Oleh: Samanera Herman Vimalaseno
Mahasiswa STAB Kertarajasa-Batu-Malang-Jatim
Penulis Artikel Buddhis
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Mahāsuci,
Yang telah Mencapai Penerangan Sempurna)
Yathāpi bhamaro pupphaṁ, vaṇṇagandhaṁ
aheṭhayaṁ
paleti rasamādāya, evaṁ gāme care.
Bagaikan seekor kumbang
mengumpulkan madu dari bunga-bunga
tanpa merusak warna maupun baunya,
demikian pula hendaknya, orang
bijaksana mengembara dari desa ke desa.
As a bee gathers honey from the
flower without injuring
its color or fragrance,
even so the sage goes on his
alms-round in the village.
(Dhammapada; Puppha Vagga; 49)
Perspektif pemeliharaan
ekosistem dalam Buddhisme, menekankan pelestarian lingkungan hidup. Sehubungan
dengan pelestarian lingkungan hidup yang membawa seni keindahana (estetika) telah
dijelaskan dalam Dhammapada-Khuddhaka
Nikāya, syair 49, yaitu “Bagaikan seekor kumbang mengumpulkan madu dari
bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya, demikian pula hendaknya orang
bijaksana mengembara dari desa ke desa.” Berkenaan dengan hal ini, di dalam
ekosistem, lebah tidak sekedar mengambil keuntungan dari madu yang dihasilkan
oleh bunga, akan tetapi ada feedback (umpan
balik) dari lebah dengan melakukan penyerbukan terhadap bunga. Perilaku lebah
telah memberikan ilustrasi estetika yang mampu menginspirasikan setiap individu
untuk mampu menggunakan sumber daya alam terbatas. Secara kesimpulan yang telah
dijelaskan di dalam Dhammapada bahwa
manusia selain mengeksplorasi sumber daya dari alam, sebaiknya menjaga alam dan
tidak mengambil sumber daya dari alam dan merusaknya.
Berkenaan
dengan ekosistem dan estetika, Buddha menjelaskan di dalam Vinaya Pitaka- bagian vassa, disebutkan mengenai aturan
kedisiplinan bagi para Bhikkhu yang sudah memasuki musim vassa (musim penghujan di India, selama tiga bulan) tidak
diperkenankan untuk meninggalkan tempat, kecuali dalam keadaan mendesak. Pada
masa vassa, dijelaskan apabila para
bhikkhu memaksakan diri untuk berpergian, maka ia telah merusak tumbuh-tumbuhan
dan dapat menyebabkan makhluk hidup ditanah terinjak dan mati. Apabila hal ini
dilakukan, maka bhikkhu tersebut telah melakukan pelanggaran. Fakta menunjukkan
esensial dalam menyikapi atau mengimbagi ekosistem lingkungan dengan etika
Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.
Melestarikan
alam sebagai bentuk estetika, dalam Vinaya
Pitaka, Buddha menegaskan bahwa seorang Bhikkhu tidak diperkenankan untuk
merusak biji-bijian, mencemari air dan tumbuh-tumbuhan dengan kotoran, seperti
air liur, air seni dan tinja. Serta dilarang menebang pohon, bertani,
menghidupkan api (memasak). Dalam melestarikan ekosistem umat Buddha diharapkan
mampu mengaplikasikan etika Buddhis, sehingga mampu menciptakan estetika dalam
kehidupan nyata. Etika menjadi tolak ukur yang sangat mendasar untuk
terciptanya korelasi antara ekosistem dan estetika. Selain itu Buddha telah
menerapkan ekologi sebagai bagian pengetahuan Dhamma kepada siswanya.
Berkenaan
dengan pelestarian lingkungan dan alam, dijelaskan dalam Sekhiyavattha, butir 74, 75-Vinaya Pitaka, yaitu “Seorang Samana (pertapa) tidak
diperkenankan untuk buang air besar, air kecil, air ludah ditetumbuhan dan
air.” Hal ini sangat jelas Buddha menetapkan etika sebagai dasar untuk
terciptanya ekosistem yang berestetika dalam kehidupan seseorang dan berguna
bagi lingkungan hidup bermasyarakat.
Berkenaan
dengan pengelolaan ekosistem tanpa etika, maka estetika tidak akan terwujud,
sebagai efek saat ini semua lapisan masyarakat merasakan dampak dari bencana
yang terjadi di Indonesia khususnya. Hal ini terjadi dikarenakan ambisi manusia
yang tidak pernah terpuaskan oleh nafsu keinginan (Tanha) dalam mengeksploitasi sumber daya alam secara arogan.
Seperti contoh sumber daya laut yang dieksploitasi dengan menggunakan bom
rakitan atau racun yang merusak ekosistem, sekaligus estetika kelautan. Hal ini
dilakukan tanpa didasari oleh etika manusia. Kasus kedua merupakan penembangan
pohon secara liar, tanpa melakukan reboisasi dan menyebabkan erosi dan longsor.
Bencana
yang terjadi selain disebabkan oleh sifat arogan dan ambisius manusia. Bencana
juga terjadi oleh alam, seperti gempa, gunung meletus, dan tsunami. Dalam Aṅguttara Nikāya Aṭṭhakathā II; 432-Sutta
Pitaka, Buddha menjelaskan bahwa terdapat lima hukum (Pañcaniyāma) yang bekerja di alam semesta ini, yaitu utu-niyāma, bῑja-niyāma, kamma-niyāma,
citta-niyāma, dan dhamma-niyāma.
a.
Utu-niyāma
Merupakan
hukum energi berkenaan dengan sesuatu yang tidak hidup (anorganik). Utu-niyāma bekerja dalam fungsinya di
dalam pergantian musim, cuaca, pelapukan benda, proses penguapan, turunnya
hujan, proses terbentuknya dan hancurnya planet, dan segala sesuatu yang
berkenaan dengan kimia dan fisika.
b.
Bῑja-niyāma
Hukum yang
berkenaan dengan hereditas yang bersifat organik. Kerja hukum ini berkenaan
dengan proses pertumbuhan pada pohon, mulai dari biji sampai menjadi pohon.
Hukum ini juga bekerja dalam proses pembelahan sel pada tubuh makhluk hidup,
pembentikan janin, dan menurunnya sifat genetik.
c.
Kamma-niyāma
Hukum
perbuatan dan hasil yang bekerja berkenaan dengan sebab-akibat. perbuatan buruk
menghasilkan buruk, dan sebaliknya. Hasil dari perbuatan bukan merupakan hadiah
atau hukuman, melainkan aksi konsekuensi dari hukum alam yang sewajarnya.
d.
Citta-niyāma
Hukum yang
berkenaan dengan kerja batin. Bekerja dengan proses pikiran dan kesadaran
makhluk. Kemampuan konsentrasi, kesaktian batin, kemampuan mengingat, bekerja
atas hukum ini.
e.
Dhamma-niyāma
Hukum yang
berkenaan dengan sifat dasar suatu fenomena yang alami, seperti kodrat,
gravitasi, kejadian alam yang khusus dengan menandakan peristiwa besar di alam
semesta. Peristiwa itu menyangkut kehidupan Buddha, seperti Kelahiran,
Pencapaian Kesempurnaan, dan Mahaparinibbāna. Hukum ini juga bekerja untuk
makhluk yang masih mengalami kelahiran dan belum menembus Nibbāna.
Meskipun
kelima hukum ini terlihat terpisah, akan tetapi merupakan satu kesatuan
kausalitas. Kausalitas tidak memisahkan sebab dan akibat sebagai dua peristiwa
yang berbeda, tetapi dipandang sebagai mata rantai yang saling berurutan dan
saling bergantung dalam suatu rangkaian proses. Berkenaan dengan hukum (niyāma) yang saling berkaitan, peran etika
sangat penting, karena dapat mempengaruhi iklim dunia. Misalnya kamma buruk
yang dihasilkan (vipāka akusalakamma)
sebagai akumulasi ketamakan, kebencian, pelanggaran sῑla sampai pada titik tertentu, maka akan terjadi gangguan pada
alam atau ekosistem yang dapat berupa: musim hujan yang tidak tepat pada
musimnya, cuaca esktrem.
Etika
merupakan sesuatu hal yang vital, karena etika yang buruk akan berdampak fatal
pada alam semesta, kaitanya dalam ekologi. Hal ini juga dijelaskan dalam Aṅguttara Nikāya II, 69, Bilamana para
raja, para menteri berlaku tidak benar, demikian juga para brahmana, rakyat,
penduduk kota dan desa menjadi tidak benar, maka matahari, bulan, bintang, dan
konstelasi-konstelasi berubah garis orbitnya. Siang, malam, bulan, musim, dan
tahun juga berubah. Angin bertiup pada waktu yang tidak tetap, curah hujan yang
berkurang sehingga panen datang pada musim yang salah, maka sebagai
konsekuensinya manusia berusia pendek, memiliki rupa yang buruk, lemah, dan
banyak penyakit, dan sebaliknya.
Sebagai
kesimpulan diharapkan umat Buddha selayaknya memberikan kontribusi pada
lingkungan dengan merealisasi penerapan etika, misalnya menjalankan Pañcasῑla
Buddhis, mengembangkan batin melalui meditasi, serta melakukan aksi penghijauan
lingkungan, gerakan cinta alam, mengelolah sampah (simbiomasi = Sistem Biopori
dan Manajemen Sebab Terintegrasi. *Telah diterapkan di Padepokan Dhammadipa
Arama-Batu). Apabila hal ini di praktikkan dengan kesungguhan hati, maka kita
telah melakukan upaya melestarikan ekosistem melalui etika dan menghasilkan
estetika bagi alam semesta.
Daftar Pustaka:
Bodhi dan Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya. Klaten: Vihāra
Bodhivaṁsa Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi. 2010. Tipiṭaka Tematika. Tanpa kota:
Ehipassiko Foundation.
Dhammadhῑro. Tanpa tahun. Pustaka Panduan Sāmaṇera. Tanpa kota: Saṅgha
Theravāda Indonesia
Rashid, Teja.
2009. Sῑla dan Vinaya. Jakarta:
Bodhi.
Subalaratano dan
Widya (Ed.). 2002. Pengantar Vinaya.
Tanpa kota: Graha Metta Sejahtera.
Vijāno, Win.
2013. Dhammapada. Tanpa kota:
Bahussuta Society.
Vijjānanda,
Handaka. 2010. Ehipassiko SMA 1. Tanpa kota: Ehipassiko Foundation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar