Oleh:
Sāmaṇera Vimalaseno
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa 3x
Tumhehi kiccaṁ ātappaṁ, Akkhātāro Tathāgatā
Paṭipannā pamokkhanti, Jhāyino Mārabandhanā.
“Para Buddha hanya mengajarkan Sang Jalan, namun
engkau sendirilah yang harus berusaha.
Seseorang yang melangkah di atas Jalan Kebebasan
akan terbebas dari belenggu Mara.”
(Dhammapada; Magga Vagga;20:4).
Pada
dasarnya manusia hidup hanya melewati masa-masa pertumbuhan baik dari lahir,
meranjak usia anak-anak, remaja, dewasa, dan memasuki usia tua. Perubahan masa,
membuat manusia melewati semua aktifitasnya dengan pelbagai problematika.
Problematika yang terjadi di diri setiap individu merupakan sebagai akibat dari
sebab yang dikondisikan sebelumnya. Kondisi sebab yang dibuat adalah berupa bentuk
kesenangan – kesenangan inderawi, seperti bermain judi sebagai sebab dan
sebagai akibat adalah menang, kalah, atau berurusan dengan pihak berwajib. Terkait
permasalahan itu tidak sedikit seseorang yang menggantungkan kehidupannya
dengan sejuta masalah, manusia terus mencari di mana kebahagiaan, akan tetapi
kebahagiaan tidak akan pernah ditemui diluar sana, kecuali di dalam dirinya
sendiri.
Kebanyakan manusia salah mengartikan
kebahagiaan yang di dapat dalam kehidupan duniawi adalah kebahagiaan yang
hakiki. Terkadang kita pernah mendengar istilah “mumpung masih hidup puas-puasin aja, karena besok belum tentu bisa
seperti ini!” Konsep semacam ini justru membuat seseorang menghumbarkan
nafsu keinginannya atau kecenderungannya ke arah yang negatif. Kecenderungan
negatif yang dapat dilihat seseorang yang kaya raya dengan memiliki harta
justru menyimpan hartanya (kikir) dan sangat melekat dengan yang di dapat. Selain
itu anggapan dimasyarakat kelahiran sebagai berkah, dan kematian sebagai hal
yang ditakutkan. Usia tua juga menjadi problem dalam kehidupan manusia, mereka
tidak terima apabila rambutnya memutih, giginya ompong, kulitnya keriput. Bila
perlu orang tersebut setiap saat untuk melakukan perawatan kulit yang
berlebihan dan operasi kecantikan. Contoh lainnya lagi adalah seseorang yang
biasanya hidup dari judi, mencopet, merampok, atau dari kehidupan portitusi,
apabila usaha yang dilakukan telah membawa kebahagiaan, kepuasan, maka dikatakan
itu sebagai kebahagiaan bagi pandangan umum.
Kehidupan ini jika dilihat sama
halnya seperti seseorang meletakkan satu balok es yang besar di tempat terbuka
di bawah teriknya matahari, akan terlihat es tersebut musnah. Sama halnya
dengan umur manusia sedikit demi sedikit berkurang. Begitupula dengan es itu
sedikit demi sedikit, setelah beberapa menit, jam, es tersebut akan mencair
semuanya menjadi air. Inilah yang disebut kematian dan kemorosatan. Terkait
dengan masalah perubahan dalam hidup Buddha menjelaskan dalam AN. III, 35 bahwa
adanya tiga utusan agung, yaitu adanya usia tua, sakit, mati, setiap manusia
yang lalai tidak mengendalikan pikiran, ucapan, dan tindakan dengan baik, maka
ia akan jatuh atau merosot dalam alam yang tidak bahagia.
Kebahagiaan seseorang tidak
ditentukan dari kedudukan, dan harta, melainkan dari moralitas yang dilatih
dengan keras diperjuangkan, selain itu Samadhi yang telah dilatih sepanjang
hari juga menjadi pendukung kemajuan batin. Buddha menjelaskan dalam AN. I: 19,
bahwa setelah manusia meninggal dunia akan banyak terlahir di alam menderita,
dan sedikit kembali ke alam manusia. Hal yang menyebabkan mereka terlahir di
alam menderita adalah karena ketidaktahuan (avijja).
Faktor seseorang dapat terlahir di alam tidak bahagia selain dari faktor
ketidaktahuan, faktor lain adalah mereka tidak disiplin dalam melatih diri,
banyak melakukan pemuasan nafsu kecenderungan ke hal yang tidak baik (tanha), tidak berusaha dengan benar,
tidak melatih Samadhi, serakah, menyia-nyiakan makanan. Apabila manusia
mengetahui dan memperoleh Dhamma, maka mereka juga akan memperoleh citarasa
tujuan, citarasa Dhamma, citarasa pembebasan. Demikian harus dilatih.
Ketidaktahuan dan tidak melatih
hidup dalam Dhamma akan membawa seseorang pada kemerosotan untuk selalu
berputar dalam samsara kehidupan hingga cengkraman tiga utusan agung yang
Buddha jelaskan dalam Sutta Pāli selalu mengikuti, dan hal itu sudah ada sejak
dulu dunia terbentuk, kita dilahirkan, kemerosotan ini tidak dibuang kemanapun
juga. Pada saat seseorang dilahirkan ia telah membawa penyakit, usia tua, dan
kematian. Tubuh yang kita miliki akan mengalami kemerosotan pada masanya,
rambut dikepala akan merosot disetiap bagiannya. Selain itu rambut di tubuh
akan merosot, kuku tangan, kaki, dan semua yang ada ditubuh akan mengalami
kemerosotan. Kemerosotan akan menghantam jasmani ini dan inilah sifat alaminya.
Terkait masalah tersebut Buddha menjelaskan bahwasanya manusia selayaknya
selalu menempatkan kewaspadaan yang ditujukan pada tubuh, seperti dijelaskan
pada AN, I, 21, yaitu jika seseorang melatih dan mengembangkan kewaspadaan maka
ada samvega (kemendesakan) yang kuat untuk menuju pada keselamatan, bebas dari
keterikatan, menuju pada kewaspadaan dan pemahaman yang jernih, pada pencapaian
visi dan pengetahuan, pada kediaman yang menyenangkan langsung di dalam
kehidupan ini juga dan merealisasi buah pengetahuan dan pembebasan. Selain itu,
tubuh akan menjadi tenang, pikiran akan menjadi tenang, kebodohan batin dapat
dilenyapkan, seseorang yang tidak mengalami kematian, mereka telah mengambil
bagian dalam kewaspadaan, dan sebaliknya mereka yang tidak mengambil bagian
dalam kewaspadaan, maka mereka akan mengalami kematian.
Seseorang yang melekat pada jasmani akan merasakan
kepedihan yang mendalam, pada saat tubuh ini rapuh dan hancur. Terkait hal ini
Buddha menjelaskan pada Piyajatikasutta-MN,
bahwa pada sewaktu dahulu ada seorang ayah yang meratap kematian putranya dan
selalu menagis di kuburan anak tunggalnya, ayah itu seperti orang yang tidak
memiliki semangat hidup. Pada sewaktu ketika bertemu Buddha dan menanyakan hal
mengenai kepedihan hatinya melihat putra tunggalnya dan yang disayangi
meninggal, apakah sebab kepedihan itu? Buddha menjelaskan Orang-orang yang kita cintai, mereka yang terkasih
(membawa) kesedihan dan ratapan, sakit, duka cita dan kekecewaan.
Kehidupan bahagia akan dapat diperoleh bagi siapa
saja, asalkan kewaspadaan dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Ketidaktahuan
dan kemelekatan terhadap jasmani akan membawa seseorang berputar dalam samsara
kehidupan dalam jangka waktu yang panjang. Selayaknya umat Buddha setelah
mengetahui isi dari Dhammacakkapavatthana
Sutta, seperti yang Buddha jelaskan, bahwa dua jalan ekstrim seperti hidup
berfoya-foya dan menyiksa diri harus dihindari. Selain itu Buddha juga
menjelaskan bahwa empat kesunyataan mulia perlu dipahami dengan baik. Terkait
isi empat kesunyataan mulia itu yaitu adanya dukkha (ketidakpuasan, ratap
tangis, putus asa), hal ini disebabkan adanya tanha (kecenderungan hal-hal
buruk). Terhentinya dukkha apabila tanha dapat dimusnahkan dengan jalan mulia
berfaktor delapan yang dirangkum menjadi sῑla, Samadhi, dan pañña.
Kebahagiaan dapat diraih oleh umat Buddha apabila
mereka yang selalu memiliki kemauan untuk belajar, dan mempratikkan Dhamma
dengan kesungguhan hati. Kesungguhan hati dalam berlatih, maka penembusan Dhamma
dapat diraih berupa pengetahuan, pengalaman diri, dan kebahagiaan sejati.
Terkait permasalahan hidup Buddha menjelaskan dalam Mahaparinibbāna Sutta-DN, bahwa : “Vayo dhamma saṅkhārā apamadena sampadetha”. Segala
sesuatu yang terjadi dari paduan unsur ada umurnya, karena itu sungguh-sungguhlah
berjuang dengan sadar . Perjuangan akan
menghasilkan nibbāna.
Refrensi:
Bodhi, Nyanaponika.
2003. Petikan Aṅguttara Nikāya.
Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi, Nyanaponika.
2003. Majjhima Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi,
Nyanaponika. 2010. Tipiṭaka Tematika.
Tanpa kota: Ehipassiko Foundation.
Kaharuddin.
2005. Abhidhammatthasaṅgaha. Vihara Padumuttara: Tangerang
Tim Giri Mangala
Publication 2009. Kotbah-kotbah Panjang
Sang Buddha Dῑgha
Nikāya.
Tanpa kota: Dhammacitta Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar