Senin, 14 Oktober 2013

Masyarakat Pasca Majapahit


A.    MASYARAKAT TENGGER

Makna Arti kata ‘Tengger’
            Suku Tengger yang beragama Hindu hidup di wilayah Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Pada tahun 1985 jumlah mereka sekitar 40 ribu. Ada banyak makna yang dikandung dari kata Tengger. Secara etimologis, Tengger berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak (Jawa). Bila dikaitkan dengan adat dan kepercayaan, arti tengger adalah tengering budi luhur. Artinya tanda bahwa warganya memiliki budi luhur. Makna lainnya adalah: daerah pegunungan. Tengger memang berada pada lereng pegunungan Tengger dan Semeru. Ada pula pengaitan tengger dengan mitos masyarakat tentang suami istri cikal bakal penghuni wilayah Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger.

Nenek Moyang Kaum Tengger: Rara Anteng dan Jaka Seger
            Sebagaimana disebut di atas, Tengger biasa dikaitkan juga dengan mitos masyarakat tentang suami istri yang merupakan cikal bakal penghuni wilayah Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Sehingga bila nama keduanya diringkas menjadi: Tengger.
            Alkisah, pada zaman dahulu, ada seorang putri Raja Brawijaya dengan Permaisuri Kerajaan Majapahit. Namanya Rara Anteng. Karena situasi kerajaan memburuk, Rara Anteng mencari tempat hidup yang lebih aman. Ia dan para punggawanya pergi ke Pegunungan Tengger. Di Desa Krajan, ia singgah satu windu, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pananjakan. Ia menetap di Pananjakan dan mulai bercocok tanam. Rara Anteng kemudian diangkat anak oleh Resi Dadap, seorang pendeta yang bermukim di Pegunungan Bromo.
            Sementara itu, Kediri juga kacau sebagai akibat situasi politik di Majapahit. Joko Seger, putra seorang brahmana, mengasingkan diri ke Desa Kedawung sambil mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di desa ini, Joko Seger mendapatkan informasi adanya orang-orang Majapahit yang menetap di Pananjakan. Joko Seger pun melanjutkan perjalanannya sampai Pananjakan.
            Joko Seger tersesat dan bertemu Rara Anteng yang segera mengajaknya kekediamannya. Sesampai di kediamannya, Rara Anteng dituduh telah berbuatserong dengan Joko Seger oleh para pinisepuhnya. Joko Seger membela Rara Anteng dan menyatakan hal itu tidak benar, kemudian melamar gadis itu.Lamaran diterima. Resi Dadap Putih mengesahkan perkawinan mereka.Sewindu sudah perkawinan itu namun tak juga mereka dikaruniai anak. Mereka bertapa 6 tahun dan setiap tahun bergantiarah. Sang Hyang Widi Wasa menanggapi semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo keluar semburan cahaya yang kemudian menyusup ke dalam jiwa Rara Anteng dan Joko Seger. Ada pawisik mereka akan dikaruniai anak, namun anak terakhir harus dikorbankan di kawah Gunung Bromo.
            Pasangan ini dikarunia 25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah Tengger penduduknya sangat sedikit. Putra terakhir bernama R Kusuma. Bertahun-tahun kemudian Gunung Bromo mengeluarkan semburan api sebagai tanda janji harus ditepati. Suami istri itu tak rela mengorbankan anak bungsu mereka. R Kusuma kemudian disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun semburan api itu sampai juga di Ngadas. R Kusuma lantas pergi ke kawah Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara R Kusuma supaya saudara-saudaranya hidup rukun. Ia rela berkorban sebagai wakil saudara-saudaranya dan masyarakat setempat. Ia berpesan, setiap tanggal 14 Kesada, minta upeti hasil bumi. Cerita lain menunjukkan saudara-saudara R Kusuma menjadi penjaga  tempat-tempat lain. Maka setiap tanggal 14 bulan purnama di bulan Kasada, dikirimilah Raden Kusuma beragam hasil ladang ke kawah Gunung Bromo. Upacara persembahan tersebut menjadi tradisi yang diselenggarakan secara turun temurun hingga sekarang yang diberi nama Yadnya Kasada.
Dukun selalu meriwayatkan kisah Joko Seger – Rara Anteng

Orang Tengger: Keturunan Pengungsi dari Majapahit?
            Meskipun tidak banyak, kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru memiliki data kepurbakalaan dan kesejarahan yang dapat mengungkap siapa dan bagaimana kehidupan orang Tengger. Prasasti batu yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka (929 M), menyebutkan bahwa  sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di kawasan pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang dihuni oleh  hulun hyang, yakni orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata. Prasasti kedua yang ditemukan, masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa di kawasan ini penduduknya melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung Bromo, dan menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma.  Pada tahun 1880 seorang perempuan Tengger menemukan sebuah prasasti yang terbuat dari kuningan di daerah penanjakan yang termasuk Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini berangka tahun 1327 Saka atau 1407 M (1405 M?). Prasasti ini menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewata, dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila atau suci. Warga desa Walandhit dibebaskan dari kewajiban membayar  titileman, yakni pajak upacara kenegaraan karena mereka berkewajiban melakukan pemujaan terhadap Gunung Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan. Prasasti tersebut dihadiahkan oleh Bathara Hyang Wekas in Sukha (Hayam Wuruk) pada bulan Asada.
            Nama Walandhit disebut juga oleh Prapanca, seorang  pujangga kenamaan dari kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nagarakertagama. Walandhit adalah nama sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan Majapahit. Di tempat ini bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Saiwa.
            Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru sudah berpenghuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit perlu dikaji ulang. Ada dua kemungkinan yang perlu  dipertimbangkan, pertama meskipun orang Walandhit bukan keturunan Majapahit, kegiatan beragama mereka sama dengan warga kerajaan Majapahit pada umumnya, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak Hindu-Budha. Kemungkinan kedua, orang Walandhit dengan suka cita menerima para pengungsi dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi Kerajaan Islam Demak, terutama setelah  Karsyan Prawira dan daerah sekitarnya berhasil diislamkan oleh tentara Demak pada abad ke-16 M. Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Pada waktu itu daerah pedalaman termasuk dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut oleh tentara Demak.
      Masyarakat Tengger dikenal luas beragama Hindu, berpadu dengan kepercayaan tradisional. Hindu masyarakat Tengger berbeda dengan Hindu di Bali. Perbedaannya antara lain, Hindu Tengger tidak mengenal ngaben sebagai upacara kematian sebagaimana di Bali. Masyarakat Tengger juga tidak mengenal kasta, dan masih menganut tradisi yang pernah berkembang pada jaman Majapahit.
            Memang, pada zaman Majapahit diakui ada dua agama, yakni Hindu dan Budha. Pada abad ke- 14 setelah masuknya Islam, kata “Budha” dipakai untuk orang yang belum menganut Islam.
           
Dukun: Pimpinan Agama dan Adat
            Kepala kelompok-kelompok masyarakat disebut Dukun. Dukun sebagai pimpinanAgama sekaligus sebagai Kepala Adat, bertugas dan bertanggung jawab memimpin upacara-upacara adat. Dalam menunaikan tugasnya, Dukun dibantu oleh beberapa orang petugas yaitu:
Ø  Wong Sepuh, bertugas sebagai pembantu dalam menyiapkan sesaji upacara-upacara kematian.
Ø  Legen, bertugas membantu Penobatan Tamu Kehormatan mempersiapkan peralatan dan sesaji pada upacara perkawinan.
Ø  Dukun Sunat, bertugas melaksanakan khitanan anak laki-laki menjelang umur remaja. Khitan bagi anak laki-laki Tengger berbeda dengan khitan dalam Agama Islam. Khitan anak laki-laki Tengger hanya sekedar memotong sedik kulit ujung penis.
Ø  Dukun Bayi, bertugas menolong ibu yang akan melahirkan.
            Memperhatikan betapa pentingnya peran dukun bagi Masyarakat Tengger, maka ditetapkan setiap desa dikepalai seorang Dukun. Dukun dipilih oleh warga dengan persyaratan tertentu, yaitu :
Ø  Laki-laki sudah menikah
Ø  Keturunan Dukun / titisan darah
Ø  Dapat menguasai semua mantera / adat istiadat.
            Ujian calon Dukun dilakukan di Poten tempat upacara adat dan dilaksanakan bertepatan dengan Yadnya Kasada.

Berbagai Macam Upacara Adat di Tengger
            Orang Tengger kaya akan upacara adat tetapi hampir  tidak memiliki produk kesenian. Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan di wilayah Tengger adalah sebagai berikut.
1.      Upacara Kasada.
            Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang sekarang disebut Yadnya Kasada, adalah hari raya kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16, bulan Kasada, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya di lazuardi biru. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para saudaranya.  Kasodoan  merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger.Kepergian dukun Tengger ke Bromo bukan hanya untuk berdoa, melainkan juga untuk minta berkah kepada yang menjaga Gunung  Bromo. Permintaan itu ditujukan kepada Sang Dewa Kusuma yang dikurbankan (dilabuh) di Kawah Bromo. Selain meminta sesuatu, dukun Tengger juga memberi sesuatu, yaitu melaksanakan amanat Raden Kusuma yang diucapkan pada masa lalu yang berbunyi sebagai berikut:  “Dulurku sing isih urip ana ngalam donya, ngalam padang, mbesuk aku saben wulan Kasada kirimana barang samubarang sing  ana rupa tuwuh, rupa sandhang pangan, saanane sandhang pangan sing rika pangan ana ngalam donya, weruh rasane, apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane rika, ya keturutan panjaluke rika ya mesti kinabulna.” (“Saudara-saudaraku yang masih hidup di dunia, di alam terang, kelak setiap bulan Kasada, kirimkan kepadaku hasil pertanianmu, dan makanan yang kalian makan di dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu pasti kukabulkan”).

2.      Upacara Karo.
            Upacara ini bertujuan untuk kembali ke Satyayoga, yakni kesucian. Upacara Karo juga merupakan upacara besar. Masyarakat Tengger mempercayai, pada Hari Raya Karo inilah Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) menciptakan “Karo”, yakni dua manusia berjenis lelaki dan perempuan sebagai leluhurnya, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger. Upacara Karo dilaksanakan 12 hari. Masyarakat Tengger mengenakan pakaian baru, perabot baru. Makanan dan minuman melimpah pada hari raya mereka. Antar keluarga saling mengunjungi. Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka.

3.      Upacara Unan-Unan.
            Upacara ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan.

4.      Upacara Entas-Entas.
            Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikan  roh orang yang telah meninggal dunia pada hari ke-1000 agar supaya dapat masuk surga. Biaya upacara ini sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-besaran dengan  menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut dimakan dan sebagian dikurbankan.

5.      Upacara Pujan Mubeng.
            Upacara ini diselenggarakan pada bulan             kesembilan atau  Panglong Kesanga, yakni pada hari kesemilan sesudah bulan purnama. Warga Tengger berkeliling desa bersama dukun mereka sambil memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa bagian timur mengelilingi empat penjuru desa. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut diakhiri dengan makan bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal dari sumbangan warga desa.
6.      Upacara Kapat.
      Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.



7.      Upacara Kawulu.
      Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.



B.     MASYARAKAT SUKU BADUY

Masyarakat suku baduy merupakan masyarakat yang homogen dengan orang-orang sunda yang tidak terdengar asing lagi oleh telinga masyarakat indonesia, mulai dari businessman sampai tukang sapu jalan, dari mahasiswa sampai anak SD, di kalangan sosialitas sampai ibu-ibu arisan. Memang tidak semua masyarakat indonesia mengomsumsi produk-produk impor tersebu, sebab masih ada segelintir orang yang hanya bertindak sebagai pengamat atau sekedar ingin tahu saja. Dan suku baduy tebagi menjadi dua yaitu suku baduy luar disebut Suku Urang Panamping dan suku baduy dalam yang disebut  Suku Urang Tantu. Dam mereka memiliki cara hidup masing- masing dan memiliki pemukiman yang berbeda pula antara suku baduy dalam dan suku baduy luar.
ADAT ISTIADAT ORANG PEDALAMAN (BADUY)
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
WILAYAH
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C
ASAL USUL
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
            Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
 BAHASA
            Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
     RUMAH ADAT DAN ISTIADATKU
Orang-orang Baduy dalam membangun rumah dari susunan bambu dengan pondasi pasak-pasak kayu. Rumah –rumah merka berdiri mengikuti kontur tanahnya yang berlobang. Tidak ada paku, tidak perlu palu, cukup dengan menyambung engsel kayu-kayu dan bambu, rumah khas orang-orang baduy dalam sudah biasa berdiri dengan kokoh. Sementara rumah-rumah baduy luar memiliki dua pintu, dan rumah-rumah baduy dalam hanya memiliki satu pintu. Satu pintu ini melambangkan prinsip orang baduy dalam hidup berkeluarga. Satu pintu berati hanya boleh satu istri dan satu suami. Mereka hanya terkait dalam satu hati, satu tujuan, satu adat membangun masa depan. Orang baduy tidak mengenal kata perselingkuha, poligami, apalagi perceraian hal-hal yang sudah lumrah pada kehidupan sekarang. Dengan perinsip satu pintu inilah, keluarga masyarakat baduy mampu menjaga kerukunan rumah tangganya dari zaman ke zaman.  
     KEPERCAYAAN
      Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin.
     STRUKTUR PEMERINTAHAN
      Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”. Struktur pemerintahan
     MATA PENCAHARIAN
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
     RITUAL NGASEK DAN BUNYI CALINTUN
            Bagi masyarakat Baduy, berarti bukanlah sekedar penanam padi disawah, namunjuga dianggap juga sebagai bagian dari tradisi. Masyarakat baduy dalam sangat menghormati padi, bahkan sejak padi itu masih berupa benih. Menjelang musim tanam selalu melakukan ritual menanam padi yang mereka sebut Ngasek. Sebelum penanaman, pemimpin adat akan bertapa dan berpuasa selama tiga hingga sampai tuju hari. Setelah Sang pemimpin adat selesai berdo’a, benih yang akan ditanam “dihibur” dengan musik angklung dan nyanyian pantu.


C.    MASYARAKAT SAMIN

     MASYARAKAT SAMIN
            Samin adalah nama seorang tokoh yang hidup pada zaman colonial belanda (sekitar tahun 1900-an). Nama lengkap tokoh tersebut adalah Kyai Samin Surosentiko. Menetap di desa bapangan kecamatan menden kabupaten Blora jawa tengah. Sebutan “kyai” dalam konteks kultur jawa menunjuk pada posisi special, biasanya menunjuk pada kekuatan supranatural. Labeling “kyai” tidak hanya untuk sebutan manusia tetapi bisa juga digunakan pada benda, hewan, dan tumbuhan. Sebagai contoh: tombak pusaka keraton solo disebut sebagi kyai Plered, kerbau keraton dinamakan kyai Slamet, pohon besar nan rimbun yang tumbuh di tepi sungai, disebut sebagai kyai Danyang, sedangkan orang yang dituakan dalam masyarakat jawa juga biasa dipanggil dengan sebutan “kyai”.
            Perkembangan selanjutnga, kyai Samin membakukan perilaku dan gaya hidupnya menjadi suatu ajaran sehingga terlembagakan menjadi saminisme yang memanelkan pada perilaku yang kemudian menjadi ajaran yang terinstitusionalisasi, kemudian berkembang menjadi sikap kebatinan. Dalam perkembangan saminisme terbagi menjadi dua golongan , yang satu disebut sebagia samin peniten (sikap), artinya masyarakat samin yang berperilaku dan gaya niteni (memperhatikan terhadap milik sendiri). Sebagai contoh: si A dikenai pajak Rp.250,-untuk pekarangan rumah dan isinya. Tetapi si A tidak mau membayar karena merasa tanah pekarangan dan seluruh isinya tersebut adalah milik pribadi sehingga tidak perlu membayar pajak. Sedangkan golongan yang kedua adalah sebagai samin sangkak, yaitu masyarakat samin yang gaya hidup dan ajarannya memakai logika yang berdasarkan pada perspektif mereka sendiri. Misalnya si B ditanya; anaknya berapa? Maka akan dijawab: anaknnya dua (padahal jumlah anaknya lima). Kalau ditanya: kok cuma dua? Maka akan dijawab: iya dua, laki-laki dan perempuan. 

     Asal ajaran Saminisme

Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.

     Tokoh perintis ajaran Samin

Tulisan ini merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba disuguhkan untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang masyarakat samin meliputi; ide terbentuknya masyarakat samin, tiga unsur gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber ajaran Samin, daerah persebaran ajaran Samin, sebab perlawaan orang Samin, pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, rites perkawinan orang Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya, perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisam ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena sampai saat ini masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan Orang Samin tidak beda dengan masyarakat yang terbelakang, terisolir dan anti kemajuan. Karena penulis khawatir dari kesekian kalinya kekerasan pada pemeluk aliran kepercayaan sering dipertontontan, dan sangat mungkin terjadi pada pada entitas masyarakat samin.Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan Sastroatmodjo (2003), film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes.Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
     SYSTEM BAHASA MASYRAKAT SAMIN
            Masyrakat samin secara umum menggunakan bahasa jawa sebagai media bahasa antar warga. Bahasa jawa memiliki banyak tingkatan yang penggunaannya disesuaikan dengan konteks dan posisi/derajat antar komunikator dan komunikan. Tingkatan dalam bahasa jawa terdiri dari: bahasa kedaton, Krama inggil, Mudha krama, krama andhap, krama Ndesa, Ngoko andhap, dan Ngoko. Krama inggil digunakan oleh orang derajatnya lebih rendah kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi, bahasa kedaton digunakan untuk kalangan bangsawan di lingkungan kedaton, Mudha karma dipakai untuk golongan priyai, dimana diantara mereka setara derajatnaya, tetapi belum akrab. Kromo Andhap digunakan oleh Priyai kepada orang yang derajatnya lebih rendah tetapi orang tersebut memiliki martabat yang lebih ringgi. Ngoko Andhap digunakan oleh Priyai (golongan terhormat) yang mempercayai derajat sama. Ngoko digunakan oleh mereka yang mempunyai kesamaan derajad pada lingkungan pedesaan. Pengetahuan yang mempelajari tentang bahsa  dantingkatan-tingkatan bahasa disebut paramasastra. Orang samin kebanyakan mempergunakan bahasa Ngoko dalam percakapan diantara mereka. Hal ini mencerminkan kesamaan derajat yang kental. Ketika berinteraksi dengan orang yang diluar lingkungan, mereka baru menggunakan bahasa di luar Ngoko tergantung siapa yang dihadapi.
abdullah masmun, j. s. (2003). Agama Tradisional: potret kearifan masyarakat samin dan tengger. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
Lahansari. (2011, mei). Masyarakat Baduy: sebuah cermin keanggunan nilai tradisional di tengah era globalisasi. paramita media informasi dan ekspresi kreatifitas , pp. 21-24.
Munfangati, T. (2004). Kearifan lokal masyarakat samin kabupaten blora. Yogyakarta: Jarahnitra.
Rosmana, E. (2008, Maret 21). Suku baduy dipedalaman banten. Retrieved Maret 28, 2012, from Indotoplist.om: http://info.indotoplist.com
Savitri, A. (2010). Sejarah agama dan tradisi suku tengger gunung bromo.
Syharto, A. Sekilas Tentang Masyarakat Tengger .
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar