Di Publikasikan oleh : Samanera Herman Vimalaseno
Sebagaimana hukum alam semesta, Sang Buddha
mengatakan bahwa awal dan akhir dari alam semesta adalah tidak dapat
dibayangkan. Buddhisme tidak mempercayai bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir
dalam penghancuran total. Tidak ada sama sekali yang namanya penghancuran alam
semesta dalam sekejap.
Sesuai dengan sifat ketidakkekalan (anicca),
begitu pula dunia kita (bumi) pun akan mengalami kehancuran pada suatu saat.
Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur
leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan
kita. Sebab seperti apa yang telah diuraikan di atas, bahwa di alam semesta ini
tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan
manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang
terdapat dalam tata surya- tata surya yang tersebar di alam semesta ini.
Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini
menurut Aṅguttara
Nikᾱya, Sattaka Nipata, Agañña Sutta diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang
lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini
muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama
matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam, dan
akhirnya muncul matahari ketujuh. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita
ini terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.
Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain
bukanlah berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa,
tetapi matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta ini, yang terdapat
di setiap tata surya.
Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet,
tata surya, dan galaksi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi
kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam semesta ini, maka pada
suatu masa garis edar tata surya akan bersilangan dengan garis orbit tata surya
lain, sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang
bersilangan orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya tata surya ketujuh
menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari
bumi kita ini. Baiklah mari kita ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan
oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu:
Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun,
ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan,
maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan,
pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati…
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir
masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua
sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada…
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir
masa yang lama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka
semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu, dan Mahi
surut, kering dan tiada…
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir
masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka
semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta,
Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut,
kering dan tiada…
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir
masa yang lama, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air
maha samudra surut 100 yojana, lalu surut 200 yojano, 300 yojana, 400 yojana,
500 yojana, 600 yojana, dan surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam
tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam
sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa sedalam tinggi
tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua, dan hanya sedalam tinggi seorang
raja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut
sampai sedalam tinggi mata kaki.
Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan
tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki
sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan
lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir
masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka
bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan,
memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran
periuk yang mengeluarkan, memuntahkan, dan menyemburkan asap, begitulah yang
terjadi dengan bumi ini.
Demikianlah para bhikkhu, semua bentuk (sańkhara) apapun adalah tidak kekal, tidak abadi
atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk ini, itu
menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh
muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru
sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti
bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma,
demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin
sampai ke alam Brahma.
Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5, 6
ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang
berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar, bumi
dan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan
mentega atau minyak yang terbakar hangus terbakar hingga bara maupun debu tidak
tersisa sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar