat ini, selain itu faktor lain karena ia lengah, tidak waspada, dan lain sebagainya, demikian pula orang tidak baik lebih beruntung dan usianya panjang, dilihat faktor karma masa lalu sebagai penopang kehidupan saat ini dan kondisi/ faktor lainnya juga yang mendukung.
Kamma tidak sama dengan takdir, kamma masih dapat dirubah, akan tetapi takdir adalah keputusan yang tidak dapat diganggu gugat, perlu diketahui bahwa kamma bukan faktor/ kondisi yang tunggal, apabila kamma dikatakan faktor / sebab yang tunggal, maka akan muncul kesalahpahaman terhadap bunyi hukum kamma, yaitu hukum perbuatan, barang siapa yang menabur, maka ia harus memetik/ menuai hasil dari apa yang ia tabur/ ia tuai. Cara kerja Kamma dapat diperumpakan seperti layaknya seorang petani, yang menabur bibit padi yang berkualitas maupun yang tidak berkualitas dilahan yang subur maupun yang tidak subur, menggunakan pupuk maupun tidak, dengan perawatan maupun tidak, maka padi itu akan tumbuh dan panen dengan akibat yang dikondisikan pada sebab-sebab sebelumnya.
            Kamma akan bekerja sesuai dengan hukumnya, tidak mungkin seorang petani yang menabur bibit padi akan menuai hasil kangkung, ataupun bayam, karena apabila seseorang melakukan kebaikan maka sebagai hasil ia akan memetik buah dari kebahagiaan, dan sebaliknya apabila ia menabur benih keburukan maka ia akan menuai hasil dari buah penderitaan, tentu padi yang tanam akan memerlukan waktu untuk panen, tidak mungkin mengharap dalam waktu 1 hari padi dapat panen, karena itu adalah hal yang mustahil.
            Demikian kebanyakan orang baru melakukan sedikit kebaikan sudah sangat berharap mendapatkan sejuta berkah, apabila tidak terpenuhi karena kondisi kebaikan yang dilakukan tidak seimbang dengan apa yang diminta, maka ia akan kecewa dan menyalahkan sosok yang dianggap yang pemberi berkah adalah jahat dan tidak adil. Sebaliknya seseorang yang telah melakukan kesalahan yang berat sekalipun ingin kesalahannya itu dihapus, apabila perbuatan buruk dapat dihapus, ditebus, maka neraka tentu juga dapat dihapus dari kitab suci, karena tidak lagi ada orang berbuat salah dan telah di hapus/ ditebus.
Kalau hal demikian dapat digambarkan sebuah paku yang telah tertancap disebatang kayu, pada saat kayu dicabut, maka kayu itu akan berbekas lubang, demikian perbuatan baik ataupun buruk yang telah dilakukan maka itu akan membekas dalam diri pelakunya, apabila perbuatan itu baik, ia akan menikmati buah dari kebaikannya yaitu kebahagiaan, sebaliknya apabila ia melakukan perbuatan buruk, ia harus bertanggung jawab dari apa yang telah ia lakukan, menerima hasil penderitaan dari keburukan yang ditancapkan dalam hidupnya, disinilah ajaran Buddha yang mengajarkan umatnya untuk dapat berlaku mandiri, dan tidak menjadi pengemis spritual dengan meminta dan memohon pengampunan kesalahan, serta memohon dan meminta berkah, sebaliknya umat Buddha yang memahami Dhamma dapat membuat kondisi berkah maupun penderitaan bagi dirinya sendiri.
            Pada dasarnya manusia tidak akan pernah bisa / belum siap untuk menerima kenyataan hidup, seperti berbagai kasus yang terjadi di masyarakat: rambut yang sudah beruban (memutih), karena tidak mau dianggap tua, ia semir hitam, tidak mau dibilang tua, hidung pesek, muka jerawatan, mukanya dioperasi kulit agar terlihat seperti anak muda, cantik, mancung dan  ada yang tidak mau sakit, maka ia selalu mengkonsumsi obat-obat/ hidup ketergantungan obat-obatan, takut kulitnya rusak, menggunakan kosmetik secara berlebihan, serta takut mati, maka ia tidak pernah mau tahu  soal kematian, bahkan tetangganya meninggal, ia tidak mau menghadiri, selalu berdoa agar umurnya panjang, apabila kita merenungkan mereka adalah orang-orang yang hidup dalam ketakutan dan berharap agar tidak ada yang berubah di dalam dirinya, tentu didalam ABHIṆHAPACCAVEKHAṆA PᾹṬHA dijelaskan:
Aku Wajar mengalami usia tua.
aku takkan mampu menghindari usia tua.
aku wajar mengalami sakit.
aku takkan mampu menghindari sakit.
aku wajar mengalami kematian.
aku takkan mampu menghidari kematian.
segala milikku yang kucintai, kusenangi wajar berubah, wajar terpisah dariku.
aku adalah pemilik perbuatanku sendiri,
terwarisi oleh perbuatanku sendiri,
lahir dari perbuatanku sendiri,
berkerabat dengan perbuatanku sendiri,
tergantung pada perbuatanku sendiri.
Perbuatan apa pun yang akan kulakukan baik ataupun buruk,
perbuatan itulah yang akan kuwarisi.
Demikian hendaknya kerap kali kita renungkan.
            Dengan demikian setelah kita pahami bahwa segala sesuatu yang dilahirkan akan melewati masa tua, sakit dan mati. Memang kelahiran, tua dan sakit tidaklah pasti, akan tetapi kematian adalah pasti. Apabila kita mengerti hukum Tilakkhaṇa dengan adanya anicca (ketidakkekalan) maka adanya Dukkha (ketidakpuasan) dan anatta (tanpa inti/ roh), maka kita akan menjalani hidup ini dengan kewaspadaan dan happy (bahagia) tanpa beban dan permusuhan.
            Marilah Saudara-saudari se-Dhamma kita selalu berbuat baik setiap saat ini adalah hal yang sangat dituntut, sehingga kamma baik akan tercipta dari pikiran, ucapan dan tindakan jasmani, dari melatih Sῑla dan Samᾱdhi serta Kebijaksanaan akan diperoleh, sehingga dari timbunan kamma baik akan menghantarkan umat Buddha untuk dapat merealisasi untuk mencapai Nibbᾱna.

Refrensi:
Nyanaponika, Bodhi. 2003. Petikan Aṅguttara Nikᾱya. Vihᾱra Bodhivaṁsa, Wisma
Dhammaguṇa. Klaten

Dhammadhῑro. 2009. Paritta Suci kumpulan wacana Pᾱli untuk Upacara dan Pūj. Yayasan
Saṅgha Theravᾱda Indonesia. Jakarta

Kaharudin. 2004. Kamus Umum Buddha Dharma (Pᾱli-Sansekerta-Indonesia). Tri Sattva
Buddhist Centre. Jakarta























Persembahan Bermanfaat Besar



Yathᾱ pi puppharᾱsimhᾱ
kayirᾱ mᾱlᾱguṇe bahū
evaṁ jᾱtena maccena
kattabbaṁ kusalaṁ bahuṁ

seperti setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga,
demikian pula hendaknya banyak kebajikan
dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.
(Dhammapada, Puppha Vagga;53)


            Ada istilah lain mengatakan Persembahan sama dengan Pemberian, arti sebuah persembahan adalah memberikan suatu tanda hormat berupa materi maupun non materi, yang dikatakan materi tentunya yang tampak oleh kasat mata, seperti uang, kado, rumah, motor, mobil.  Sebaliknya non materi tidak tertampak oleh mata kasar, melainkan berkaitan dengan kualitas batin, seperti ketaatan ibadah, perhatian, nasehat, kebahagiaan.
Masyarakat pada umumnya akan mempertanyakan persembahan apa yang cocok diberikan kepada sosok yang dianggap berarti didalam hidupnya, seperti pada remaja dalam mencari jati dirinya, ia rela berkorban untuk mempersembahkan waktu, materi untuk dapat mengenali lawan jenis yang ia sukai, demi mendapatkan cinta dengan kepuasan dan kebahagiaan duniawi.
            Adapula orang tua yang ingin menyenangkan buah hatinya pada saat berulang tahun dengan mempersembahkan kado kesukaan anaknya, dan masih banyak bentuk persembahan kepada orang-orang yang dianggap berarti didalam hidup ini.
            Persembahan dalam agama Buddha disebut  sebagai pemberian, dalam bahasa Pali disebut Puja, dikenal ada 2 macam: Amisa Puja (pemberian berupa materi, seperti persembahan:
a.       Air memiliki filosofi dari tempat yang tinggi air mengalir memenuhi ruang di tempat yang rendah, demikian layaknya manusia dapat memiliki sifat rendah hati, seperti air yang selalu mengalir  ketempat yang rendah.
b.      Bunga memiliki filosofi pertumbuhan awal berasal dari bibit dan tumbuh menjadi besar, kuncup, hingga bermekaran, dan pada akhirnya layu dan mati atau kering, sebagai arti bahwa layaknya manusia memiliki siklus kehidupan dari adanya janin dalam kandungan sang Ibu, lahir, menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua, sakit, dan mati.
c.       Lilin memiliki filosofi penerang didalam sisi kegelapan, demikian layaknya manusia, dengan kebaikan yang ditanam dalam hidup ini, diharapkan dapat menjadi penerang dalam hidupnya, dan dapat menuntun diri keluar dari kegelapan batin menuju kejalan yang terang, yaitu pembebasan.
d.      Dupa memiliki filosofi keharuman kesegala penjuru, dan membuat orang yang merasakan wanginya menjadi bahagia, demikian layaknya kebaikan yang telah dilakukan dapat menyebar keseluruh penjuru dan mampu melawan arah angin, hingga dapat menembus alam dewa.
Paṭipatti Puja: Pemberian dengan melaksanakan kebaikan. Penghormatan ini adalah sebagai persembahan rasa syukur dan terima kasih kepada Guru Buddha yang telah mengajarkan Dhamma untuk umat manusia, agar dapat tercapainya kebahagiaan dan terbebas dari derita, ketidakpuasan (dukkha).
            Sesuai dengan Paṭipatti puja dapat diuraikan menjadi tiga kelompok Dhamma, yaitu: Pariyatti Dhamma, Paṭipatti Dhamma, Paṭivedha Dhamma,


Dalam Dῑgha Nikᾱya; III; PᾹṬIKA; Sigᾱlaka Sutta, halaman 483 dijelaskan : “DEMIKANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavᾱ sedang menetap di Rᾱjagaha, di tempat memberi makan tupai, di Hutan Bambu. Pada saat itu, Sigᾱlaka putra seorang perumah tangga, setelah bangun pagi dan keluar dari Rᾱjagaha, sedang menyembah, dengan pakaian dan rambut basah dan tangan dirangkapkan, ke arah yang berbeda-beda: ke timur, selatan, barat, dan utara, ke bawah dan ke atas.
            Dan Sang Bhagavᾱ, setelah bangun pagi, merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuk-Nya pergi ke Rᾱjagaha untuk menerima dana makanan. Dan melihat Sigᾱlaka menyembah arah yang berbeda-beda, beliau bertanya dan memberikan pengertian dan bimbingan tentang penghormatan yang baik sesuai Dhamma, Ada beberapa hal penghormatan  atau persembahan  yang dapat diberikan untuk mendapatkan manfaat yang besar:
1.      Ayah dan Ibu (arah timur)
Ø  dengan lima cara anak dapat memberikan persembahan kepada kedua orang tuanya, yakni:
a.       Dulu aku dirawat, dibesarkan, dididik oleh mereka, sekarang aku akan menunjang mereka.
b.      aku akan melakukan kewajibanku sebagai anak yang berbakti.
c.       aku akan menjaga baik kehormatan keluargaku.
d.      aku akan menjaga baik warisanku
e.       aku akan mengingat, menjalankan budi baik dan selalu mengirimkan doa kepada orangtuaku, meskipun mereka telah tiada.
Sutta pendukung:
1.      Aṅguttara Nikᾱya II;iv;2 halaman 90 tentang membalas budi orang tua, dijelaskan bahwa: “Kunyatakan, O para Bhikkhu, ada dua orang yang tidak pernah dapat dibalas budinya oleh seseorang. Siapakah yang dua itu? ayah dan ibu. Bahkan seandainya memikul ibunya dan ayahnya ke kedua bahunya dan pergi kemana saja hingga seratus tahun, bahkan memijiti, meminyaki, memandikan, membuang kotorannya, menggosokan kaki dan tanggannya, mengangkat mereka menjadi Raja, dan penguasa besar di bumi ini, yang sangat kaya dalam tujuh macam harta tidaklah dapat membalas jasa mereka, yang dapat membalas jasa kedua orang tua kita adalah dengan cara mendorong mereka yang tadinya tidak percaya, menjadi percaya, membiasakan dan mengukuhkan mereka dalam keyakinan, moralitas, yang awalnya kikir, jadi dermawan, yang awalnya batinnya bodoh, menjadi bijaksana, cara demikian adalah cara balas budi yang tepat dan melebihi dengan apa yang mereka berikan kepada kita
2.      Majjhima Nikᾱya, Aṅgulimala Sutta;86 , dijelaskan bahwa: ahimsaka adalah anak yang sangat patuh, terdidik, dan pintar, karena sahabat yang iri akan kepintarannya, sahabat-sahabatnya menghasut gurunya dengan memfitnah tuduhan-tuduhan palsu kepada ahimsaka, sehingga guru sangat membenci ahimsaka, setelah lulus dari pendidikannya, ahimsaka diminta untuk mengganti uang sekolahnya bukan dengan uang, melainkan dengan mengumpulkan 1.000 untaian ibu jari tangan kanan dari orang yang berbeda, karena patuh kepada gurunya, dia melakukan hal itu, meskipun ahimsaka harus terpaksa melakukannya, karena ahimsaka tidak pernah melakukan hal itu, dengan pedang terhunus tajam, dia masuk ke dalam hutan Jatila, dan membunuh para pelancong yang lewat dihutan itu, sehingga ahimsaka mendapat julukan Aṅgulimala si pembunuh terkejam, tidak kenal ampun, pada saat untaian ibu jari terkumpul 999, dan yang terakhir adalah ibunya sendiri yang akan dibunuh untuk melengkapi jumlah untaian itu, maka dengan kekuatan kesaktian Buddha, Buddha dapat menghalau lebih cepat tiba dihutan itu daripada ibunya ahimsaka, buddha melihat bahwa Aṅgulimala akan mencapai kesucian pada saat itu, apabila Ahimsaka berhasil membunuh ibunya, maka garuka kamma telah terjadi, maka ahimsaka tidak akan mencapai kesucian, melainkan jatuh kedalam neraka avici. Pada saat itu Buddha dapat melumpuhkan Aṅgulimala dengan kekuatan kesaktian dan cinta kasih, Aṅgulimala dapat bertobat dan menjadi Bhikkhu dan berlatih hingga mencapai Arahat.
3.      Aṅguttara Nikᾱya; IV;63, halaman 238, dijelaskan bahwa keluarga berdiam dengan Brahmᾱ , guru-guru, dewa-dewa, bila di rumah mereka orang tua dihormati oleh anak-anaknya. Para Bhikkhu,  Brahmᾱ , guru-guru, dewa-dewa adalah istilah yang diberikan kepada ayah dan ibu, mengapa? karena mereka telah sangat banyak membantu anak-anaknya, membesarkan, memberi makan dan menunjukkan dunia kepada anak-anaknya.
4.      Pengantar Vinaya, kelompok Vassa, bagian 1, halaman 29 dijelaskan dalam menjalani masa Vassa, seorang bhikkhu diperkenankan untuk meninggalkan tempat dengan salah satu alasan adalah Jika teman Dhamma (bhikkhu dan Samanera), atau ibu dan ayah sakit, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk merawatnya.

Ø  Lima cara orang tua menunjukkan kecintaan terhadap perlakuan anaknya:
a.       mencegah anaknya berbuat jahat.
b.      menganjurkan anaknya berbuat baik.
c.       mendidik anaknya agar mandiri.
d.      mencarikan pasangan yang sesuai dengan anaknya.
e.       pada waktu yang tepat, warisan diberikan.
Sutta pendukung:
1.      Majjhima Nikᾱya; Piyajatika Sutta (seorang ayah yang sangat terpukul dengan kematian putra tunggalnya, dan tidak menerima nasehat Buddha yang menjelaskan orang yang kita cintai adalah membawa dukkha, kesedihan. Hal ini hingga ketelinga Raja Pasenadi dan Ratu Mallika, Ratu Mallika sangat percaya pada konsep Buddha, sedangkan  Raja Pasenadi yang awalnya menolak konsep Buddha, setelah direnungkan apabila puteri tercinta Vajiri mengalami perubahan terhadap dirinya, maka dukkhapun akan terjadi pada diri Raja. setelah memahami konsep bahwa orang-orang yang dicintai adalah membawa dukkha, maka Raja baru memahami konsep itu.
2.      Khuddaka Nikᾱya; Itivuttaka;III;74; halaman 69, dijelaskan bahwa orang bijaksana menginginkan anak yang berkualitas tinggi atau serupa. Mereka tidak menginginkan anak yang berkualitas rendah, yang akan menjadi aib bagi keluarga. tetapi di dunia ini, anak seperti itu yang merupakan umat awam yang berbakti, yang kuat dalam keyakinan dan keluhuran, dermawan, tidak egois, akan bersinar terang di antara orang banyak, bagaikan rembulan yang bebas dari awan.
3.      Dalam cerita Riwayat hidup Buddha Gotama, terdapat cerita seorang wanita bernama Kisagotami yang tidak menerima kematian anaknya, dan datang menghadap kepada Buddha, karena kisagotami mengetahui seorang Buddha adalah Guru para Dewa dan Manusia, dan dianggap mampu menghidupkan anaknya yang baru meninggal, Buddha menjelaskan tentang konsep anicca, dukkha dan anatta, akan tetapi dalam kesedihan yang mendalam kisagotami terus tenggelam dalam kesedihannya, Buddha menjanjikan akan menghidupkan anaknya, apabila kisagotami mampu mencari biji lada hitam disetiap rumah penduduk yang anggota keluarganya belum ada yang pernah mengalami kematian, akhirnya kisagotami menyadari setelah ia mengunjungi hampir semua rumah penduduk dengan syarat yang Buddha berikan, bahwa anaknya meninggal dan tidak dapat hidup kembali, sehingga dengan kesadarannya, ia melepas kepergian anaknya, dan kisagotami juga memohon pada Buddha untuk ditabiskan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni, dengan tekun kisagotami menjadi bhiikhuni, dia dapat menembus pencapain kesucian arahat.
2.      Murid dan Guru
Ø  ada lima cara murid memberikan persembahan kepada gurunya, yaitu:
a.       bangun dari tempat duduk untuk memberikan penghormatan.
b.      melayani gurunya.
c.       bertekad keras untuk rajin belajar.
d.      memberikan jasa-jasa padanya.
e.       memperhatikan dengan baik, pada saat diberi mata pelajaran.
Sutta Pendukung:
1.      Aṅguttara Nikᾱya; V; 2, dijelaskan bahwa kekuatan-kekuatan siswa yang berlatih memiliki lima kekuatan, yaitu: kekuatan keyakinan, malu, takut moral, semangat, dan kebijaksanaan. Memiliki keyakinan dan menempatkannya pada pencerahan Tathᾱgata. Memiliki rasa malu, malu akan apapun yang jahat dan tidak bermanfaat. memiliki rasa takut terhadap tubuh, ucapan, pikiran, takut akan apa pun yang jahat dan tidak bermanfaat.

Ø  ada lima cara guru mencintai muridnya, atas perlakuan baiknya, yaitu:
a.       Ia melatih dengan baik muridnya sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.
b.      ia membuat muridnya menguasai pelajaran yang diberikan.
c.       ia mengajar secara mendalam semua ilmu pengetahuan yang dikuasainya.
d.      ia berbicara baik tentang muridnya kepada sahabatnya dan orang lain.
e.       ia menjaga muridnya dari setiap segi.
Sutta Pendukung:
1.      Dῑgha Nikᾱya; I; 15; Lohicca Sutta, halaman 142, dijelaskan tentang Guru yang baik dan yang buruk. Buddha menjelaskan kepada Brahmana Lohicca di Sᾱlavatikᾱ, ada tiga jenis guru di dunia ini yang layak di cela, dan jika siapa pun mencela guru-guru demikian, celaannya adalah pantas,benar, sesuai dengan kenyataan dan tidak salah. Apakah tiga itu?,
1.      Guru yang meninggalkan duniawi, dan hidup tanpa rumah, akan tetapi belum mencapai buah pertapaan, dengan ini ia mengajarkan suatu ajaran, dengan mengatakan ini baik untukmu, bahagia untukmu. Namun murid tidak mau mendengarkan, memperhatikan, mencemooh. Ibarat seorang laki-laki yang terus menerus mendekati seorang perempuan yang menolaknya dan merangkulnya walaupun ia telah berpaling. Aku nyatakan ini adalah ajaran jahat dan berdasarkan pada kemelekatan, karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain?
2.      Guru yang meninggalkan duniawi, dan hidup tanpa rumah, akan tetapi belum mencapai buah pertapaan, dengan ini ia mengajarkan suatu ajaran, dengan mengatakan ini baik untukmu, bahagia untukmu. Muridnya mau mendengarkan, memperhatikan, mereka ingin membangkitkan pikirannya, untuk mencapai pencerahaan dan tidak mencemooh nasihat gurunya. Guru ini juga pantas dicela, karena diibarat ia memikirkan ladang orang lain yang perlu dikerjakan. Aku nyatakan ini adalah ajaran jahat dan berdasarkan pada kemelekatan, karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain?
3.      Hanya ada satu guru yang tidak dapat dicela, ia adalah Tathᾱgata, beliau adalah guru yang telah meninggalkan duniawi, telah meninggalkan rumah, dan telah mencapai jalan ksempurnaan, guru para Dewa dan Manusia.

3.      Suami dan Istri
Ø  ada lima cara suami memberikan persembahan kepada istrinya, yaitu:
a.       dengan memperhatikan kebutuhan istrinya.
b.      bersikap lemah lembut.
c.       setia dengan isterinya (tidak selingkuh).
d.      memberikan kekuasaan/ kepercayaan tertentu kepada istrinya.
e.       memberikan perhiasan kepada istrinya.
Sutta Pendukung:
Aṅguttara Nikᾱya IV, 53, tentang empat pasangan dalam agama Buddha, yaitu:
1.      Raksasa-Raksasi, layaknya seorang suami dan istri tidak memiliki moralitas, melanggar moralitas yaitu pancasila buddhis, dan mencela kehidupan luhur para petapa.
2.      Raksasa-Dewi, layaknya suami tidak bermoral, mencela para petapa, akan tetapi sang isteri selalu taat menjalankan pancasila buddhis dengan baik, dan menunjang kehidupan luhur para petapa.
3.      Dewa-Raksasi, layaknya suami berkelakuan baik, tidak melanggar pancasila buddhis, dan selalu menyokong kehidupan para petapa, sedangkan isterinya tidak bermoral, dan mencela para petapa.
4.      Dewa-Dewi, keduanya antara suami dan isteri merupakan pelaksana sila yang baik dan tanpa cela, dan bersama-sama dalam menyokong sepenuhnya dengan ketulusan kehidupan para petapa.
Ø ada lima cara seorang isteri mencintai suaminya, atas perlakuan yang diberikannya:
a.       melakukan tugasnya dengan baik
b.      ramah-tamah kepada keluarga dari kedua belah pihak.
c.       setia kepada suaminya
d.      menjaga baik barang yang dibawa suaminya.
e.       pandai dan rajin mengurus rumah tangga.
Sutta Pendukung:
1.      Aṅguttara Nikᾱya........ menjelaskan ada tujuh macam jenis isteri, yaitu:
a.       Isteri seorang pembunuh, ialah seorang isteri yang berkelakuan seperti pembunuh, keji, kejam, tidak mengenal ampun, dan bisa mencelakaan bahkan membunuh suami.
b.      isteri seorang pencuri, tidak pernah merasa puas dengan apa yang didapat dari suami, selalu menuntut dan suka mencuri uang suaminya demi memenuhi keinginan dan keserakahannya.
c.       isteri seorang tiran, selalu bermalas-malasan dan tidak giat serta tidak mengerjakan tugas layaknya seorang isteri, selalu membuat susah suami, dan membuat rumah tangga selalu menimbulkan konflik.
d.      isteri seorang pelayan, layaknya isteri tunduk dan patuh dengan perintah dan kemauan suaminya, menyiapkan makanan kesukaan suaminya, melayani suaminya, mencuci dan menyeterika pakaian suaminya.
e.       isteri seorang ibu, layaknya isteri yang memperlakukan suaminya seperti anaknya, memberikan perhatiannya dan kasih sayangnya tiada batas dan tanpa pamrih, mengarahkan suami untuk berbuat kebaikan, dan melarang untuk berbuat buruk.
f.       isteri seorang saudara perempuan, layaknya menganggap isteri seperti adiknya sendiri dan isteri menganggap suami seperti kakak, saling perhatian dan berbagi suka dan duka, serta saling mendukung dalam segala hal.
g.      isteri seperti seorang sahabat, layakanya sahabat yang selalu berdua kemana saja, tidak pernah terpisahkan, selalu setia, dan berbagai dalam suka dan duka, salaing memberikan penguat dan motivasi, selalu menyatukan ide untuk masa depan, menghidari pertengkaran, saling belajar untuk memahami.
Aṅguttara Nikᾱya IV, 55, empat macam kondisi yang dapat mempersatukan pasangan dalam kehidupan saat ini dan kehidupan selanjutnya yaitu:
a.       Keyakinan seimbang, meskipun berbeda agama, yang terpenting kualitas keyakinan seimbang dan saling mendukung.
b.      Moralitas yang seimbang.
c.       Kedermawanan yang seimbang.
d.      Kebijaksanaan yang seimbang.

4.      Seseorang  dan sahabat/ kenalan
Ø  ada lima cara seseorang memberikan persembahan kepada sahabat dan kenalannya, yaitu:
a.       murah hati
b.      ramah tamah
c.       berbuat baik
d.      tepat janji
Ø  ada lima cara sahabat dan kenalan akan mencintainya:
a.       mereka melindunginya jika ia tidak siaga.
b.      menjaga harta bendanya.
c.       dalam keadaan bahaya, ia akan melindunginya.
d.      pada saat keadaan susah, ia tidak akan meninggalkannya.
e.       senantiasa menghormatinya.

5.      Atasan/ majikan  dan karyawan/ buruh
Ø  lima cara atasan memberikan persembahan kepada bawahan/buruhnya:
a.       memberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.
b.      memberi mereka makanan dan gaji yang sesuai.
c.       memberi perawatan sewaktu mereka sakit.
d.      membagikan makanan enak kepada mereka pada waktu-waktu tertentu.
e.       memberikan libur pada waktu-waktu tertentu.
Ø  lima cara bahawan/ karyawan mencintai atasan/majikan dari perlakuannya:
a.       mereka bangun lebih pagi dari mereka.
b.      mereka tidur setelah majikan tidur.
c.       mereka akan berterima kasih atas perlakuan yang mereka terima.
d.      mereka akan bekerja dengan baik.
e.       mereka akan memuji majikan mereka dimanapun berada.
·         Kasus kekerasan TKI dan TKW, pemerintah harus berperan aktif.
·         Layaknya menjadi pimpinan tidak bersifat otoriter, melainkan demokrasi.
Pemimpin layaknya turun tangan untuk membantu mereka yang yatim piatu, fikir miskin, mengangkat derajat mereka, mensejahterakan mereka, bukan justru ditindas, rumahnya digusur tanpa ada uang ganti rugi, mereka protes dengan pemerintah, oknum aparat memukul.  Mencontoh salah satu pemerintah yang baik di DKI Jakarta yaitu Pak Joko Widodo (Jokowi) memberikan persembahan bhaktinya pada praktik nyata, bukan sekedar janji kepada masyarakat.
·         Layaknya bawahan memberikan persembahan kepada atasan dengan menjunjung tinggi kejujuran dalam bekerja. tidak serakah, lupa daratan. menjadi rakyat tentunya juga ikut menjaga kemanan dan perdamaian negara/ dunia. contoh demo anarkis, merusak fasilitas umum, antar aparat perang, tidak rukun.

6.      Umat Biasa dengan Tokoh Agama
Ø  dengan lima cara umat biasa memberikan persembahan kepada Tokoh agamanya:
a.       dengan perbuatan yang penuh kasih sayang.
b.      dengan ucapan yang ramah-tamah.
c.       dengan pikiran yang penuh kasih sayang.
d.      dengan selalu membuka pintu untuk mereka.
e.       dengan memberikan keperluan hidup mereka.

Ø  ada enam cara tokoh agama akan mencintai perlakuan umatnya:
a.       mencegah mereka untuk tidak berbuat jahat.
b.      menganjurkan mereka berbuat kebaikan.
c.       mencintai mereka dengan pikiran yang penuh kasih sayang.
d.      mengajari umatnya sesuatu yang belum diketahuinya/ didengar.
e.       memperbaiki dan menjelaskan sesuatu yang mereka pernah ketahui/didengar.
f.       menunjukkan mereka jalan ke surga
·          (bukan secara nyata, melainkan dari konsep teori yang siap di praktikkan untuk menuju ke surga)
hanya menunjukkan jalan, bukan menunjukkan tempat (surga).
teorinya: lenyapkan kekotoran batin, pikiran jahat, ucapan jahat, prilaku jahat.
·         Istilah: lebih baik seorang mantan preman menjadi tokoh agama, karena tobat bukan tomat = tobat nanti kumat, daripada tokoh agama berkelakukan seperti preman, seperti : petantang petenteng memukul, membunuh, melakukan perzinahan.
Sebagai manusia layaknya mampu memberikan persembahan yang bermanfaat bagi kesejahteraan banyak orang sehingga persembahan yang diberikan tidaklah sia-sia, sehingga bermanfaat besar.