Minggu, 10 Agustus 2014

FILOSOFI TANAH SEBAGAI SUMBER KEHIDUPAN


Oleh: Sāmaṇera Vimalaseno

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa.

Rûpaæ jîrati maccânaæ Nâmagottaæ na jîrati.

(Tubuh jasmaniah makhluk hidup berguguran, tetapi nama serta keturunannya tidak musnah).
(Pepatah Buddhis, 15/210)

Kehidupan yang dilalui selalu menemui lika-liku yang terkadang membuat seseorang menjadi jenuh, lamban, dan malas, bahkan sama sekali memilih tidak mau melalukan apa-apa dalam hidupnya. Kehidupan ini seperti tanah, tanah akan menjadi tandus dan subur tergantung dari kondisi sebab yang terjadi. Tanah di padang yang luas dan tanah di dalam pot atau perkarangan rumah, kebun tertentu berbeda. Perbedaan terletak dari kondisi sebab pelakunya. Tanah di padang yang luas sebagai pengkondisi adalah alam, sedangkan dalam lingkup kecil atau terbatas adalah manusia. Tidak menutup kemungkinan sebab-sebab yang lain. Tanah yang subur di dalam perkarangan rumah, ladang, kebun yang menjadi perhatian serius bagi pelakunya adalah tindakan yang bertanggung jawab, sehingga apa saja yang tumbuh akan menjadi baik dan subur.
Manusia yang hidup saat ini yang menempatkan dirinya sebagai tanah yang tandus adalah sebab ia tidak memiliki pengetahuan, pengetahuan mengenai arti sebuah kehidupan. sehingga apa yang tumbuh dalam dirinya hanyalah gulma (hama), hama itu adalah kebodohan, ketidaktahuan, keserakahan, kemarahan (dukkha). Sebaliknya mereka yang menjadi manusia yang seperti tanah yang subur karena mereka terus menyiram dan memupuk dirinya dengan 3 kondisi dhamma (Pariyatti, patipatti, dan pativedha Dhamma). Orang yang memiliki semangat dan tekad serta usaha (UTS) maka ia akan menghargai hidup ini yang hanya  1 kali ia rasakan secara nyata. Selebihnya ia akan lupa dengan kelahiran-kelahiran sebelumnya dan setelahnya. Maka ada istilah saat ini adalah saat yang terbaik.
Kehidupan tanpa asupan Dhamma akan menjadi tanah atau diri yang tidak seutuhnya sempurna. Sempurna dalam pencapaian yang dituju pada akhir kehidupan umat Buddha, akan tetapi sempurna disini adalah sempurna dalam upaya menjalan 3 kondisi dhamma tersebut. Pencapaian apapun (ariya puggala) atau terlahir dialam bahagia baik menjadi dewa, brahma merupakan efek dari perbuatan yang dilakukan semasa hidup saat ini. Terkadang orang selalu melihat masa lalu, apabila masa lalu itu suram, maka hanya membawa penderitaan, kesedihan, kekecewaan saja. Apabila disikapi dengan positif, itu adalah sebuah pengalaman, akan tetapi jarang manusia dapat memiliki persepsi yang positif mengenai hal yang tidak baik dimasa lalu untuk disikapi pada saat ini. Sebaliknya masa lalu yang baik, apabila dilihat secara terus menerus sebagai dampak yang tidak baik maka ia hanya hidup dalam lamunan. Melekat dan terikat dengan persepsinya yang semu. Sehingga apa yang diharapkan tidak menjadi kenyataan pada saat ini adalah menyebabkan kondisi dukkha yang baru.
Kehidupan saat ini dapat diperumpakan layaknya seorang petani, yang pada mulanya memikirkan tanah yang harus digembur secara berulang-ulang, diairi, diberi pupuk, setelah itu baru di tabur bibit-bibit padi, selanjutnya dibutuhkan perawatan yang intensif sehingga hama dapat diatasi. Pada akhirnya seiring berjalannya waktu, maka padi akan panen dengan hasil yang baik pula, sebaliknya hal buruk juga dapat terjadi disebabkan oleh faktor kemalasan dan kelambanan. Hidup seseorang dibutuhkan sebuah spirit (semangat) dengan memiliki semangat, dukung skill, kemauan, tekad, usaha, semua apa yang dikerjakan, diharapkan akan terwujud. Perumpamaan tersebut dapat dijabarkan dalam kehidupan ini adalah selayaknya sebagai manusia harus memulai hidup ini layaknya seperti tanah yang digembur, diri harus selalu diolah dengan menjalankan sila dan samadhi sebagai pupuk dan air, apabila sila dan samadhi jadikan sebagai alat untuk dirawat di dalam batin, maka niscaya hama seperti lobha, dosa, dan moha akan dapat diatasi, sebagai hasil panen adalah kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan non duniawi.
Kehidupan selayaknya sebagai manusia selalu mengembangkan kebaikan, etika dalam kehidupan merupakan sebagai penunjang sarana untuk mempraktikkan dhamma. Buddha menjelaskan  dalam Mahamaṅgala Sutta, Dhamikka Sutta- Sn, dan Sigalovada Sutta-Dn menjelaskan mengenai etika Buddhis. Selain Itu dalam Brahmajala Sutta dijelaskan setelah meninggalkan dan menghindari pembunuhan. pertapa Gotama meletakkan alat pemukul dan senjata, muak dengan kekerasan, penuh belas kasih dan berdiam mengharapkan kesejahteraan semua makhluk. Tanah yang subur akan menghasilkan tanaman apa saja, misalnya pohon pepaya yang subur akan menghasilkan buah yang manis, dan bijinya dapat disebar dan meneruskan keturunan dari pohon pepaya sebelumnya, dan terus demikian. Sama halnya seperti badan jasmani ini yang dapat digunakan dalam melakukan hal yang terbaik, misalnya dalam rumah tangga, seorang ayah harus bertindak seperti ayah, ibu dapat bertindak seperti ibu, menjaga rumah tangga dengan harmonis, sehingga keturunannya akan mengikuti jejak kedua orang tuanya. Selain itu, nama keluarga akan harum, baik dikenang oleh keturunan dan masyarakat lainnya. Pada saat meninggal orang tua tersebut telah meninggalkan warisan berupa pendidikan dan nasihat pada anak-anaknya, dan keturunannya.
Perbuatan baik juga telah dilakukan Oleh Guru para dewa dan manusia yaitu Buddha Gotama, yang telah menjadikan keturunnya para samana mengikuti Beliau hingga saat ini menjalankan dan mempertahankan Dhamma-Vinaya. Secara filosifi Buddha telah menjaga dan menjadikan tanah yang sangat subur sekali dalam waktu yang panjang dalam dirinya, setelah buah pencapaian yang Beliau peroleh, Beliau ajarkan untuk semua makhluk secara cinta kasih dan kasih sayang. Inilah tanah yang bermanfaat bagi banyak orang. Terkait dengan paham tanah, tanah juga memiliki filosofi sebagai tempat perisitirahat terakhir dalam kehidupan ini (kuburan). Sehingga selayaknya sebagai manusia selalu ingat bahwa kehidupan ini semua makhluk akan mengalami kematian, kematian adalah seseorang khususnya akan meninggalakan jasmaninya dan berangkat menuju kelahiran selanjutnya.
Perbuatan baik dan buruk setiap yang manusia lakukan juga Buddha jelaskan dalam Ambalatthikarahulovada Sutta adalah perbuatan yang dilakukan dari jasmani, ucapan, maupun pikiran yang mengarah pada penderitaan bagi dirinya, orang lain, dan keduanya, perbuatan ini dikatakan sebagai perbuatan yang tidak baik (akusala). Sebaliknya apabila itu  baik maka itu adalah kusala. Sehubungan dengan kriteria baik dan buruk prilaku, Buddha juga menjelaskan dalam Kandaraka Sutta-MN bahwa ada empat macam perbuatan, yaitu: *Seseorang yang menyiksa dirinya (attantapa), seperti pertapa yang mempraktikkan penyiksaan diri. *Seseorang yang menyiksa makhluk-makhluk lain (parantapa), seperti pemburu yang menghancurkan kehidupan makhluk lain. *Seseorang yang menyiksa dirinya sekaligus makhluk-makhluk lain, seperti seorang raja melakukan upacara kurban besar-besaran di mana baik raja maupun rakyatnya menanggung penderitaan tanpa henti ketika mempersiapkan hal-hal untuk upacara kurban, dan binatang-binatang yang dikurbankan juga menderita. *Seseorang yang tidak menyiksa dirinya maupun makhluk-makhluk lain, seperti seorang Arahat.
Sebagai manusia yang selalu menghargai kehidupan ini dengan selalu menjaga kehidupannya dengan moralitas, pengembangan konsentrasi (samadhi), hingga mencapai penembusan Dhamma dengan kebijaksanaan. Buddha menyatakan dalam Mahaparibbana Sutta-DN bahwa samadhi yang dilatih secara terus menerus akan menghantarkan pada penghacuran noda batin, dan dalam Maha Assapura Sutta- MN bahwa moral juga sebagai pendukung untuk perealisasian Nibbāna. Maka daripada itu terus berjuang dengan UTS menjadi tanah yang subur dan menghasilakn buah yang manis untuk semua makhluk.

Refrensi:

Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya
                              Vihāra Bodhivaṁsa, Klaten: 
Wisma Dhammaguṇa.

Bodhi, Nyanaponika. 2003. Majjhima Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.

Bodhi, Nyanaponika. 2010. Tipiṭaka Tematika. Tanpa kota: 
                              Ehipassiko Foundation.

Kaharuddin. 2005. Abhidhammatthasaṅgaha. 
                               Vihara Padumuttara: Tangerang

Tim Giri Mangala Publication 2009. Kotbah-kotbah Panjang-
                             Sang Buddha Dῑgha Nikāya
                             Tanpa kota: Dhammacitta Press.





Sabtu, 09 Agustus 2014

SIFAT IRI HATI DALAM PERSPEKTIF ABHIDHAMMA


Oleh: Sāmaṇera Vimalaseno
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Issā-macchera-kukkucca-virati-karuṇādayo
Nānā kadāci Māno ca thῑna-middhaṁ tathā saha.
Yathāvuttānusārena sesā niyatayogino
Saṭgahaṭ ca pavakkhāmi-tesaṁ dāni yathārahaṁ
(Abhidhammatthasaṅgaha).
artinya:
Keiri-hatian, kekikiran, penyesalan, berpantang, welas asih, dan sebagainya (yaitu turut bersuka cita), dan kecongkakan muncul secara terpisah dan partikular. Begitu Pula dengan kemalasan dan kelambanan namun dalam kombinasi.

         Manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, serta tidak bahagia dengan kebahagiaan orang lain merupakan sifat iri hati (issa). Sifat iri hati dengan merasa tidak suka atas kebahagiaan orang lain, serta secara tidak langsung orang tersebut telah menanamkan sifat kebencian (dosa) dalam dirinya sendiri. Terkait dengan sifat keiri-hatian terdapat dalam Akusala-cetasika, sifat iri hati ada dalam dosa-cattuka-4 (dosa adalah kebencian, issa adalah keirihatian, macchariya adalah egois, dan kukkuccā adalah kekhawatiran. Apabila dilihat dari kejadian di masyarakat sifat iri hati merupakan suatu tindakan yang hampir menjadi kebiasaan terjadi. Terbukti dengan rasa iri hati ditempat kerja, tidak suka melihat keberhasilan orang lain, sehingga dengan seribu cara orang yang berhasil ditempat kerjanya harus disingkirkan, bahkan dibunuh karena rasa tidak suka atau dendam.
Sifat semacam itu jelas mengandung unsur kebencian (dosa). Terkait dengan sifat benci juga bagian dari akusala-cetasika, yaitu dosa-cattuka. Kebencian yang muncul berkaitan dengan perasaan tidak suka, baik dari diri sendiri, maupun dengan ajakan orang lain. Hal ini dijelaskan dalam akusala-citta, yang terdapat dalam dosamula-citta 2, adalah sebagai berikut Domanassa-sahagataṁ patighasampayuttaṁ asankhārikaṁ, yaitu kesadaran atau pikiran yang timbul tanpa ajakan, disertai ketidak-senangan, bersukutu dengan dendam, dan Domanassa-sahagataṁ patighasampayuttaṁ sasankhārikaṁ, yaitu kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan disertai ketidak-senangan, bersukutu dengan dendam. Sifat iri hati tidak terlepas dari sifat dendam yang terjadi dalam diri seseorang. Sifat dendam akan muncul dimana seseorang tidak berhasil mengikuti rasa iri-hatinya terhadap kebahagiaan orang lain.
Rasa iri hati dalam diri seseorang yang terus berkecamuk, merupakan sifat kebencian dengan dikuti perasaan dendam. Domanassa ini adalah vedanā (perasaan), yang disebut Domanassa-vedanā. Domanassa vedana merupakan vedanā cetasika yang mencerap objek tidak baik. Apabila dihubungkan dengan pancakkhandha adalah vedanā-khandha. Seseorang yang memiliki sifat iri hati dengan kebahagiaan orang lain akan berdampak sikap kebencian yang kuat terus terjadi dalam pikiran dan tindakannya. Sikap iri hati merupakan bagian dari perbuatan tidak baik.
Ketidakpuasan terhadap yang diinginkan, seperti selalu ingin menyaingi orang lain dengan cara yang tidak baik. Rasa yang selalu mengejar sikap rasa iri hati juga bertautan dengan sikap tamak atau serakah yang adalah bagian akusala citta, yaitu lobhamula citta. Iri hati sebagai faktor akibat dari adanya sebab sebelumnya, yaitu dengan adanya sebab kontak (phassa) terhadap kebahagiaan, kesuksesan orang lain, setelah adanya kontak yang melihat objek maka perasaan (vedanā) muncul. Kontak merupakan sebab dan disebut sebagai phassa-cetasika, bertautan dengan 32 lokiya-vipāka citta. Setelah seseorang memiliki kontak dengan objek indera dengan keberhasilan orang lain dan diikuti sebab-sebab yang lain dengan ada perbuatan yang tidak baik (akusala) maka vipāka lainnya adalah akusala.
Kontak indera dengan objek, salah satunya adalah mata, dengan adanya rasa tidak suka atau iri hati, maka banyak tindakan yang dapat dirasakan dalam perbuatannya. Kontak juga merupakan kondisi untuk munculnya perasaan. Perasaan (vedanā) merupakan vedana-cetasika dan bertautan dengan 32 lokiya-vipāka citta. Antara phassa dan vedanā muncul secara bersamaan dan terutama phassa menjadi sebab terdahulu, maka rasa iri hati (issa) dapat terjadi karena adanya kontak terhadap sesuatu yang tidak disukai serta munculnya sebagai akibat adalah domanassa-vedanā.
Fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, penulis memiliki suatu pengalaman dalam dunia kerja, sewaktu semasa menjadi umat awam. Saya bekerja pada suatu perusahaan dan memiliki banyak karyawan, saya salah satu karyawan baru pada perusahaan tersebut. Selain bekerja dengan aturan yang berlaku, memiliki tingkah laku yang membuat pimpinan menjadi nyaman, serta pekerjaan yang dikerjakan selesai tepat pada waktunya membuat resah karyawan yang memiliki rasa iri hati pada saya. Merupakan halangan terbesar bagi beberapa sahabat saya yang tidak suka dengan sikap dan cara kerja yang saya lakukan. Wajar saja apabila saya memiliki posisi atau hubungan yang baik dengan pimpinan. Pada suatu saat dimoment yang tepat dengan rasa tidak suka dan sikap iri hati, beberapa karyawan bekerjasama untuk menghambat pekerjaan, sehingga terkesan saya lamban dalam bekerja, mereka menghasut pimpinan dengan menjatuhkan, sehingga rasa tidak suka juga muncul dari pimpinan. Saya merasa tidak nyaman dalam pekerjaan, serta saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu.
Kasus yang terjadi diatas merupakan bagian terkecil dari kasus-kasus besar lainnya dalam masyarakat. Perasaan tidak suka (domanassa-vedanā) kerap terjadi, baik dimanapun, kapanpun, dan siapapun. Tidak menutup kemungkinan bagi kita sebagai puthujana (manusia biasa) memiliki sikap iri hati atas keberhasilan orang lain. Orang yang iri hati biasanya juga memiliki nafsu keinginan untuk gila dipuji, dihormati, padahal itu semua tidak pantas untuk dirinya. Orang yang bekerja dengan ketulusan, kebaikan akan menjadi sasaran orang-orang yang disebut komplotan atau individu yang iri hati. Iri hati tidak terlepas dari adanya 6 nafsu keinginan (taṅhā), salah satunya adanya dhamma-taṅhā (nafsu keinginan terhadap objek pikiran). Pikiran yang tidak baik (akusala mano-kamma) merupakan bagian dari pikiran orang yang memiliki sikap iri hati. Sikap mempertahankan nafsu keinginan berkaitan dengan keiri-hatian akan berdampak pada upādānā (kemelekatan) yang akan memunculkan diṭṭupādānā (kemelekatan pada pandangan salah).
Sikap iri hati harus dapat diatasi dengan cara yang baik. Sehingga dengan adanya tindakan yang baik, sikap iri hati dapat dipangkas secara tuntas. Dalam hidup ini seseorang harus memiliki pengetahuan sehingga pengetahuan akan mendorong seseorang memiliki pikiran yang baik (kusala-citta). Dalam Kāmāvacarasobhana-citta dijelaskan ada mahākusala-citta, yaitu kesadaran atau pikiran yang maha baik, pikiran baik dapat timbul dalam 31 alam kehidupan. Kesadaran atau pikiran ini dapat menimbulkan kefaedahan dalam mempraktikkan dāna, sῑla serta giat dalam melatih konsentrasi (samādhi). Seseorang yang melatih konsentrasi dalam dirinya maka akan mendapatkan ñaṇa (pengetahuan), yang akan mengahantarkan seseorang mencapai pembebasan atau kebahagiaan tertinggi (Nibbāna).
Sikap iri hati apabila disikapi dengan faktor mental yang baik, maka sifat, pandangan keliru mengenai kepuasan diri akan disikapi dengan bijaksana. Dalam sobhana-cetasika, seseorang harus memiliki sikap saddhā (keyakinan) dari sesuatu yang dikerjakan. Orang lain sukses, bahagia, karena tidak terlepas dari usaha, tekad, dan semangat, selain itu dalam meraih kesuksesan dibutuhkan perhatian murni (sati) dalam mengerjakan sesuatu. Terkadang seseorang mengerjakan sesuatu hanya dengan menggunakan emosional, tanpa menggunakan moral dan intelektual. Ketenangan pikiran (cittapassadhi) sangat dibutuhkan dalam mengikis rasa iri hati atas kebahagiaan orang lain. Selain itu yang terpenting adalah seseorang harus memiliki sikap hiri (malu untuk berbuat jahat), dan ottapa (takut akan akibatnya).
Kesuksesan seseorang tidak diukur dari seberapa besar kita mampu mengalahkan orang lain dengan sikap iri hati, benci, dan dendam. Akan tetapi dengan Tatramajjhattata (kesimbangan batin), kāyapassadhi (ketenangan dari bentuk-bentuk batin atau cetasika khanda), cittapassadhi (ketenangan pikiran), kāya-lahutā (kegembiraan pikiran), citta-mudutā sifat menurut pikiran, kāya-kammaññatā (sifat menyesuaikan diri-dari bentuk-bentuk batin) atau cetasika-khandha (adaptasi dari bentuk mental), citta-kammaññatā (sifat menyesuaikan diri dari pikiran), kāya-pāguññatā (kemampuan dari bentuk-bentuk mental), citta-pāguññatā (kemampuan dari kesadaran), kāyujukatā (ketulusan/ kejujuran dari bentuk-bentuk mental), dan cittujukatā (ketulusan/kejujuran dari kesadaran) akan membawakan sebuah kebahagiaan dan kesuksesan bagi diri seseorang. Bukan dengan rasa benci, iri hati, dendam, dan perasaan yang tidak menyenangkan untuk meraih sebuah kesuksesan dalam hidup.
Selain itu rasa iri hati teerkadang mengeluarkan kata-kata yang menjurus pada ucapan tidak benar, memfitnah, gosip, bahkan kasar. Hal ini dalam virati-cetasika  sangat dibutuhkan dalam menangkal sikap iri hati yang berdampak pada perbuatan yang tidak baik, maka seseorang selayaknya harus mampu berbicara benar (sammā-vācā), sehingga mengkondisikan untuk memiliki perbuatan benar (sammā-kammanta), biasanya orang yang iri hati lebih cenderung untuk melakukan perbuatan yang tidak baik (akusala-kaya kamma). Selain itu keberhasilan dan kesuksesan seseorang dalam berkarir adalah memiliki sammā-ājiva (mata penchariaan benar), selain itu mata pencaharian benar dapat terbebas dari pelanggaran sῑla dan Dhamma. Sikap karunā dan mudita harus dimiliki seseorang dalam hidup bermasayarakat, sikap ini snagat mendukung keharmonisan dan menjauhkan diri dari sikap iri hati (issa). Terpenting dalam hidup ini seseorang harus memiliki kebijaksanaan (Pañña) guna menangkal munculnya pandangan, pikiran yang tidak baik terkait dengan akusala-kamma.

Ref:
Anuruddha. 2011. Panduan Komperhensif Tentang Abhidhamma
                              Karaniya.
Kaharuddin. 2005. Abhidhammatthasaṅgaha. 
                              Vihara Padumuttara: Tangerang.
Mon, Mehm Tin. 2012. The essence of Buddha Abhidhamma. 
                               Yayasan Hadaya Vatthu: Jakarta.



Pengetahuan Sumber Kehidupan (Knowledge The Source Of Life)


Oleh: Sāmaṇera Vimalaseno

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Anavaṭṭhitacittassa
 saddhammaṁ avijānato
pariplavapasādassa
paññā na paripūrati.
     Wisdom  never becomes perfect,
in one whose mind is not steadfast,
who knows not the Good Teaching
        and whose faith wavers.

Orang yang pikirannya tidak teguh,
yang tidak mengenal ajaran yang benar,
yang keyakinannya selalu goyah,
orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.
(Dhammapada; Citta-vagga: 38)


Pada dasarnya pengetahuan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan seseorang. Banyak orang yang putus sekolah atau bahkan tidak dapat mengenyam pendidikan salah satu faktornya adalah ekonomi. Kemiskinan dapat membuat seseorang menjadi miskin dalam pengetahuan. Tidak sedikit mereka yang hidup dalam garis kemiskinan materi dan kemiskinan intelektual juga berdampak pada kemiskinan akhlak (moral). Terkait dengan pendidikan dijelaskan oleh Ihsan (2005: 2) bahwa pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Seseorang tanpa pendidikan maka mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju sukses, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
            Memajukan kehidupan, seseorang dituntut harus menempuh pendidikan menjadi sarana utama yang perlu diperhatikan dalam hidupnya. Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut kepada peningkatan mutu pendidikan  sebagai sarana mencapai cita-cita tersebut. Pendidikan bagi bangsa yang sedang membangun seperti bangsa Indonesia saat ini merupakan kebutuhan mutlak yang harus dikembang sejalan dengan tuntutan pembangun setahap demi setahap. Terkait masalah pendidikan juga dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I berkenaan dengan Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1 yang menerangkan bahwa Pendidikan adalah usaha yang sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
            Pendidikan yang ditempuh tidak terlepas dari tenaga pendidik (guru), apabila guru yang profesional dan mengikuti kodetik keguruan, maka guru memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar siswa. Hal ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 Tentang Guru, Bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam fakta yang terjadi saat ini ada guru yang hanya menjalankan tugasnya sebagai rutinitas profesinya saja.  Terjadinya penurunan akhlak bangsa Indonesia saat ini terkait pendidikan terbukti dari beberapa kasus, seperti contoh kasus guru melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap siswanya, terjadi tawuran antar pelajar, guru, bahkan kepala sekolah memukul siswa dengan alasan memberi pelajaran pada siswa atas kenakalannya di sekolah. Tindakan kriminalitas yang terjadi dengan pelaku seorang pendidik merupakan tindakan yang telah melanggar kodetik keguruan. Seorang guru merupakan panutan bagi banyak orang. Dalam filosofi Jawa, guru adalah gu= diguguh (dipegang) ucapannya, dan ru adalah ditiru prilakunya. Guru yang baik adalah mengarahkan, mendidik siswanya dengan ketulusan yang berjiwa cinta kasih.
            Guru merupakan orang yang terpelajar dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya. Dalam Buddhisme guru merupakan orang yang berpegang teguh dalam Dhamma, guru secara akademisi, maupun guru dalam spritualitas, seperti yang Buddha jelaskan dalam Nāvā Sutta-Sn bahwa guru yang patut dihormat adalah mereka yang mempraktikkan Dhamma dalam hidupnya, bagaikan para dewa menghormat kepada Indra. Guru yang dihormati itu, karena senang pada muridnya, akan membuat Dhamma menjadi jelas. Guru yang baik sebaiknya harus menjadi guru yang sudah benar-benar teruji dalam Dhamma, minimal sudah mempelajari Dhamma, pernah mengikuti latihan pembinaan diri (Pabbajja), sering melatih diri dalam meditasi, bukan guru yang sekedar tahu isi buku agama Buddha saja. Untuk dapat disenangi oleh muridnya tentu guru harus memiliki prilaku yang baik, terkait sikap yang baik Buddha menjelaskan dalam Kiṁsῑla Sutta-Sn bahwa orang (guru) dengan watak, prilaku, tindakan seperti apa, yang akan menjadi mantap sehingga mencapai kesejahteraan tertinggi, adalah melatih diri dalam berprilaku benar.
            Terkadang seseorang menjumpai guru yang tidak memiliki pengetahuan akan tetapi berlagak seperti memiliki pengetahuan yang sempurna, maka hal demikian tidak dipuji oleh Buddha. Hal tersebut Buddha jelaskan dalam Nāvā Sutta-Sn; 3 bahwa orang yang mengikuti guru yang tolol dan rendah, yang belum menyadari makna Dhamma, dan yang iri hati, akan mendekati kematian tanpa memahami Dhamma dan tidak terbebas dari keraguan. Buddha juga mengritik kepada guru spritual yang patut dicela yang dijelaskan dalam Lohicca Sutta-DN. bahwa ada tiga jenis guru di dunia ini layak dicela, dan jika siapapun mencela guru-guru demikian, celaannya adalah pantas, benar, sesuai dengan keyataannya dan tidak salah. Tiga hal itu adalah seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian dan menjalankan kehidupan tanpa rumah, tetapi sudah maupun belum mencapai buah pencerahan, dan ajarannya dicela maupun dipuji, diperhatikan, didengar ataupun tidak oleh siswanya, Buddha tetap mengatakan guru seperti ini patut dicela. Guru yang dipuji dan patut dihormati tidak patut dicela adalah seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, serta murid yang diajarkan juga mencapai keluhuran, maka guru itu adalah yang di dunia ini tidak boleh dicela.
            Pengetahuan merupakan penuntun ke dalam kehidupan masing-masing. Pengetahuan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam pendidikan dan guru. Pada zaman ada dan sebelum Buddha sudah banyak pengetahuan yang diajarkan oleh para guru-guru di India. Hal ini terbukti dalam Brāhmajāla Sutta-DN dinyatakan oleh Buddha ada 62 pandangan salah, sedangkan Buddha mengajarkan Dhamma untuk menembus pengetahuan tertingggi adalah Nibbāna. Terkait adanya guru-guru besar yang ada di India pada zaman Buddha tertulis pada Samaññaphala Sutta-DN bahwa Pakudha Kaccyāna, Sañjaya Belaṭṭhaputta, dll. Masing-masing guru agama ini memiliki metode berbeda-beda untuk mendapatkan pengetahuan. Dari para guru tersebut berselisih paham (konflik) akan pandangannya masing-masing, dan menganggap pengetahuannya yang paling benar, dan pengetahuan lainnya salah.
            Khotbah Buddha dalam sutta yang sama dijelaskan bahwa terdapat dua kaum yang besar dizaman Buddha adalah kaum tradisionalis dan kaum rasionalis, serta empiris. Kaum tradisionalis adalah menyandarkan diri pada kitab suci, seperti Veda. Sedangkan kaum Rasionalis bermain pada pemikiran rasionalis (takka), serta Buddha menolak dirinya dianggap dalam kategori ketiga, yaitu kaum empiris (pengalaman sebagai pengetahuan). Terkait mengenai pengetahuan Buddha juga pernah menyampaikan sebuah Sutta kepada kaum Kālāma, disebut Kesamutti Sutta atau dikenal Sutta populer adalah Kālāma Sutta; An: III; 65. Dalam Sutta tersebut dijelaskan ada sepuluh sumber pengetahuan yang tidak dipercayai begitu saja tanpa adanya pengalaman diri. Setelah seseorang menyelidiki, mengalami sendiri dan pengetahuan itu membawa manfaat, kesejahteraan bagi diri sendiri dan makhluk lain, maka dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan, apabila tidak sebaliknya harus ditinggalkan.
            Buddha mengkritik sumber-sumber pengetahuan yang muncul karena tradisi (anussava) dan pada sumber pengetahuan lainnya. Hal ini dijelaskan dalam Caṅki Sutta-MN yaitu ada lima hal yang memiliki dua akibat dalam kehidupan ini, yaitu pengetahuan yang berbasis pada keyakinan (saddha), kesukaan (ruci), tradisi (anusava), sesuatu yang telah direnungkan (ākāraparivitakka), dan pemikiran teori yang sudah disetujui (diṭṭhinijjhānakkhantiya). Buddha menyatakan meskipun Beliau telah telah mendengar secara mendalam terkait tradisi, hal itu bisa saja kosong, hampa, dan tidak benar. Sebaliknya Buddha menyatakan apa yang Beliau dengar bukan tradisi yang dalam, dapat juga sesungguhnya sesuai dengan fakta, benar dan tidak menyimpang pada umumnya. Sehingga pada dasarnya sebagai manusia yang bijaksana, tidak selayaknya menyimpulkan apa yang diketahui itu sebagai pengetahuan pribadi yang paling benar, dan pengetahuan milik orang lain adalah salah. Orang bijak akan mengatakan bahwa pengetahuan yang ia miliki adalah sebatas yang ia ketahui, cukup itu saja, tanpa harus membuat kesimpulan bahwa yang ini benar, sedangkan yang itu salah. Sehingga diharapkan pengetahuan yang bijaksana akan menjadikan pengalaman hidup yang berarti dalam masyarakat.

            Buddha menyatakan bahwa pengetahuan yang Beliau ajarkan sangat jauh berbeda dengan pengetahuan yang diajarkan oleh kaum-kaum lainnya. Pada Zaman di India banyak pertapa yang melakukan praktiknya masing-masing dan mendapatkan pengetahuan (abhiñña), akan tetapi karena latar belakang pengetahuan dan tujuan yang berbeda, maka mereka menggunakan kemampuannya untuk kepentingan pribadi dan tidak menghantar pada kesucian. Berbeda dengan Buddha, dijelaskan dalam Ariyapariyesana Sutta-MN bahwa saat Beliau masih seorang pertapa, Beliau mencari pengetahuan untuk membebaskan dirinya, dan makhluk lain dari kelahiran, usia tua, sakit, dan mati. Beliau bertemu kedua gurunya, dan belajar serta tidak membawa pengetahuan yang diinginkan. Setelah dengan kebijaksanaan Beliau berlatih sendiri dan mencapai kesempurnaan menjadi Buddha dengan usahannya sendiri.
            Buddha adalah seorang pendidik Dhamma yang berbeda dengan pendidik yang ada dizaman itu, maupun dizaman sekarang. Buddha dengan kesungguhan hatinya mengajarkan Dhamma sehingga siswanya mampu menembus Dhamma mencapai Nibbāna. Terkait akan hal itu dijelaskan dalam Sabbāsava Sutta, Buddha menekankan bahwa pencapaian pengetahuan tertinggi (Nibbāna) dengan melenyapkan kekotoran batin adalah dengan mereka yang mengetahui, melihat, dan bukan pada seseorang yang tidak mengetahui, dan tidak melihat. Orang saat ini hanya pintar dalam intelektual seperti berlogika, pandai berdebat, seperti di faceebook, hal itu tidak membawa pada pencapaian Nibbāna, akan tetapi hanya mengukur kemampuan kepintaran yang nantinya adalah memintarkan orang lain yang bertautan dengan akusala citta, maupun akusala cetasika.
            Pengetahuan dalam agama Buddha memiliki berbagai macam tingkatan adalah sañña,viññaṇa, abhiñña, pariññā, dan pañña. Diantara kelima pengetahuan sañña,dan viññaṇa tidak mengarah pada pembebasan, akan tetapi harus disikapi dengan bijaksana sehingga tidak menyebabkan muncul belenggu dan penderitaan. Sedangkan abhiñña, pariññā, dan pañña mengarah pada pencapaian Nibbāna. Dalam Madhupiṇḍika Sutta terkait dengan enam landasan indera beserta objek-objeknya. Apabila prosesnya tidak diantisipasi berkenaan dengan pikiran, maka akan terjadi sumber konflik dan penderitaan. Terkait dengan bahayanya persepsi dijelaskan juga dalam Suttanipata syair 853 disebutkan bahwa mereka yang masih melekat pada persepsi dan pandangan akan terus bertengkar di dunia ini. Dijelaskan pula dalam Aṅguttara Nikāya; II: iv bahwa sumber pertentangan (konflik) terjadi antara para pertapa dengan para pertapa karena persepsi, pandangan dengan menganggap pengetahuannya paling benar, dengan mengatakan pengetahuan lainnya salah, sedangkan konflik dalam rumah tangga adalah disebabkan oleh keinginan. Hanya Buddha sebagai guru yang bebas dari keduanya.
            Sebagai umat Buddha yang telah mengenal Dhamma, selayaknya sudah tiba saatnya untuk terus mempelajari Dhamma (pariyatti), mempraktikkan Dhamma (patipatti), dan menembus Dhamma (pativedha) dengan pengalaman diri sebagai sumber pengetahuan yang absah/ murni. Pengetahuan yang absah akan membawa pada sumber kehidupan yang bermanfaat, menuntun seseorang menjadi bijaksana, terbebas dari kekotoran batin (kilesa), serta dapat memperoleh pengetahuan sejati yaitu Nibbāna.


Daftar Pustaka:

Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya
                              Vihāra Bodhivaṁsa Klaten:
                               Wisma Dhammaguṇa.

Bodhi. 2010. Tipiṭaka Tematika. Tanpa kota:
                               Ehipassiko Foundation.

Ihsan, Fuad. 2005. Dasar-Dasar Kependidikan
                           Jakarta: PT Rineka Cipta.

-Kalupahana, J. David. 1976. Filsafat Buddha (Sebuah Analisis Historis).
                               Terjemahan oleh Hudaya Kandahjaya. 
                               1985. Jakarta: Elangga.

-Mon, Mehm Tin. 2012.  The Essence of Buddha Abhidhamma.
                               Jakarta: Hadaya Vatthu.

-Rasidi. 2009. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. 
                                Jakarta: Cv. Naga Jawa Berdikari

-Saddatissa. 1999. Sutta Nipāta. Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa.

-Supandi, J. Cunda. 2010. Tata Bahasa Pāli
                               Tanpa kota: Vidyāvardhana Samūha.

-Tim Giri Mangala Publication 2009. Kotbah-kotbah Panjang Sang Buddha -
                                  Dῑgha Nikāya. Tanpa kota: 
                                  Dhammacitta Press.


-Vijāno. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: 
                                 Bahussuta Society.






           
             


Kamis, 07 Agustus 2014

SEBALOK ES KEHIDUPAN



Oleh: Sāmaṇera Vimalaseno

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa 3x

Tumhehi kiccaṁ ātappaṁ, Akkhātāro Tathāgatā

Paṭipannā pamokkhanti, Jhāyino Mārabandhanā.

“Para Buddha hanya mengajarkan Sang Jalan, namun engkau sendirilah yang harus berusaha.

Seseorang yang melangkah di atas Jalan Kebebasan akan terbebas dari belenggu Mara.”

(Dhammapada; Magga Vagga;20:4).
           
        Pada dasarnya manusia hidup hanya melewati masa-masa pertumbuhan baik dari lahir, meranjak usia anak-anak, remaja, dewasa, dan memasuki usia tua. Perubahan masa, membuat manusia melewati semua aktifitasnya dengan pelbagai problematika. Problematika yang terjadi di diri setiap individu merupakan sebagai akibat dari sebab yang dikondisikan sebelumnya. Kondisi sebab yang dibuat adalah berupa bentuk kesenangan – kesenangan inderawi, seperti bermain judi sebagai sebab dan sebagai akibat adalah menang, kalah, atau berurusan dengan pihak berwajib. Terkait permasalahan itu tidak sedikit seseorang yang menggantungkan kehidupannya dengan sejuta masalah, manusia terus mencari di mana kebahagiaan, akan tetapi kebahagiaan tidak akan pernah ditemui diluar sana, kecuali di dalam dirinya sendiri.
            Kebanyakan manusia salah mengartikan kebahagiaan yang di dapat dalam kehidupan duniawi adalah kebahagiaan yang hakiki. Terkadang kita pernah mendengar istilah “mumpung masih hidup puas-puasin aja, karena besok belum tentu bisa seperti ini!” Konsep semacam ini justru membuat seseorang menghumbarkan nafsu keinginannya atau kecenderungannya ke arah yang negatif. Kecenderungan negatif yang dapat dilihat seseorang yang kaya raya dengan memiliki harta justru menyimpan hartanya (kikir) dan sangat melekat dengan yang di dapat. Selain itu anggapan dimasyarakat kelahiran sebagai berkah, dan kematian sebagai hal yang ditakutkan. Usia tua juga menjadi problem dalam kehidupan manusia, mereka tidak terima apabila rambutnya memutih, giginya ompong, kulitnya keriput. Bila perlu orang tersebut setiap saat untuk melakukan perawatan kulit yang berlebihan dan operasi kecantikan. Contoh lainnya lagi adalah seseorang yang biasanya hidup dari judi, mencopet, merampok, atau dari kehidupan portitusi, apabila usaha yang dilakukan telah membawa kebahagiaan, kepuasan, maka dikatakan itu sebagai kebahagiaan bagi pandangan umum.
            Kehidupan ini jika dilihat sama halnya seperti seseorang meletakkan satu balok es yang besar di tempat terbuka di bawah teriknya matahari, akan terlihat es tersebut musnah. Sama halnya dengan umur manusia sedikit demi sedikit berkurang. Begitupula dengan es itu sedikit demi sedikit, setelah beberapa menit, jam, es tersebut akan mencair semuanya menjadi air. Inilah yang disebut kematian dan kemorosatan. Terkait dengan masalah perubahan dalam hidup Buddha menjelaskan dalam AN. III, 35 bahwa adanya tiga utusan agung, yaitu adanya usia tua, sakit, mati, setiap manusia yang lalai tidak mengendalikan pikiran, ucapan, dan tindakan dengan baik, maka ia akan jatuh atau merosot dalam alam yang tidak bahagia.
            Kebahagiaan seseorang tidak ditentukan dari kedudukan, dan harta, melainkan dari moralitas yang dilatih dengan keras diperjuangkan, selain itu Samadhi yang telah dilatih sepanjang hari juga menjadi pendukung kemajuan batin. Buddha menjelaskan dalam AN. I: 19, bahwa setelah manusia meninggal dunia akan banyak terlahir di alam menderita, dan sedikit kembali ke alam manusia. Hal yang menyebabkan mereka terlahir di alam menderita adalah karena ketidaktahuan (avijja). Faktor seseorang dapat terlahir di alam tidak bahagia selain dari faktor ketidaktahuan, faktor lain adalah mereka tidak disiplin dalam melatih diri, banyak melakukan pemuasan nafsu kecenderungan ke hal yang tidak baik (tanha), tidak berusaha dengan benar, tidak melatih Samadhi, serakah, menyia-nyiakan makanan. Apabila manusia mengetahui dan memperoleh Dhamma, maka mereka juga akan memperoleh citarasa tujuan, citarasa Dhamma, citarasa pembebasan. Demikian harus dilatih.
            Ketidaktahuan dan tidak melatih hidup dalam Dhamma akan membawa seseorang pada kemerosotan untuk selalu berputar dalam samsara kehidupan hingga cengkraman tiga utusan agung yang Buddha jelaskan dalam Sutta Pāli selalu mengikuti, dan hal itu sudah ada sejak dulu dunia terbentuk, kita dilahirkan, kemerosotan ini tidak dibuang kemanapun juga. Pada saat seseorang dilahirkan ia telah membawa penyakit, usia tua, dan kematian. Tubuh yang kita miliki akan mengalami kemerosotan pada masanya, rambut dikepala akan merosot disetiap bagiannya. Selain itu rambut di tubuh akan merosot, kuku tangan, kaki, dan semua yang ada ditubuh akan mengalami kemerosotan. Kemerosotan akan menghantam jasmani ini dan inilah sifat alaminya. Terkait masalah tersebut Buddha menjelaskan bahwasanya manusia selayaknya selalu menempatkan kewaspadaan yang ditujukan pada tubuh, seperti dijelaskan pada AN, I, 21, yaitu jika seseorang melatih dan mengembangkan kewaspadaan maka ada samvega (kemendesakan) yang kuat untuk menuju pada keselamatan, bebas dari keterikatan, menuju pada kewaspadaan dan pemahaman yang jernih, pada pencapaian visi dan pengetahuan, pada kediaman yang menyenangkan langsung di dalam kehidupan ini juga dan merealisasi buah pengetahuan dan pembebasan. Selain itu, tubuh akan menjadi tenang, pikiran akan menjadi tenang, kebodohan batin dapat dilenyapkan, seseorang yang tidak mengalami kematian, mereka telah mengambil bagian dalam kewaspadaan, dan sebaliknya mereka yang tidak mengambil bagian dalam kewaspadaan, maka mereka akan mengalami kematian.
Seseorang yang melekat pada jasmani akan merasakan kepedihan yang mendalam, pada saat tubuh ini rapuh dan hancur. Terkait hal ini Buddha menjelaskan pada Piyajatikasutta-MN, bahwa pada sewaktu dahulu ada seorang ayah yang meratap kematian putranya dan selalu menagis di kuburan anak tunggalnya, ayah itu seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup. Pada sewaktu ketika bertemu Buddha dan menanyakan hal mengenai kepedihan hatinya melihat putra tunggalnya dan yang disayangi meninggal, apakah sebab kepedihan itu? Buddha menjelaskan Orang-orang yang kita cintai, mereka yang terkasih (membawa) kesedihan dan ratapan, sakit, duka cita dan kekecewaan.
Kehidupan bahagia akan dapat diperoleh bagi siapa saja, asalkan kewaspadaan dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Ketidaktahuan dan kemelekatan terhadap jasmani akan membawa seseorang berputar dalam samsara kehidupan dalam jangka waktu yang panjang. Selayaknya umat Buddha setelah mengetahui isi dari Dhammacakkapavatthana Sutta, seperti yang Buddha jelaskan, bahwa dua jalan ekstrim seperti hidup berfoya-foya dan menyiksa diri harus dihindari. Selain itu Buddha juga menjelaskan bahwa empat kesunyataan mulia perlu dipahami dengan baik. Terkait isi empat kesunyataan mulia itu yaitu adanya dukkha (ketidakpuasan, ratap tangis, putus asa), hal ini disebabkan adanya tanha (kecenderungan hal-hal buruk). Terhentinya dukkha apabila tanha dapat dimusnahkan dengan jalan mulia berfaktor delapan yang dirangkum menjadi sῑla, Samadhi, dan pañña.
Kebahagiaan dapat diraih oleh umat Buddha apabila mereka yang selalu memiliki kemauan untuk belajar, dan mempratikkan Dhamma dengan kesungguhan hati. Kesungguhan hati dalam berlatih, maka penembusan Dhamma dapat diraih berupa pengetahuan, pengalaman diri, dan kebahagiaan sejati. Terkait permasalahan hidup Buddha menjelaskan dalam Mahaparinibbāna Sutta-DN, bahwa : “Vayo dhamma saṅkhārā apamadena sampadetha”.  Segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur ada umurnya, karena itu sungguh-sungguhlah berjuang dengan sadar . Perjuangan akan menghasilkan nibbāna.

Refrensi:
Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi, Nyanaponika. 2003. Majjhima Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi, Nyanaponika. 2010. Tipiṭaka Tematika. Tanpa kota: Ehipassiko Foundation.
Kaharuddin. 2005. Abhidhammatthasaṅgaha. Vihara Padumuttara: Tangerang
Tim Giri Mangala Publication 2009. Kotbah-kotbah Panjang Sang Buddha Dῑgha
Nikāya. Tanpa kota: Dhammacitta Press.

Vijāno. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: Bahussuta Society.

Rabu, 06 Agustus 2014

UPAYA MELESTARIKAN EKOLOGI BERDASARKAN ETIKA-ESTETIKA BUDDHIS



Oleh: Samanera Herman Vimalaseno

Mahasiswa STAB Kertarajasa-Batu-Malang-Jatim
Penulis Artikel Buddhis

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Mahāsuci, Yang telah Mencapai Penerangan Sempurna)

Yathāpi bhamaro pupphaṁ, vaṇṇagandhaṁ aheṭhayaṁ
paleti rasamādāya, evaṁ gāme care.

Bagaikan seekor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga
 tanpa merusak warna maupun baunya,
demikian pula hendaknya, orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.

As a bee gathers honey from the flower without injuring
its color or fragrance,
even so the sage goes on his alms-round in the village.
(Dhammapada; Puppha Vagga; 49)

Perspektif pemeliharaan ekosistem dalam Buddhisme, menekankan pelestarian lingkungan hidup. Sehubungan dengan pelestarian lingkungan hidup yang membawa seni keindahana (estetika) telah dijelaskan dalam Dhammapada-Khuddhaka Nikāya, syair 49, yaitu “Bagaikan seekor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya, demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.” Berkenaan dengan hal ini, di dalam ekosistem, lebah tidak sekedar mengambil keuntungan dari madu yang dihasilkan oleh bunga, akan tetapi ada feedback (umpan balik) dari lebah dengan melakukan penyerbukan terhadap bunga. Perilaku lebah telah memberikan ilustrasi estetika yang mampu menginspirasikan setiap individu untuk mampu menggunakan sumber daya alam terbatas. Secara kesimpulan yang telah dijelaskan di dalam Dhammapada bahwa manusia selain mengeksplorasi sumber daya dari alam, sebaiknya menjaga alam dan tidak mengambil sumber daya dari alam dan merusaknya.
Berkenaan dengan ekosistem dan estetika, Buddha menjelaskan di dalam Vinaya Pitaka- bagian vassa, disebutkan mengenai aturan kedisiplinan bagi para Bhikkhu yang sudah memasuki musim vassa (musim penghujan di India, selama tiga bulan) tidak diperkenankan untuk meninggalkan tempat, kecuali dalam keadaan mendesak. Pada masa vassa, dijelaskan apabila para bhikkhu memaksakan diri untuk berpergian, maka ia telah merusak tumbuh-tumbuhan dan dapat menyebabkan makhluk hidup ditanah terinjak dan mati. Apabila hal ini dilakukan, maka bhikkhu tersebut telah melakukan pelanggaran. Fakta menunjukkan esensial dalam menyikapi atau mengimbagi ekosistem lingkungan dengan etika Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.
Melestarikan alam sebagai bentuk estetika, dalam Vinaya Pitaka, Buddha menegaskan bahwa seorang Bhikkhu tidak diperkenankan untuk merusak biji-bijian, mencemari air dan tumbuh-tumbuhan dengan kotoran, seperti air liur, air seni dan tinja. Serta dilarang menebang pohon, bertani, menghidupkan api (memasak). Dalam melestarikan ekosistem umat Buddha diharapkan mampu mengaplikasikan etika Buddhis, sehingga mampu menciptakan estetika dalam kehidupan nyata. Etika menjadi tolak ukur yang sangat mendasar untuk terciptanya korelasi antara ekosistem dan estetika. Selain itu Buddha telah menerapkan ekologi sebagai bagian pengetahuan Dhamma kepada siswanya.
Berkenaan dengan pelestarian lingkungan dan alam, dijelaskan dalam Sekhiyavattha, butir 74, 75-Vinaya Pitaka, yaitu “Seorang Samana (pertapa) tidak diperkenankan untuk buang air besar, air kecil, air ludah ditetumbuhan dan air.” Hal ini sangat jelas Buddha menetapkan etika sebagai dasar untuk terciptanya ekosistem yang berestetika dalam kehidupan seseorang dan berguna bagi lingkungan hidup bermasyarakat.
Berkenaan dengan pengelolaan ekosistem tanpa etika, maka estetika tidak akan terwujud, sebagai efek saat ini semua lapisan masyarakat merasakan dampak dari bencana yang terjadi di Indonesia khususnya. Hal ini terjadi dikarenakan ambisi manusia yang tidak pernah terpuaskan oleh nafsu keinginan (Tanha) dalam mengeksploitasi sumber daya alam secara arogan. Seperti contoh sumber daya laut yang dieksploitasi dengan menggunakan bom rakitan atau racun yang merusak ekosistem, sekaligus estetika kelautan. Hal ini dilakukan tanpa didasari oleh etika manusia. Kasus kedua merupakan penembangan pohon secara liar, tanpa melakukan reboisasi dan menyebabkan erosi dan longsor.
Bencana yang terjadi selain disebabkan oleh sifat arogan dan ambisius manusia. Bencana juga terjadi oleh alam, seperti gempa, gunung meletus, dan tsunami. Dalam Aṅguttara Nikāya Aṭṭhakathā II; 432-Sutta Pitaka, Buddha menjelaskan bahwa terdapat lima hukum (Pañcaniyāma) yang bekerja di alam semesta ini, yaitu utu-niyāma, bῑja-niyāma, kamma-niyāma, citta-niyāma, dan dhamma-niyāma.

a.     Utu-niyāma
Merupakan hukum energi berkenaan dengan sesuatu yang tidak hidup (anorganik). Utu-niyāma bekerja dalam fungsinya di dalam pergantian musim, cuaca, pelapukan benda, proses penguapan, turunnya hujan, proses terbentuknya dan hancurnya planet, dan segala sesuatu yang berkenaan dengan kimia dan fisika.
b.     Bῑja-niyāma
Hukum yang berkenaan dengan hereditas yang bersifat organik. Kerja hukum ini berkenaan dengan proses pertumbuhan pada pohon, mulai dari biji sampai menjadi pohon. Hukum ini juga bekerja dalam proses pembelahan sel pada tubuh makhluk hidup, pembentikan janin, dan menurunnya sifat genetik.
c.      Kamma-niyāma
Hukum perbuatan dan hasil yang bekerja berkenaan dengan sebab-akibat. perbuatan buruk menghasilkan buruk, dan sebaliknya. Hasil dari perbuatan bukan merupakan hadiah atau hukuman, melainkan aksi konsekuensi dari hukum alam yang sewajarnya.
d.     Citta-niyāma
Hukum yang berkenaan dengan kerja batin. Bekerja dengan proses pikiran dan kesadaran makhluk. Kemampuan konsentrasi, kesaktian batin, kemampuan mengingat, bekerja atas hukum ini.
e.     Dhamma-niyāma
Hukum yang berkenaan dengan sifat dasar suatu fenomena yang alami, seperti kodrat, gravitasi, kejadian alam yang khusus dengan menandakan peristiwa besar di alam semesta. Peristiwa itu menyangkut kehidupan Buddha, seperti Kelahiran, Pencapaian Kesempurnaan, dan Mahaparinibbāna. Hukum ini juga bekerja untuk makhluk yang masih mengalami kelahiran dan belum menembus Nibbāna.
            Meskipun kelima hukum ini terlihat terpisah, akan tetapi merupakan satu kesatuan kausalitas. Kausalitas tidak memisahkan sebab dan akibat sebagai dua peristiwa yang berbeda, tetapi dipandang sebagai mata rantai yang saling berurutan dan saling bergantung dalam suatu rangkaian proses. Berkenaan dengan hukum (niyāma) yang saling berkaitan, peran etika sangat penting, karena dapat mempengaruhi iklim dunia. Misalnya kamma buruk yang dihasilkan (vipāka akusalakamma) sebagai akumulasi ketamakan, kebencian, pelanggaran sῑla sampai pada titik tertentu, maka akan terjadi gangguan pada alam atau ekosistem yang dapat berupa: musim hujan yang tidak tepat pada musimnya, cuaca esktrem.
            Etika merupakan sesuatu hal yang vital, karena etika yang buruk akan berdampak fatal pada alam semesta, kaitanya dalam ekologi. Hal ini juga dijelaskan dalam Aṅguttara Nikāya II, 69, Bilamana para raja, para menteri berlaku tidak benar, demikian juga para brahmana, rakyat, penduduk kota dan desa menjadi tidak benar, maka matahari, bulan, bintang, dan konstelasi-konstelasi berubah garis orbitnya. Siang, malam, bulan, musim, dan tahun juga berubah. Angin bertiup pada waktu yang tidak tetap, curah hujan yang berkurang sehingga panen datang pada musim yang salah, maka sebagai konsekuensinya manusia berusia pendek, memiliki rupa yang buruk, lemah, dan banyak penyakit, dan sebaliknya.
            Sebagai kesimpulan diharapkan umat Buddha selayaknya memberikan kontribusi pada lingkungan dengan merealisasi penerapan etika, misalnya menjalankan Pañcasῑla Buddhis, mengembangkan batin melalui meditasi, serta melakukan aksi penghijauan lingkungan, gerakan cinta alam, mengelolah sampah (simbiomasi = Sistem Biopori dan Manajemen Sebab Terintegrasi. *Telah diterapkan di Padepokan Dhammadipa Arama-Batu). Apabila hal ini di praktikkan dengan kesungguhan hati, maka kita telah melakukan upaya melestarikan ekosistem melalui etika dan menghasilkan estetika bagi alam semesta.

Daftar Pustaka:
Bodhi dan Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya. Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa Wisma Dhammaguṇa.

Bodhi. 2010. Tipiṭaka Tematika. Tanpa kota: Ehipassiko Foundation.
Dhammadhῑro. Tanpa tahun. Pustaka Panduan Sāmaṇera. Tanpa kota: Saṅgha Theravāda  Indonesia

Rashid, Teja. 2009. Sῑla dan Vinaya. Jakarta: Bodhi.
Subalaratano dan Widya (Ed.). 2002. Pengantar Vinaya. Tanpa kota: Graha Metta Sejahtera.
Vijāno, Win. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: Bahussuta Society.

Vijjānanda, Handaka. 2010. Ehipassiko SMA 1. Tanpa kota: Ehipassiko Foundation.