Oleh : Samanera Herman Vimalaseno
Mahasiswa STAB Kertarajasa-Batu
Mereka yang telah
melakukan yang terbaik,
dan berlatih dalam ajaran yang pernah semua
Ku-ajarkan,
siaga dan penuh konsentrasi,
pada waktunya akan pergi melampaui kekuatan
kematian.
(Samyutta Nikaya 1.52)
Eling
merupakan satu kalimat dalam bahasa jawa yang berarti ingat, sadar. Orang pada
saat sekarang ini adalah selalu lupa dan lengah serta tidak waspada dengan apa
yang ia kerjakan. Hal yang kurang wospodo (waspada) itulah yang akan
menyebabkan seseorang gagal dalam meraih hidup sukses.
Kesadaran merupakan modal utama
dalam kehidupan, sadar dalam berpikir, sadar dalam berucap dan sadar dalam
berprilaku/bertindak. Dari kesadaran yang muncul, maka ia telah waspada dari
ketiga pintu indera itu.
Orang
yang tidak sadar bahwa ia sedang berpikir, maka tanpa sengaja pula ia akan melontarkan
kata-kata sesuai dengan yang ia pikirkan, dari apa yang ia lontarkan, maka ia
aplikasikan (praktikkan) dalam tingkah lakunya.
Seperti contoh enam Teroris yang
baru-baru ini di tembak mati oleh Densus 88, dari salah salah satu bukti yang
ditemukan ada 50 daftar wihara yang akan siap di bom, akan tetapi gagal. Mereka
tidak sadar dengan apa yang mereka pikirkan, mereka berpikir dengan kejahatan,
berucap dengan kejahatan dan bertindak dengan kejahatan.
Tindakan
kejahatan dapat seseorang lakukan, karena kejahatan muncul dari pikiran, hal
ini merupakan virus berbahaya, apabila tidak disadari dan diwaspadai.
Diumpamakan seperti komputer terkena virus, akan menghancurkan semua sistem
yang ada di dalam komputer.
Kehidupan
sekarang ini merambah pada kehidupan yang maju dan modern. Fenomena tersebut
tidak hanya terjadi dikota besar akan tetapi juga hingga ke desa. Perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan dunia informasi yang cepat, sulit dibendung.
Kesadaran dalam bertindak sebagai modal kewaspadaan dalam bersikap diera modern
sangat diperlukan.
Sangat
disayangkan dengan kemajuan teknologi saat ini tidak diimbangi dengan sumber
daya manusia yang cukup sehingga terjadi ketimpangan bahkan salah arah. Mereka
menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berdasarkan pada asas
kesadaran dan kewaspadaan yang membawa manfaat, melainkan menggunakan luapan
emosi. Sehingga mereka menganggap cara hidup modernlah paling unggul dibanding
cara hidup sederhana.
Peradaban
manusia akan mengarah ke peradaban yang serba bebas dan tidak terarah. Kesadaran,
kewaspadaan, kepedulian, moralitas, serta sikap mental positif secara perlahan
akan ditinggalkan dan bergeser pada peradaban bebas. Jika kondisi ini berlarut,
maka akan mendorong kemerosotan bagi masyarakat yang sejak dulu dikenal dengan
peradaban beretika.
Cara
hidup sederhana bukanlah cara hidup yang tidak bermutu. Bermutu atau tidaknya
adalah ditentukan oleh diri sendiri. Bagi mereka yang selalu sadar dengan apa
yang dikerjakan serta selalu waspada, bekerja tanpa cela, beretika, dengan
semangat, penuh tanggung jawab. Maka kesuksesan dalam hidup dapat diraih.
Banyak
orang yang enggan hidup dengan cara hidup berdasarkan Dhamma. Karena anggapan
cara hidup berdasarkan Dhamma adalah cara hidup yang kuno. Dhamma adalah ajaran
Buddha yang berlandaskan pada kesadaran, kewaspadaan, etika, serta panutan
untuk menghadapi permasalahan kehidupan yang kompleks seperti saat ini.
Tanpa
Dhamma, hidup seseorang akan merosot bahkan mengarah pada kehancuran. Kerena
mereka buta akan arah kebaikan yang harus dijalankan. Gaya hidup sesuai Dhamma
tentu tidak terlepas dari hidup berkesadaran, berkewaspadaan, bertetika . Erat
hubungannya dengan proses mental (cetasika).
Dalam
membangun sikap peduli, moralitas, dan sikap mental positif yang selalu sadar
dengan yang dikerjakan, selalu waspada dengan apa yang dilakukan. Sehingga hal
ini menjadikan cerminan untuk merefleksi/ bercermin/ berinstropeksi terhadap
diri sendiri.
Usaha
untuk melihat diri sendiri akan membawa dampak positif. Selain itu seseorang
harus berani melihat kekurangan dirinya sendiri dan tidak menonjolkan ego
(sifat kesombongan). Dengan melihat kekurangan diri sendiri, maka mereka akan
memperbaiki diri untuk lebih baik, mereka akan maju serta suskes dengan cara
hidup sesuai Dhamma.
Kesadaran
dan kewaspadaan dapat dibangun dari mereka yang mau berlatih samadhi. Samadhi
adalah olah mental yang positif dan membangun energi positif dalam diri. Dengan
pengolaan bantin melalui samadhi, batin seseorang akan berkembang kearah yang
positif.
Samadhi
kadang menjadi momok bagi sebagian orang yang tidak mengenali arti, cara
melaksanakan, tujuan dan manfaat yang akan didapat dari praktik samadhi.
Samadhi identik dengan mengosongkan pikiran dan duduk diam. Prespektif /
pandangan masyarakat adalah negativ mengenai samadhi. Apabila mereka paham. Maka
mereka akan termotivasi untuk melakasanakan samadhi.
Langkah awal dalam membangun
konsentrasi untuk selalu sadar dan waspada di dalam samadhi adalah tekad dan
semangat. Tanpa tekad samadhi yang diajalankan tidak akan bertahan lama, akan
mengalami berbagai macam halangan didalam samadhi, maka mereka akan putus asa
dan tidak semangat untuk melanjutkan samadhi.
Banyak orang yang menghindari
kesulitan, lari dari permasalahan yang dihadapi di dalam melaksanakan samadhi.
Hal ini tidak akan membawa perkembangan, kemajuan serta sikap membangun mental
yang positif dalam diri. Justru sebaliknya, bagi mereka yang sadar, dan waspada
di dalam mengamati proses batin dan jasmani di dalam samadhi, maka mereka telah
membangun power yang luar biasa di dalam dirinya sendiri.
Menjadi masyarakat yang berkualitas
bukanlah hal yang mudah untuk dijalankan, lingkungan, pergaulan, dan cara hidup
adalah tantangan yang berat di dalam kehidupan sosial masyarakat. Apabila
seseorang tidak mampu bersosialiasi dengan masyarakat, cara hidup yang salah,
maka mereka akan tersisihkan dari komunitas masyarakat dan menjadi sampah
masyarakat.
Bukan
berarti kita patah semangat akan hal itu. Melainkan Dhamma menuntun seseorang
selalu “eling lan wospodo” (hidup dengan berkesadaran dan berkewaspadaan).
Mereka akan hidup tenang seimbang di dalam kehidupan bermasayarakat. Bagaikan
teratai yang tumbuh diatas kolam berlumpur, akan tetapi bunganya tidak
ternodai.
Banyak
orang hanya bisa berkata tapi tidak mampu berbuat. Banyak orang yang bisa
mengkritik, tapi tidak mampu memberikan solusi. Kehidupannya tidak akan seharum
bunga dan ini akan ditinggalkan oleh komunitasnya dan ia akan menjadi benalu di
dalam dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Menghormat
Sang Guru (Buddha) dengan mempraktikkan Dhamma dengan benar, maka sama halnya
seseorang mempersembahkan rangkaian bunga yang harum kepada semua makhluk.
Orang yang seimbang adalah mereka yang mau belajar dan mempraktikkan Dhamma
dengan selalu sadar dan waspada dalam setiap langka hidupnya. Maka kesuksesan
dan kebahagiaan akan menjadi miliknya, bagaikan bayangan yang tidak pernah
meninggalkan bendanya.
Ada
tiga S di dalam hidup ini, yaitu: S yang pertama adalah “Syukur” merasa puas
dengan yang dimiliki, serta mensyukuri dengan melihat S yang kedua adalah
“Sekitar”, bahwa tidak semua orang di sekitar anda merasa mensyukuri dengan
yang mereka dapatkan. Setelah anda mensyukuri maka anda akan melihat S yang
ketiga yaitu “Saya”, saya adalah motivator terbesar bagi diri saya sendiri,
bukan orang lain. Tidak ada orang lain lebih mengenal anda selain anda sendiri.
Anda sendirilah yang mampu menggerakan kaki anda untuk berjalan ke arah yang
lebih baik. Otot-otot tangan andalah yang membuat anda memiliki
kebiasaan-kebiasaan baru yang positif.
Daftar
Pustaka:
Abhayanando. 2010. Dhamma Solusi Kehidupan. Vihara
Dharma
Ratna. Tangerang
Uttamo. 2005. Agama Buddha Pedoman Hidupku. Bodhi
Buddhist
Centre Indonesia. Medan
Sunandar, Vidi Yulius. 2010. Nasi Basi. Ehipassiko
Foundation.
Jakarta
Tanpa Nama. 2007. Suskes Dengan Dhamma 3. Keluarga
Buddhis
Brahmavihara (KBBV) Makassar. Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar