Dipublikasikan oleh: Samanera Vimalaseno
Sering kita membaca koran, menonton
televisi, ataupun mendapat ajakan dari teman yang `non-Buddhis' untuk
menghadiri kebaktian dengan tujuan menyaksikan kebesaran `Hyang Agung' yang
memperlihatkan kemampuan-Nya dalam menyembuhkan orang yang cacat fisik (seperti
pincang, buta) dan menyembuhkan orang dari berbagai penyakit ringan (seperti
batuk-batuk terus) hingga penyakit yang ganas seperti kanker.
Pernahkah Anda mengikuti acara seperti itu?
Apakah Anda memang tertarik atau ikut-ikutan saja? Yakinkah Anda bahwa
kemampuan yang ditunjukkan adalah benar milik `Hyang Agung'?
Seiring dengan perkembangan jaman, cara
penyebaran agama pun sudah tidak seperti dahulu. Saat ini `agama' sudah
disetarakan dengan `produk' oleh kaum `non-Buddhis', yang dalam menunjang
suksesnya perlu dilakukan berbagai promosi, di samping penyusunan strategi yang
jitu.
Melalui televisi dapat kita saksikan
berbagai `acara yang menayangkan kesaksian-kesaksian atas mukjizat yang
terjadi, terutama oleh orang-orang yang tadinya tidak memeluk agama tersebut.
Acara tersebut dikemas seperti sedang mempromosikan suatu produk. Kesaksian
atas mukjizat yang ditayangkan tidak jarang merupakan pengakuan yang belum tentu
benar dan objektif. Ironisnya, tidak sedikit nara sumber yang mengaku dulunya
beragama `Buddha', yang jika kita teliti dengan seksama sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang tidak mengerti agama `Buddha'.
Tidak jarang di rumah sakit, kita menjumpai
kelompok agama `non-Buddhis' yang sedang mendoakan pasien yang tidak seagama
dengan mereka. Suatu perbuatan yang sesungguhnya sangat mulia dan patut
dihargai jika tidak diilhami dengan maksud tertentu yang kurang bijaksana.
Sering terdengar pesan dari mereka bahwa Anda akan sembuh jika benar-benar
menyerahkan diri atau percaya pada `Hyang Agung' mereka dan jangan percaya pada
`Hyang Agung' yang lain (dalam agama si pasien). Jika si pasien sembuh, mereka
akan menyatakan bahwa hal itu karena mukjizat dari `Hyang Agung' mereka,
seakan-akan mereka lupa bahwa pada saat bersamaan si pasien masih terus
menerima pengobatan medis. Jika tidak sembuh, mereka akan menyatakan bahwa hal
itu karena si pasien tidak/kurang percaya pada `Hyang Agung' mereka. Jika si
pasien meninggal dan sempat dialihkan agamanya menjadi penganut agama yang
mereka yakini sebelum detik-detik kematian si pasien, mereka pasti menyatakan
dia akan berada di sisi `Hyang Agung' atau surga dan sudah terselamatkan.
Apakah Anda yakin, semudah itukah surga dapat dicapai hanya dengan modal
'percaya'?
Coba Anda bayangkan, ada beberapa suku
primitif yang masih belum mengenal atau tidak yakin pada dunia pengobatan. Jika
ada anggota suku yang sakit mereka hanya membawanya ke `dukun' dan
meletakkannya di bawah pohon. Setelah si `dukun' membacakan `mantra-mantra',
ternyata sembuh. Mungkin ini lebih canggih karena tidak diperlukan bahwa si
pasien harus "percaya."
Demikian juga, tidak kurang acara kebaktian
yang dikoordinasikan oleh berbagai jenis aliran `non-Buddhis', dengan tujuan
untuk mempertontonkan mukjizat-mukjizat `Hyang Agung' dan dikemas seperti acara
`show'. Pada acara tersebut akan terlihat adanya sekelompok orang, baik yang
cacat fisik (misalnya buta, pincang), mengalami sakit (misalnya diabetes, hepatitis,
kanker), hingga yang sedang stress atau depresi, berbondong-bondong menunggu
dan mengharapkan terjadinya mukjizat dari `Hyang Agung' melalui pemuka aliran
`non-Buddhis' tersebut.
Apakah `Hyang Agung' perlu mempertontonkan
kesaktian-Nya agar manusia percaya akan keberadaan-Nya? Apa sesungguhnya tujuan
yang hendak dicapai, memuji kebesaran `Hyang Agung'? Apakah pengakuan/pemujian
manusia terhadap-Nya begitu penting hingga mengalahkan rasa cinta/kasih-sayang
yang seharusnya diberikan oleh-Nya? Bukankah akan lebih baik `Hyang Agung'
menunjukkan mukjizat-mukjizat-Nya di rumah sakit, yang jelas-jelas merupakan
orang yang harus segera disembuhkan daripada mukjizat dipertontonkan di depan
umum? Siapa tahu suatu saat tidak diperlukan lagi dokter dan rumah sakit
seperti kembali ke masa lalu.
Demikian beberapa contoh pertanyaan
yang akan terlintas di pikiran orang yang tidak mudah percaya begitu saja.
Dari data yang diperoleh, kalaupun benar
terjadi mukjizat pada saat acara 'kebaktian' tersebut, diperkirakan hanya 1-3
yang mungkin sembuh setiap 100 orang. Dalam bidang statistik, kesimpulan yang
diambil adalah bahwa mukjizat `Hyang Agung' yang dipertontonkan pada saat acara
tersebut tidaklah benar. Bayangkan saja, persentase orang yang tidak sembuh
berada di atas 90%, sehingga yang sembuh lebih tepat disebut sebagai `sampling
error' (data yang menyimpang) untuk mengambil suatu kesimpulan
generalisasi. Sebagai gambaran, andaikan dalam proses pengobatan untuk seratus
pasien ternyata yang sembuh hanya tiga pasien, apakah dapat dikatakan proses
pengobatan tersebut sukses? Komentar defensif yang sering terdengar adalah
bahwa orang yang benar-benar percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya pada
`Hyang Agung hanyalah sekitar 1-3 % tadi, dan itu adalah suatu keberhasilan
yang telah disimpulkan secara terbalik. Tidak jarang justru yang sembuh adalah
orang yang tidak pernah atau jarang kelihatan di tempat ibadah mereka.
Belum lagi ditambah banyaknya penipuan yang
sering dilakukan oleh pemuka aliran agama yang tidak benar, di mana untuk acara
seperti itu, terdapat pengurus yang dikhususkan untuk mencari orang-orang yang
berpura-pura mengalami cacat fisik ataupun sakit, dan terlihat sembuh mendadak
saat dibacakan `doa kesembuhan' oleh sang pemuka aliran agama tersebut. Kasus
yang sudah dianggap kriminal ini pernah diungkapkan dalam berita.
Dalam agama Buddha, peristiwa yang
mengisahkan mukjizat tak terhitung banyaknya, dan bukan monopoli Sang Buddha
saja, tetapi juga dapat dilakukan oleh siswa-siswa Beliau, baik itu bhikkhu
maupun upasaka/upasika. Tidak saja dengan mengacu pada peristiwa di dalam kitab
suci Tipitaka (saudara dapat membacanya), berbagai peristiwa pun dapat kita
jumpai saat ini, di mana tidak sedikit yang sembuh dari penyakit berat seperti
kanker dan sebagainya, dengan melatih meditasi Vipassana. Terdapatnya umat yang
mempunyai kemampuan membaca pikiran orang, menyembuhkan orang dari jarak jauh,
dan sebagainya.
Dalam agama Buddha, seseorang yang
mempunyai kekuatan batin bukanlah sesuatu yang luar biasa, dan dapat dilakukan
oleh siapa saja. Melalui meditasi, jika seseorang sudah mencapai Jhâna keempat,
ia dapat mengembangkan enam Abhiñña dan Iddhividhañna (kemampuan yang luar
biasa) sebagai berikut:
- Pubbenivâsânussatiñâna: kemampuan untuk melihat kehidupan masa lampau
- Dibbacakkhuñâna atau Cutûpptañâna: mata batin, mampu melihat alam-alam halus dan kesanggupan melihat muncul lenyapnya makhluk yang lahir sesuai dengan kammanya masing-masing.
- Cetopariyañâna atau Paracittavijañâna: kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain.
- Dibbasotañâna: telinga dewa, kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam manusia, alam dewa, alam brahma yang dekat maupun yang jauh.
- Iddhividhiñâna:
kekuatan magis, yang terdiri dari:
a. Adhittana-iddhi, yaitu kekuatan kehendak (will power) untuk mengubah tubuh sendiri dari satu menjadi banyak. Atau dari banyak menjadi satu.
b. Vikubbanâ-iddhi, yaitu kemampuan untuk mengubah rupa, misalnya mengubah rupa menjadi anak kecil, raksasa, ular, membuat diri menjadi tidak nampak.
c. Manomaya-iddhi, yaitu kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, misalnya menciptakan istana, taman, singa, dan benda-benda lain.
d. Ñânavipphara-iddhi, yaitu pengetahuan menembus ajaran.
e. Samadhivipphrâ-iddhi, yaitu konsentrasi lebih jauh sebagai berikut:
- Kemampuan menembus dinding, gunung, dan lain-lain,
- Kemampuan menembus ke dalam bumi bagaikan menyelam air
- Kemampuan berjalan di atas air.
- Kemampuan tak terbakar oleh api.
- Kemampuan terbang di angkasa. - Âvakkhayañâna: kemampuan untuk memusnahkan sava atau kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian tertinggi (Arahat).
Penyebaran ajaran melalui kesaktian atau
mukjizat sudah ada jauh sebelum masa Sang Buddha, di mana para pertapa sering
menunjukkannya untuk memperbanyak pengikutnya. Tetapi saat agama ‘non-Buddhis’
menggunakan ‘mukjizat’ untuk menyebarkan ajarannya, justru Sang Buddha
menunjukkan sikap Beliau yang unik dengan melarang para bhikkhu ataupun para
siswa-Nya menggunakan kesaktian untuk menyebarkan Dhamma, dan telah ditetapkan
menjadi larangan untuk para bhikkhu dalam Vinaya.
Dikisahkan, seorang bendahara dari Rajagaha
membuat tantangan untuk para pertapa, bila ada yang berhasil mengambil mangkuk
(yang terbuat dari kayu cendana) yang digantungkan di udara dengan seutas tali
dari sambungan bambu dengan ketinggian enam puluh cubit (30 meter) dari tanah,
maka dia beserta anak dan istrinya akan menjadi muridnya. Pada saat tidak ada
seorang pertapa pun yang dapat mengambil mangkuk tersebut, Y.M. Pindola
Bharadvaja yang sedang berpindapatta bersama Y.M. Maha Moggollana, terbang dan
mengambil mangkuk tersebut. Setelah mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Y.
M. Pindola Bharavadvaja, Sang Buddha menegur beliau dan menyuruhnya memecahkan
mangkuk tersebut menjadi potongan-potongan kecil serta menyerahkannya kepada
para bhikkhu untuk dijadikan bubuk kayu cendana. Sejak itu, Sang Buddha
menetapkan peraturan yang melarang para bhikkhu mempraktikkan kekuatan
supranatural untuk tujuan seperti itu di masa yang akan datang.
Pelanggaran atas peraturan latihan akan
menyebabkan seorang bhikkhu mendapat hukuman yang disebut apatti. Dalam Vinaya
bagian Sudhika Pacittiya, disebutkan bahwa apabila seorang bhikkhu mengatakan/menunjukkan
kepada umat awam kemampuan gaib yang dimilikinya, maka ia melanggar pacittiya (pelanggaran yang
dapat diperbaiki). Lebih jauh lagi, di dalam Vinaya bagian Parajika ,
dinyatakan jika seorang bhikkhu berbohong dengan menyatakan dirinya mempunyai
kesaktian yang sebenarnya tidak dimilikinya, maka ia melanggar Parajika
(pelanggaran berat) dan harus dikeluarkan dari kebhikkhuan.
Di dalam Dîgha Nikâya I, Sang Buddha menyatakan bahwa para pertapa yang melakukan peramalan suratan tangan, meramal sesuatu yang akan terjadi, penujuman, mempersembahkan korban, mendapatkan jawaban sabda para dewa, berkomat-kamit dengan kata-kata tertentu berlaku seperti orang suci dan berpraktek sebagai ‘dokter’, merupakan pertapa-pertapa yang mendapatkan penghidupan dengan cara rendah.
Berbagai kesaktian dan mukjizat yang pernah
ditunjukkan oleh Sang Buddha dan para siswa, tidak untuk memamerkan kesaktian
para Ariya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kisah, misalnya:
- Pada saat Sang Buddha mengunjungi Kapilavatthu atas undangan Raja Suddhodana (ayah Pangeran Siddharta). Karena telah menjadi Buddha maka tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada Raja Suddhodana (sesuai dengan tradisi saat itu bahwa seorang anak harus bersujud di depan ayahnya). Sang Buddha terbang ke angkasa mendekati Raja Suddhodana dan dari badan sebelah atas menyala api yang berkobar-kobar dan bagian bawah badan memancarkan air dingin, dan setelah itu air memancar dari badan sebelah atas dan api menyala berkobar-kobar dari badan sebelah bawah.
- Sang Buddha terbang dan melayang di atas sungai Rohini memberikan khotbah untuk mencegah terjadinya perang antara suku Koliya dan suku Sakya dalam memperebutkan air.
- Pada saat Añgulimala akan membunuh ibunya untuk melengkapi jari tangan yang dikumpulkan (seribu tangan) untuk dipersembahkan kepada gurunya. Sang Buddha mendatangi Añgulimala dan berdiri di antara Añgulimala dan ibunya. Pada saat Añgulimala melihat Sang Buddha, dengan pedang terhunus Añgulimala berlari mengejar Sang Buddha untuk membunuhnya. Walaupun Sang Buddha berjalan dengan lambat, Añgulimala tidak pernah berhasil mengejar dan menyentuh Sang Buddha walaupun sudah mengejar sekuat tenaga. Kemudian Sang Buddha memberikan nasehat kepada Añgulimala. Setelah mendengar kata-kata Sang Buddha, Añgulimala menyadari perbuatannya dan kemudian ditahbiskan menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian Arahat.
- Seorang upasaka ingin pergi ke Jetavana untuk melihat Sang Buddha. Ia sampai di tepi sungai Aciravati ketika hari sudah malam, dan tidak ada perahu untuk menyeberangi sungai itu karena tukang perahunya sedang pergi ke tempat Sang Buddha mendengarkan pembabaran Dhamma. Karena pemusatan pikirannya yang kuat sekali kepada Sang Buddha, ia dapat berjalan di atas air menyeberangi sungai, dan kakinya tidak tenggelam dalam air. Ia berjalan bagaikan di atas tanah.
Sang Buddha tidak mengajarkan kita untuk
mencari kesaktian dan mukjizat, mempercayainya sebagai suatu kekuatan yang
dapat memberikan kita berkah dan keselamatan. Karena hal itu tidak benar dan
tidak berguna untuk pengembangan spritual atau batin.
Orang yang selalu mencari perlindungan pada
hal-hal seperti itu, tidak akan dapat melihat Dhamma nan mulia yang telah
dibabarkan oleh Sang Buddha. Umat Buddha hanya akan mencari kesaktian dan
mukjizat di luar dirinya, dan lupa akan pencapaian yang menjadi tujuan hidup
seorang Buddhis.
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan
mukjizat, keberuntungan dan kebahagiaan dapat dicapai
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan
mukjizat, kematian dapat dicegah
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan
mukjizat, roda samsara dapat dihentikan.
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan
mukjizat, kesucian dapat diperoleh.
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan
mukjizat, penderitaan akan berakhir.
Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan
mukjizat, pembebasan dapat direalisasikan.
Dhamma berada sangat dekat, mengundang
untuk dibuktikan sendiri. Berkah kebahagiaan dapat Anda ciptakan sendiri tanpa
harus menunggu terjadinya mukjizat dari luar diri kita. Karena dengan
menjalankan Dhamma, ajaran nan agung yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha,
Anda dapat menciptakan sendiri ‘mukjizat-mukjizat’ dalam kehidupan Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar