Oleh:
Sāmaṇera Vimalaseno
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Anavaṭṭhitacittassa
saddhammaṁ avijānato
pariplavapasādassa
paññā na paripūrati.
Wisdom never becomes perfect,
in one whose
mind is not steadfast,
who
knows not the Good Teaching
and whose faith wavers.
Orang yang pikirannya
tidak teguh,
yang tidak mengenal ajaran yang benar,
yang keyakinannya selalu goyah,
orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.
yang tidak mengenal ajaran yang benar,
yang keyakinannya selalu goyah,
orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.
(Dhammapada;
Citta-vagga: 38)
Pada dasarnya
pengetahuan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan seseorang. Banyak
orang yang putus sekolah atau bahkan tidak dapat mengenyam pendidikan salah
satu faktornya adalah ekonomi. Kemiskinan dapat membuat seseorang menjadi
miskin dalam pengetahuan. Tidak sedikit mereka yang hidup dalam garis
kemiskinan materi dan kemiskinan intelektual juga berdampak pada kemiskinan
akhlak (moral). Terkait dengan pendidikan dijelaskan oleh Ihsan (2005: 2) bahwa
pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus
dipenuhi sepanjang hayat. Seseorang tanpa pendidikan maka mustahil suatu
kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita)
untuk maju sukses, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
Memajukan
kehidupan, seseorang dituntut harus menempuh pendidikan menjadi sarana utama
yang perlu diperhatikan dalam hidupnya. Semakin tinggi cita-cita manusia
semakin menuntut kepada peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana mencapai cita-cita tersebut.
Pendidikan bagi bangsa yang sedang membangun seperti bangsa Indonesia saat ini
merupakan kebutuhan mutlak yang harus dikembang sejalan dengan tuntutan
pembangun setahap demi setahap. Terkait masalah pendidikan juga dijelaskan
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab
I berkenaan dengan Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1 yang menerangkan bahwa
Pendidikan adalah usaha yang sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan
yang ditempuh tidak terlepas dari tenaga pendidik (guru), apabila guru yang
profesional dan mengikuti kodetik keguruan, maka guru memiliki kewajiban dan
tanggung jawab dalam mendidik, mengajar siswa. Hal ini dijelaskan dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 Tentang Guru, Bab 1
Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam fakta yang terjadi
saat ini ada guru yang hanya menjalankan tugasnya sebagai rutinitas profesinya
saja. Terjadinya penurunan akhlak bangsa
Indonesia saat ini terkait pendidikan terbukti dari beberapa kasus, seperti
contoh kasus guru melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap siswanya,
terjadi tawuran antar pelajar, guru, bahkan kepala sekolah memukul siswa dengan
alasan memberi pelajaran pada siswa atas kenakalannya di sekolah. Tindakan
kriminalitas yang terjadi dengan pelaku seorang pendidik merupakan tindakan
yang telah melanggar kodetik keguruan. Seorang guru merupakan panutan bagi
banyak orang. Dalam filosofi Jawa, guru adalah gu= diguguh (dipegang)
ucapannya, dan ru adalah ditiru prilakunya. Guru yang baik adalah mengarahkan,
mendidik siswanya dengan ketulusan yang berjiwa cinta kasih.
Guru
merupakan orang yang terpelajar dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya. Dalam
Buddhisme guru merupakan orang yang berpegang teguh dalam Dhamma, guru secara akademisi, maupun guru dalam spritualitas, seperti
yang Buddha jelaskan dalam Nāvā Sutta-Sn bahwa
guru yang patut dihormat adalah mereka yang mempraktikkan Dhamma dalam hidupnya, bagaikan para dewa menghormat kepada Indra.
Guru yang dihormati itu, karena senang pada muridnya, akan membuat Dhamma menjadi jelas. Guru yang baik
sebaiknya harus menjadi guru yang sudah benar-benar teruji dalam Dhamma, minimal sudah mempelajari Dhamma, pernah mengikuti latihan
pembinaan diri (Pabbajja), sering
melatih diri dalam meditasi, bukan guru yang sekedar tahu isi buku agama Buddha
saja. Untuk dapat disenangi oleh muridnya tentu guru harus memiliki prilaku
yang baik, terkait sikap yang baik Buddha menjelaskan dalam Kiṁsῑla Sutta-Sn bahwa orang (guru)
dengan watak, prilaku, tindakan seperti apa, yang akan menjadi mantap sehingga
mencapai kesejahteraan tertinggi, adalah melatih diri dalam berprilaku benar.
Terkadang
seseorang menjumpai guru yang tidak memiliki pengetahuan akan tetapi berlagak
seperti memiliki pengetahuan yang sempurna, maka hal demikian tidak dipuji oleh
Buddha. Hal tersebut Buddha jelaskan dalam Nāvā
Sutta-Sn; 3 bahwa orang yang mengikuti guru yang tolol dan rendah, yang
belum menyadari makna Dhamma, dan yang
iri hati, akan mendekati kematian tanpa memahami Dhamma dan tidak terbebas dari keraguan. Buddha juga mengritik
kepada guru spritual yang patut dicela yang dijelaskan dalam Lohicca Sutta-DN. bahwa ada tiga jenis
guru di dunia ini layak dicela, dan jika siapapun mencela guru-guru demikian,
celaannya adalah pantas, benar, sesuai dengan keyataannya dan tidak salah. Tiga
hal itu adalah seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian dan menjalankan
kehidupan tanpa rumah, tetapi sudah maupun belum mencapai buah pencerahan, dan
ajarannya dicela maupun dipuji, diperhatikan, didengar ataupun tidak oleh
siswanya, Buddha tetap mengatakan guru seperti ini patut dicela. Guru yang
dipuji dan patut dihormati tidak patut dicela adalah seorang Arahat, Buddha
yang telah mencapai penerangan sempurna, serta murid yang diajarkan juga
mencapai keluhuran, maka guru itu adalah yang di dunia ini tidak boleh dicela.
Pengetahuan
merupakan penuntun ke dalam kehidupan masing-masing. Pengetahuan merupakan
bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam pendidikan dan guru. Pada zaman ada
dan sebelum Buddha sudah banyak pengetahuan yang diajarkan oleh para guru-guru
di India. Hal ini terbukti dalam Brāhmajāla
Sutta-DN dinyatakan oleh Buddha ada 62 pandangan salah, sedangkan Buddha
mengajarkan Dhamma untuk menembus
pengetahuan tertingggi adalah Nibbāna.
Terkait adanya guru-guru besar yang ada di India pada zaman Buddha tertulis
pada Samaññaphala Sutta-DN bahwa Pakudha Kaccyāna, Sañjaya Belaṭṭhaputta, dll. Masing-masing guru agama ini memiliki
metode berbeda-beda untuk mendapatkan pengetahuan. Dari para guru tersebut
berselisih paham (konflik) akan pandangannya masing-masing, dan menganggap
pengetahuannya yang paling benar, dan pengetahuan lainnya salah.
Khotbah
Buddha dalam sutta yang sama dijelaskan bahwa terdapat dua kaum yang besar
dizaman Buddha adalah kaum tradisionalis dan kaum rasionalis, serta empiris.
Kaum tradisionalis adalah menyandarkan diri pada kitab suci, seperti Veda.
Sedangkan kaum Rasionalis bermain pada pemikiran rasionalis (takka), serta Buddha menolak dirinya
dianggap dalam kategori ketiga, yaitu kaum empiris (pengalaman sebagai
pengetahuan). Terkait mengenai pengetahuan Buddha juga pernah menyampaikan
sebuah Sutta kepada kaum Kālāma, disebut Kesamutti Sutta atau dikenal Sutta
populer adalah Kālāma Sutta; An:
III; 65. Dalam Sutta tersebut
dijelaskan ada sepuluh sumber pengetahuan yang tidak dipercayai begitu saja
tanpa adanya pengalaman diri. Setelah seseorang menyelidiki, mengalami sendiri
dan pengetahuan itu membawa manfaat, kesejahteraan bagi diri sendiri dan
makhluk lain, maka dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan, apabila tidak
sebaliknya harus ditinggalkan.
Buddha
mengkritik sumber-sumber pengetahuan yang muncul karena tradisi (anussava) dan pada sumber pengetahuan
lainnya. Hal ini dijelaskan dalam Caṅki
Sutta-MN yaitu ada lima hal yang memiliki dua akibat dalam kehidupan ini,
yaitu pengetahuan yang berbasis pada keyakinan (saddha), kesukaan (ruci),
tradisi (anusava), sesuatu yang telah
direnungkan (ākāraparivitakka), dan
pemikiran teori yang sudah disetujui (diṭṭhinijjhānakkhantiya).
Buddha menyatakan meskipun Beliau telah telah mendengar secara mendalam terkait
tradisi, hal itu bisa saja kosong, hampa, dan tidak benar. Sebaliknya Buddha
menyatakan apa yang Beliau dengar bukan tradisi yang dalam, dapat juga
sesungguhnya sesuai dengan fakta, benar dan tidak menyimpang pada umumnya.
Sehingga pada dasarnya sebagai manusia yang bijaksana, tidak selayaknya
menyimpulkan apa yang diketahui itu sebagai pengetahuan pribadi yang paling
benar, dan pengetahuan milik orang lain adalah salah. Orang bijak akan
mengatakan bahwa pengetahuan yang ia miliki adalah sebatas yang ia ketahui,
cukup itu saja, tanpa harus membuat kesimpulan bahwa yang ini benar, sedangkan
yang itu salah. Sehingga diharapkan pengetahuan yang bijaksana akan menjadikan
pengalaman hidup yang berarti dalam masyarakat.
Buddha menyatakan bahwa pengetahuan yang Beliau ajarkan sangat jauh berbeda dengan pengetahuan yang diajarkan oleh kaum-kaum lainnya. Pada Zaman di India banyak pertapa yang melakukan praktiknya masing-masing dan mendapatkan pengetahuan (abhiñña), akan tetapi karena latar belakang pengetahuan dan tujuan yang berbeda, maka mereka menggunakan kemampuannya untuk kepentingan pribadi dan tidak menghantar pada kesucian. Berbeda dengan Buddha, dijelaskan dalam Ariyapariyesana Sutta-MN bahwa saat Beliau masih seorang pertapa, Beliau mencari pengetahuan untuk membebaskan dirinya, dan makhluk lain dari kelahiran, usia tua, sakit, dan mati. Beliau bertemu kedua gurunya, dan belajar serta tidak membawa pengetahuan yang diinginkan. Setelah dengan kebijaksanaan Beliau berlatih sendiri dan mencapai kesempurnaan menjadi Buddha dengan usahannya sendiri.
Buddha
adalah seorang pendidik Dhamma yang
berbeda dengan pendidik yang ada dizaman itu, maupun dizaman sekarang. Buddha
dengan kesungguhan hatinya mengajarkan Dhamma
sehingga siswanya mampu menembus Dhamma
mencapai Nibbāna. Terkait akan hal
itu dijelaskan dalam Sabbāsava Sutta,
Buddha menekankan bahwa pencapaian pengetahuan tertinggi (Nibbāna) dengan melenyapkan kekotoran batin adalah dengan mereka
yang mengetahui, melihat, dan bukan pada seseorang yang tidak mengetahui, dan
tidak melihat. Orang saat ini hanya pintar dalam intelektual seperti berlogika,
pandai berdebat, seperti di faceebook, hal itu tidak membawa pada pencapaian Nibbāna, akan tetapi hanya mengukur
kemampuan kepintaran yang nantinya adalah memintarkan orang lain yang bertautan
dengan akusala citta, maupun akusala cetasika.
Pengetahuan
dalam agama Buddha memiliki berbagai macam tingkatan adalah sañña,viññaṇa, abhiñña, pariññā, dan pañña. Diantara kelima pengetahuan sañña,dan viññaṇa tidak mengarah pada pembebasan, akan tetapi harus disikapi
dengan bijaksana sehingga tidak menyebabkan muncul belenggu dan penderitaan.
Sedangkan abhiñña, pariññā, dan pañña mengarah pada pencapaian Nibbāna. Dalam Madhupiṇḍika Sutta terkait dengan enam landasan indera beserta
objek-objeknya. Apabila prosesnya tidak diantisipasi berkenaan dengan pikiran,
maka akan terjadi sumber konflik dan penderitaan. Terkait dengan bahayanya
persepsi dijelaskan juga dalam Suttanipata
syair 853 disebutkan bahwa mereka yang masih melekat pada persepsi dan
pandangan akan terus bertengkar di dunia ini. Dijelaskan pula dalam Aṅguttara Nikāya; II: iv bahwa sumber
pertentangan (konflik) terjadi antara para pertapa dengan para pertapa karena
persepsi, pandangan dengan menganggap pengetahuannya paling benar, dengan
mengatakan pengetahuan lainnya salah, sedangkan konflik dalam rumah tangga
adalah disebabkan oleh keinginan. Hanya Buddha sebagai guru yang bebas dari
keduanya.
Sebagai
umat Buddha yang telah mengenal Dhamma,
selayaknya sudah tiba saatnya untuk terus mempelajari Dhamma (pariyatti),
mempraktikkan Dhamma (patipatti), dan menembus Dhamma (pativedha) dengan pengalaman diri sebagai sumber pengetahuan yang
absah/ murni. Pengetahuan yang absah akan membawa pada sumber kehidupan yang
bermanfaat, menuntun seseorang menjadi bijaksana, terbebas dari kekotoran batin
(kilesa), serta dapat memperoleh
pengetahuan sejati yaitu Nibbāna.
Daftar Pustaka:
Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya.
Vihāra Bodhivaṁsa Klaten:
Wisma Dhammaguṇa.
Vihāra Bodhivaṁsa Klaten:
Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi. 2010. Tipiṭaka Tematika. Tanpa kota:
Ehipassiko Foundation.
Ehipassiko Foundation.
Ihsan, Fuad. 2005. Dasar-Dasar Kependidikan.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
-Kalupahana, J.
David. 1976. Filsafat Buddha (Sebuah
Analisis Historis).
Terjemahan oleh
Hudaya Kandahjaya.
1985. Jakarta: Elangga.
1985. Jakarta: Elangga.
-Mon,
Mehm Tin. 2012. The Essence of Buddha Abhidhamma.
Jakarta: Hadaya Vatthu.
Jakarta: Hadaya Vatthu.
-Rasidi. 2009.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Cv. Naga Jawa Berdikari
Jakarta: Cv. Naga Jawa Berdikari
-Saddatissa.
1999. Sutta Nipāta. Klaten: Vihāra
Bodhivaṁsa.
-Supandi,
J. Cunda. 2010. Tata Bahasa Pāli.
Tanpa kota: Vidyāvardhana Samūha.
Tanpa kota: Vidyāvardhana Samūha.
-Tim Giri Mangala
Publication 2009. Kotbah-kotbah Panjang
Sang Buddha -
Dῑgha Nikāya. Tanpa kota:
Dhammacitta Press.
Dῑgha Nikāya. Tanpa kota:
Dhammacitta Press.
-Vijāno. 2013. Dhammapada. Tanpa kota:
Bahussuta Society.
Bahussuta Society.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar