Oleh: Sāmaṇera
Vimalaseno
Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammāsambuddhassa.
Rûpaæ jîrati
maccânaæ Nâmagottaæ na jîrati.
(Tubuh
jasmaniah makhluk hidup berguguran, tetapi nama serta keturunannya tidak
musnah).
(Pepatah
Buddhis, 15/210)
Kehidupan
yang dilalui selalu menemui lika-liku yang terkadang membuat seseorang menjadi
jenuh, lamban, dan malas, bahkan sama sekali memilih tidak mau melalukan
apa-apa dalam hidupnya. Kehidupan ini seperti tanah, tanah akan menjadi tandus
dan subur tergantung dari kondisi sebab yang terjadi. Tanah di padang yang luas
dan tanah di dalam pot atau perkarangan rumah, kebun tertentu berbeda.
Perbedaan terletak dari kondisi sebab pelakunya. Tanah di padang yang luas
sebagai pengkondisi adalah alam, sedangkan dalam lingkup kecil atau terbatas
adalah manusia. Tidak menutup kemungkinan sebab-sebab yang lain. Tanah yang
subur di dalam perkarangan rumah, ladang, kebun yang menjadi perhatian serius
bagi pelakunya adalah tindakan yang bertanggung jawab, sehingga apa saja yang
tumbuh akan menjadi baik dan subur.
Manusia
yang hidup saat ini yang menempatkan dirinya sebagai tanah yang tandus adalah
sebab ia tidak memiliki pengetahuan, pengetahuan mengenai arti sebuah
kehidupan. sehingga apa yang tumbuh dalam dirinya hanyalah gulma (hama), hama
itu adalah kebodohan, ketidaktahuan, keserakahan, kemarahan (dukkha).
Sebaliknya mereka yang menjadi manusia yang seperti tanah yang subur karena
mereka terus menyiram dan memupuk dirinya dengan 3 kondisi dhamma (Pariyatti,
patipatti, dan pativedha Dhamma). Orang yang memiliki semangat dan tekad serta
usaha (UTS) maka ia akan menghargai hidup ini yang hanya 1 kali ia rasakan secara nyata. Selebihnya ia
akan lupa dengan kelahiran-kelahiran sebelumnya dan setelahnya. Maka ada
istilah saat ini adalah saat yang terbaik.
Kehidupan
tanpa asupan Dhamma akan menjadi tanah atau diri yang tidak seutuhnya sempurna.
Sempurna dalam pencapaian yang dituju pada akhir kehidupan umat Buddha, akan
tetapi sempurna disini adalah sempurna dalam upaya menjalan 3 kondisi dhamma
tersebut. Pencapaian apapun (ariya puggala) atau terlahir dialam bahagia baik
menjadi dewa, brahma merupakan efek dari perbuatan yang dilakukan semasa hidup
saat ini. Terkadang orang selalu melihat masa lalu, apabila masa lalu itu
suram, maka hanya membawa penderitaan, kesedihan, kekecewaan saja. Apabila
disikapi dengan positif, itu adalah sebuah pengalaman, akan tetapi jarang
manusia dapat memiliki persepsi yang positif mengenai hal yang tidak baik
dimasa lalu untuk disikapi pada saat ini. Sebaliknya masa lalu yang baik,
apabila dilihat secara terus menerus sebagai dampak yang tidak baik maka ia
hanya hidup dalam lamunan. Melekat dan terikat dengan persepsinya yang semu. Sehingga
apa yang diharapkan tidak menjadi kenyataan pada saat ini adalah menyebabkan
kondisi dukkha yang baru.
Kehidupan
saat ini dapat diperumpakan layaknya seorang petani, yang pada mulanya
memikirkan tanah yang harus digembur secara berulang-ulang, diairi, diberi
pupuk, setelah itu baru di tabur bibit-bibit padi, selanjutnya dibutuhkan
perawatan yang intensif sehingga hama dapat diatasi. Pada akhirnya seiring
berjalannya waktu, maka padi akan panen dengan hasil yang baik pula, sebaliknya
hal buruk juga dapat terjadi disebabkan oleh faktor kemalasan dan kelambanan. Hidup
seseorang dibutuhkan sebuah spirit (semangat) dengan memiliki semangat, dukung
skill, kemauan, tekad, usaha, semua apa yang dikerjakan, diharapkan akan
terwujud. Perumpamaan tersebut dapat dijabarkan dalam kehidupan ini adalah
selayaknya sebagai manusia harus memulai hidup ini layaknya seperti tanah yang
digembur, diri harus selalu diolah dengan menjalankan sila dan samadhi sebagai
pupuk dan air, apabila sila dan samadhi jadikan sebagai alat untuk dirawat di
dalam batin, maka niscaya hama seperti lobha, dosa, dan moha akan dapat
diatasi, sebagai hasil panen adalah kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan non
duniawi.
Kehidupan
selayaknya sebagai manusia selalu mengembangkan kebaikan, etika dalam kehidupan
merupakan sebagai penunjang sarana untuk mempraktikkan dhamma. Buddha
menjelaskan dalam Mahamaṅgala Sutta, Dhamikka Sutta-
Sn, dan Sigalovada Sutta-Dn menjelaskan mengenai etika Buddhis. Selain
Itu dalam Brahmajala Sutta dijelaskan setelah meninggalkan dan
menghindari pembunuhan. pertapa Gotama meletakkan alat pemukul dan senjata,
muak dengan kekerasan, penuh belas kasih dan berdiam mengharapkan kesejahteraan
semua makhluk. Tanah yang subur akan menghasilkan tanaman apa saja, misalnya
pohon pepaya yang subur akan menghasilkan buah yang manis, dan bijinya dapat
disebar dan meneruskan keturunan dari pohon pepaya sebelumnya, dan terus
demikian. Sama halnya seperti badan jasmani ini yang dapat digunakan dalam
melakukan hal yang terbaik, misalnya dalam rumah tangga, seorang ayah harus
bertindak seperti ayah, ibu dapat bertindak seperti ibu, menjaga rumah tangga
dengan harmonis, sehingga keturunannya akan mengikuti jejak kedua orang tuanya.
Selain itu, nama keluarga akan harum, baik dikenang oleh keturunan dan
masyarakat lainnya. Pada saat meninggal orang tua tersebut telah meninggalkan
warisan berupa pendidikan dan nasihat pada anak-anaknya, dan keturunannya.
Perbuatan
baik juga telah dilakukan Oleh Guru para dewa dan manusia yaitu Buddha Gotama,
yang telah menjadikan keturunnya para samana mengikuti Beliau hingga saat ini
menjalankan dan mempertahankan Dhamma-Vinaya. Secara filosifi Buddha telah
menjaga dan menjadikan tanah yang sangat subur sekali dalam waktu yang panjang
dalam dirinya, setelah buah pencapaian yang Beliau peroleh, Beliau ajarkan
untuk semua makhluk secara cinta kasih dan kasih sayang. Inilah tanah yang
bermanfaat bagi banyak orang. Terkait dengan paham tanah, tanah juga memiliki
filosofi sebagai tempat perisitirahat terakhir dalam kehidupan ini (kuburan).
Sehingga selayaknya sebagai manusia selalu ingat bahwa kehidupan ini semua
makhluk akan mengalami kematian, kematian adalah seseorang khususnya akan
meninggalakan jasmaninya dan berangkat menuju kelahiran selanjutnya.
Perbuatan
baik dan buruk setiap yang manusia lakukan juga Buddha jelaskan dalam Ambalatthikarahulovada
Sutta adalah perbuatan yang dilakukan dari jasmani, ucapan, maupun
pikiran yang mengarah pada penderitaan bagi dirinya, orang lain, dan keduanya,
perbuatan ini dikatakan sebagai perbuatan yang tidak baik (akusala). Sebaliknya
apabila itu baik maka itu adalah kusala.
Sehubungan dengan kriteria baik dan buruk prilaku, Buddha juga menjelaskan
dalam Kandaraka Sutta-MN bahwa ada empat macam perbuatan, yaitu: *Seseorang
yang menyiksa dirinya (attantapa), seperti pertapa yang mempraktikkan
penyiksaan diri. *Seseorang yang menyiksa makhluk-makhluk lain (parantapa),
seperti pemburu yang menghancurkan kehidupan makhluk lain. *Seseorang yang
menyiksa dirinya sekaligus makhluk-makhluk lain, seperti seorang raja melakukan
upacara kurban besar-besaran di mana baik raja maupun rakyatnya menanggung
penderitaan tanpa henti ketika mempersiapkan hal-hal untuk upacara kurban, dan
binatang-binatang yang dikurbankan juga menderita. *Seseorang yang tidak
menyiksa dirinya maupun makhluk-makhluk lain, seperti seorang Arahat.
Sebagai
manusia yang selalu menghargai kehidupan ini dengan selalu menjaga kehidupannya
dengan moralitas, pengembangan konsentrasi (samadhi), hingga mencapai
penembusan Dhamma dengan kebijaksanaan. Buddha menyatakan dalam Mahaparibbana
Sutta-DN bahwa samadhi yang dilatih secara terus menerus akan
menghantarkan pada penghacuran noda batin, dan dalam Maha Assapura Sutta- MN bahwa
moral juga sebagai pendukung untuk perealisasian Nibbāna. Maka daripada itu
terus berjuang dengan UTS menjadi tanah yang subur dan menghasilakn buah yang
manis untuk semua makhluk.
Refrensi:
Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya.
Vihāra Bodhivaṁsa, Klaten:
Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi, Nyanaponika. 2003. Majjhima Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.
Bodhi,
Nyanaponika. 2010. Tipiṭaka Tematika.
Tanpa kota:
Ehipassiko Foundation.
Kaharuddin.
2005. Abhidhammatthasaṅgaha.
Vihara Padumuttara: Tangerang
Tim Giri Mangala
Publication 2009. Kotbah-kotbah Panjang-
Sang Buddha Dῑgha Nikāya.
Tanpa kota:
Dhammacitta Press.