Oleh:
Sāmaṇera Vimalaseno
Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammāsambuddhassa
Issā-macchera-kukkucca-virati-karuṇādayo
Nānā kadāci Māno ca thῑna-middhaṁ
tathā saha.
Yathāvuttānusārena sesā
niyatayogino
Saṭgahaṭ ca pavakkhāmi-tesaṁ dāni
yathārahaṁ
(Abhidhammatthasaṅgaha).
artinya:
Keiri-hatian, kekikiran,
penyesalan, berpantang, welas asih, dan sebagainya (yaitu turut bersuka cita),
dan kecongkakan muncul secara terpisah dan partikular. Begitu Pula dengan kemalasan
dan kelambanan namun dalam kombinasi.
Manusia yang tidak pernah puas
dengan apa yang dimiliki, serta tidak bahagia dengan kebahagiaan orang lain
merupakan sifat iri hati (issa).
Sifat iri hati dengan merasa tidak suka atas kebahagiaan orang lain, serta
secara tidak langsung orang tersebut telah menanamkan sifat kebencian (dosa) dalam dirinya sendiri. Terkait
dengan sifat keiri-hatian terdapat dalam Akusala-cetasika,
sifat iri hati ada dalam dosa-cattuka-4
(dosa adalah kebencian, issa adalah keirihatian, macchariya adalah egois, dan kukkuccā adalah kekhawatiran. Apabila
dilihat dari kejadian di masyarakat sifat iri hati merupakan suatu tindakan
yang hampir menjadi kebiasaan terjadi. Terbukti dengan rasa iri hati ditempat
kerja, tidak suka melihat keberhasilan orang lain, sehingga dengan seribu cara
orang yang berhasil ditempat kerjanya harus disingkirkan, bahkan dibunuh karena
rasa tidak suka atau dendam.
Sifat
semacam itu jelas mengandung unsur kebencian (dosa). Terkait dengan sifat benci juga bagian dari akusala-cetasika, yaitu dosa-cattuka. Kebencian yang muncul
berkaitan dengan perasaan tidak suka, baik dari diri sendiri, maupun dengan
ajakan orang lain. Hal ini dijelaskan dalam akusala-citta,
yang terdapat dalam dosamula-citta 2,
adalah sebagai berikut Domanassa-sahagataṁ
patighasampayuttaṁ asankhārikaṁ, yaitu kesadaran atau pikiran yang timbul
tanpa ajakan, disertai ketidak-senangan, bersukutu dengan dendam, dan Domanassa-sahagataṁ patighasampayuttaṁ
sasankhārikaṁ, yaitu kesadaran atau pikiran yang timbul dengan ajakan
disertai ketidak-senangan, bersukutu dengan dendam. Sifat iri hati tidak
terlepas dari sifat dendam yang terjadi dalam diri seseorang. Sifat dendam akan
muncul dimana seseorang tidak berhasil mengikuti rasa iri-hatinya terhadap
kebahagiaan orang lain.
Rasa
iri hati dalam diri seseorang yang terus berkecamuk, merupakan sifat kebencian
dengan dikuti perasaan dendam. Domanassa
ini adalah vedanā (perasaan), yang
disebut Domanassa-vedanā. Domanassa vedana merupakan vedanā cetasika yang mencerap objek
tidak baik. Apabila dihubungkan dengan pancakkhandha
adalah vedanā-khandha. Seseorang yang
memiliki sifat iri hati dengan kebahagiaan orang lain akan berdampak sikap
kebencian yang kuat terus terjadi dalam pikiran dan tindakannya. Sikap iri hati
merupakan bagian dari perbuatan tidak baik.
Ketidakpuasan
terhadap yang diinginkan, seperti selalu ingin menyaingi orang lain dengan cara
yang tidak baik. Rasa yang selalu mengejar sikap rasa iri hati juga bertautan
dengan sikap tamak atau serakah yang adalah bagian akusala citta, yaitu lobhamula
citta. Iri hati sebagai faktor akibat dari adanya sebab sebelumnya, yaitu
dengan adanya sebab kontak (phassa)
terhadap kebahagiaan, kesuksesan orang lain, setelah adanya kontak yang melihat
objek maka perasaan (vedanā) muncul.
Kontak merupakan sebab dan disebut sebagai phassa-cetasika,
bertautan dengan 32 lokiya-vipāka citta.
Setelah seseorang memiliki kontak dengan objek indera dengan keberhasilan orang
lain dan diikuti sebab-sebab yang lain dengan ada perbuatan yang tidak baik (akusala) maka vipāka lainnya adalah akusala.
Kontak
indera dengan objek, salah satunya adalah mata, dengan adanya rasa tidak suka
atau iri hati, maka banyak tindakan yang dapat dirasakan dalam perbuatannya. Kontak
juga merupakan kondisi untuk munculnya perasaan. Perasaan (vedanā) merupakan vedana-cetasika
dan bertautan dengan 32 lokiya-vipāka
citta. Antara phassa dan vedanā muncul secara bersamaan dan
terutama phassa menjadi sebab
terdahulu, maka rasa iri hati (issa) dapat
terjadi karena adanya kontak terhadap sesuatu yang tidak disukai serta
munculnya sebagai akibat adalah domanassa-vedanā.
Fakta
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, penulis memiliki suatu pengalaman
dalam dunia kerja, sewaktu semasa menjadi umat awam. Saya bekerja pada suatu
perusahaan dan memiliki banyak karyawan, saya salah satu karyawan baru pada
perusahaan tersebut. Selain bekerja dengan aturan yang berlaku, memiliki
tingkah laku yang membuat pimpinan menjadi nyaman, serta pekerjaan yang dikerjakan
selesai tepat pada waktunya membuat resah karyawan yang memiliki rasa iri hati
pada saya. Merupakan halangan terbesar bagi beberapa sahabat saya yang tidak
suka dengan sikap dan cara kerja yang saya lakukan. Wajar saja apabila saya
memiliki posisi atau hubungan yang baik dengan pimpinan. Pada suatu saat
dimoment yang tepat dengan rasa tidak suka dan sikap iri hati, beberapa
karyawan bekerjasama untuk menghambat pekerjaan, sehingga terkesan saya lamban
dalam bekerja, mereka menghasut pimpinan dengan menjatuhkan, sehingga rasa tidak
suka juga muncul dari pimpinan. Saya merasa tidak nyaman dalam pekerjaan, serta
saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu.
Kasus
yang terjadi diatas merupakan bagian terkecil dari kasus-kasus besar lainnya
dalam masyarakat. Perasaan tidak suka (domanassa-vedanā)
kerap terjadi, baik dimanapun, kapanpun, dan siapapun. Tidak menutup
kemungkinan bagi kita sebagai puthujana
(manusia biasa) memiliki sikap iri hati atas keberhasilan orang lain. Orang
yang iri hati biasanya juga memiliki nafsu keinginan untuk gila dipuji,
dihormati, padahal itu semua tidak pantas untuk dirinya. Orang yang bekerja
dengan ketulusan, kebaikan akan menjadi sasaran orang-orang yang disebut
komplotan atau individu yang iri hati. Iri hati tidak terlepas dari adanya 6
nafsu keinginan (taṅhā), salah
satunya adanya dhamma-taṅhā (nafsu
keinginan terhadap objek pikiran). Pikiran yang tidak baik (akusala mano-kamma) merupakan bagian
dari pikiran orang yang memiliki sikap iri hati. Sikap mempertahankan nafsu
keinginan berkaitan dengan keiri-hatian akan berdampak pada upādānā (kemelekatan) yang akan
memunculkan diṭṭupādānā (kemelekatan
pada pandangan salah).
Sikap
iri hati harus dapat diatasi dengan cara yang baik. Sehingga dengan adanya
tindakan yang baik, sikap iri hati dapat dipangkas secara tuntas. Dalam hidup
ini seseorang harus memiliki pengetahuan sehingga pengetahuan akan mendorong
seseorang memiliki pikiran yang baik (kusala-citta).
Dalam Kāmāvacarasobhana-citta dijelaskan
ada mahākusala-citta, yaitu kesadaran
atau pikiran yang maha baik, pikiran baik dapat timbul dalam 31 alam kehidupan.
Kesadaran atau pikiran ini dapat menimbulkan kefaedahan dalam mempraktikkan dāna, sῑla serta giat dalam melatih
konsentrasi (samādhi). Seseorang yang
melatih konsentrasi dalam dirinya maka akan mendapatkan ñaṇa (pengetahuan), yang akan mengahantarkan seseorang mencapai
pembebasan atau kebahagiaan tertinggi (Nibbāna).
Sikap
iri hati apabila disikapi dengan faktor mental yang baik, maka sifat, pandangan
keliru mengenai kepuasan diri akan disikapi dengan bijaksana. Dalam sobhana-cetasika, seseorang harus
memiliki sikap saddhā (keyakinan)
dari sesuatu yang dikerjakan. Orang lain sukses, bahagia, karena tidak terlepas
dari usaha, tekad, dan semangat, selain itu dalam meraih kesuksesan dibutuhkan
perhatian murni (sati) dalam
mengerjakan sesuatu. Terkadang seseorang mengerjakan sesuatu hanya dengan menggunakan
emosional, tanpa menggunakan moral dan intelektual. Ketenangan pikiran (cittapassadhi) sangat dibutuhkan dalam
mengikis rasa iri hati atas kebahagiaan orang lain. Selain itu yang terpenting
adalah seseorang harus memiliki sikap hiri
(malu untuk berbuat jahat), dan ottapa
(takut akan akibatnya).
Kesuksesan
seseorang tidak diukur dari seberapa besar kita mampu mengalahkan orang lain
dengan sikap iri hati, benci, dan dendam. Akan tetapi dengan Tatramajjhattata (kesimbangan batin), kāyapassadhi (ketenangan dari
bentuk-bentuk batin atau cetasika khanda), cittapassadhi (ketenangan pikiran), kāya-lahutā (kegembiraan pikiran), citta-mudutā sifat menurut pikiran, kāya-kammaññatā (sifat menyesuaikan diri-dari bentuk-bentuk batin)
atau cetasika-khandha (adaptasi dari
bentuk mental), citta-kammaññatā
(sifat menyesuaikan diri dari pikiran), kāya-pāguññatā
(kemampuan dari bentuk-bentuk mental), citta-pāguññatā
(kemampuan dari kesadaran), kāyujukatā
(ketulusan/ kejujuran dari bentuk-bentuk mental), dan cittujukatā (ketulusan/kejujuran dari kesadaran) akan membawakan
sebuah kebahagiaan dan kesuksesan bagi diri seseorang. Bukan dengan rasa benci,
iri hati, dendam, dan perasaan yang tidak menyenangkan untuk meraih sebuah
kesuksesan dalam hidup.
Selain
itu rasa iri hati teerkadang mengeluarkan kata-kata yang menjurus pada ucapan
tidak benar, memfitnah, gosip, bahkan kasar. Hal ini dalam virati-cetasika sangat
dibutuhkan dalam menangkal sikap iri hati yang berdampak pada perbuatan yang
tidak baik, maka seseorang selayaknya harus mampu berbicara benar (sammā-vācā), sehingga mengkondisikan
untuk memiliki perbuatan benar (sammā-kammanta),
biasanya orang yang iri hati lebih cenderung untuk melakukan perbuatan yang
tidak baik (akusala-kaya kamma).
Selain itu keberhasilan dan kesuksesan seseorang dalam berkarir adalah memiliki
sammā-ājiva (mata penchariaan benar),
selain itu mata pencaharian benar dapat terbebas dari pelanggaran sῑla dan Dhamma. Sikap karunā dan mudita harus dimiliki seseorang dalam
hidup bermasayarakat, sikap ini snagat mendukung keharmonisan dan menjauhkan
diri dari sikap iri hati (issa).
Terpenting dalam hidup ini seseorang harus memiliki kebijaksanaan (Pañña) guna menangkal munculnya
pandangan, pikiran yang tidak baik terkait dengan akusala-kamma.
Ref:
Anuruddha.
2011. Panduan Komperhensif Tentang
Abhidhamma.
Karaniya.
Karaniya.
Kaharuddin.
2005. Abhidhammatthasaṅgaha.
Vihara Padumuttara: Tangerang.
Vihara Padumuttara: Tangerang.
Mon, Mehm Tin. 2012. The essence of
Buddha Abhidhamma.
Yayasan Hadaya Vatthu: Jakarta.
Yayasan Hadaya Vatthu: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar