A. MASYARAKAT TENGGER
Suku
Tengger yang beragama Hindu hidup di wilayah Gunung Bromo, Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Pada tahun 1985 jumlah mereka sekitar 40 ribu. Ada
banyak makna yang dikandung dari kata Tengger. Secara etimologis, Tengger
berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak (Jawa). Bila dikaitkan dengan adat
dan kepercayaan, arti tengger adalah tengering budi luhur. Artinya tanda bahwa
warganya memiliki budi luhur. Makna lainnya adalah: daerah pegunungan. Tengger
memang berada pada lereng pegunungan Tengger dan Semeru. Ada pula pengaitan
tengger dengan mitos masyarakat tentang suami istri cikal bakal penghuni
wilayah Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger.
Nenek Moyang Kaum
Tengger: Rara Anteng dan Jaka Seger
Sebagaimana disebut di atas, Tengger
biasa dikaitkan juga dengan mitos masyarakat tentang suami istri yang merupakan
cikal bakal penghuni wilayah Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger.
Sehingga bila nama keduanya diringkas menjadi: Tengger.
Alkisah,
pada zaman dahulu, ada seorang putri Raja Brawijaya dengan Permaisuri Kerajaan
Majapahit. Namanya Rara Anteng. Karena situasi kerajaan memburuk, Rara Anteng
mencari tempat hidup yang lebih aman. Ia dan para punggawanya pergi ke
Pegunungan Tengger. Di Desa Krajan, ia singgah satu windu, kemudian melanjutkan
perjalanan ke Pananjakan. Ia menetap di Pananjakan dan mulai bercocok tanam.
Rara Anteng kemudian diangkat anak oleh Resi Dadap, seorang pendeta yang
bermukim di Pegunungan Bromo.
Sementara
itu, Kediri juga kacau sebagai akibat situasi politik di Majapahit. Joko Seger,
putra seorang brahmana, mengasingkan diri ke Desa Kedawung sambil mencari
pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di desa ini, Joko Seger
mendapatkan informasi adanya orang-orang Majapahit yang menetap di Pananjakan.
Joko Seger pun melanjutkan perjalanannya sampai Pananjakan.
Joko
Seger tersesat dan bertemu Rara Anteng yang segera mengajaknya kekediamannya.
Sesampai di kediamannya, Rara Anteng dituduh telah berbuatserong dengan Joko
Seger oleh para pinisepuhnya. Joko Seger membela Rara Anteng dan menyatakan hal
itu tidak benar, kemudian melamar gadis itu.Lamaran diterima. Resi Dadap Putih
mengesahkan perkawinan mereka.Sewindu sudah perkawinan itu namun tak juga
mereka dikaruniai anak. Mereka bertapa 6 tahun dan setiap tahun bergantiarah.
Sang Hyang Widi Wasa menanggapi semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo keluar
semburan cahaya yang kemudian menyusup ke dalam jiwa Rara Anteng dan Joko
Seger. Ada pawisik mereka akan dikaruniai anak, namun anak terakhir harus
dikorbankan di kawah Gunung Bromo.
Pasangan
ini dikarunia 25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah Tengger
penduduknya sangat sedikit. Putra terakhir bernama R Kusuma. Bertahun-tahun
kemudian Gunung Bromo mengeluarkan semburan api sebagai tanda janji harus
ditepati. Suami istri itu tak rela mengorbankan anak bungsu mereka. R Kusuma
kemudian disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun semburan api itu sampai
juga di Ngadas. R Kusuma lantas pergi ke kawah Gunung Bromo. Dari kawah
terdengar suara R Kusuma supaya saudara-saudaranya hidup rukun. Ia rela
berkorban sebagai wakil saudara-saudaranya dan masyarakat setempat. Ia
berpesan, setiap tanggal 14 Kesada, minta upeti hasil bumi. Cerita lain
menunjukkan saudara-saudara R Kusuma menjadi penjaga tempat-tempat lain. Maka setiap tanggal 14
bulan purnama di bulan Kasada, dikirimilah Raden Kusuma beragam hasil ladang ke
kawah Gunung Bromo. Upacara persembahan tersebut menjadi tradisi yang
diselenggarakan secara turun temurun hingga sekarang yang diberi nama Yadnya
Kasada.
Dukun selalu meriwayatkan kisah
Joko Seger – Rara Anteng
Orang Tengger:
Keturunan Pengungsi dari Majapahit?
Meskipun tidak banyak, kawasan Taman
Nasional Bromo-Tengger-Semeru memiliki data kepurbakalaan dan kesejarahan yang
dapat mengungkap siapa dan bagaimana kehidupan orang Tengger. Prasasti batu
yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka (929 M), menyebutkan
bahwa sebuah desa bernama Walandhit,
yang terletak di kawasan pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang
dihuni oleh hulun hyang, yakni orang
yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata. Prasasti kedua yang ditemukan,
masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa di kawasan ini penduduknya
melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung Bromo, dan menyembah dewa
yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama Hindu dikenal sebagai
Dewa Brahma. Pada tahun 1880 seorang
perempuan Tengger menemukan sebuah prasasti yang terbuat dari kuningan di
daerah penanjakan yang termasuk Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan. Prasasti
ini berangka tahun 1327 Saka atau 1407 M (1405 M?). Prasasti ini menyebutkan
bahwa sebuah desa bernama Walandhit dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewata,
dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila atau suci. Warga desa
Walandhit dibebaskan dari kewajiban membayar
titileman, yakni pajak upacara kenegaraan karena mereka berkewajiban
melakukan pemujaan terhadap Gunung Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan.
Prasasti tersebut dihadiahkan oleh Bathara Hyang Wekas in Sukha (Hayam Wuruk)
pada bulan Asada.
Nama
Walandhit disebut juga oleh Prapanca, seorang
pujangga kenamaan dari kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nagarakertagama.
Walandhit adalah nama sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan
Majapahit. Di tempat ini bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan
Saiwa.
Prasasti
Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru sudah berpenghuni
sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya keyakinan bahwa
nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit perlu dikaji ulang.
Ada dua kemungkinan yang perlu
dipertimbangkan, pertama meskipun orang Walandhit bukan keturunan
Majapahit, kegiatan beragama mereka sama dengan warga kerajaan Majapahit pada
umumnya, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak Hindu-Budha.
Kemungkinan kedua, orang Walandhit dengan suka cita menerima para pengungsi
dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi Kerajaan Islam Demak, terutama
setelah Karsyan Prawira dan daerah
sekitarnya berhasil diislamkan oleh tentara Demak pada abad ke-16 M. Para
pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian menyatu dan menurunkan orang Tengger
yang kita kenal sampai sekarang. Pada waktu itu daerah pedalaman termasuk
dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut oleh tentara Demak.
Masyarakat
Tengger dikenal luas beragama Hindu, berpadu dengan kepercayaan tradisional.
Hindu masyarakat Tengger berbeda dengan Hindu di Bali. Perbedaannya antara
lain, Hindu Tengger tidak mengenal ngaben sebagai upacara kematian sebagaimana
di Bali. Masyarakat Tengger juga tidak mengenal kasta, dan masih
menganut tradisi yang pernah berkembang pada jaman Majapahit.
Memang,
pada zaman Majapahit diakui ada dua agama, yakni Hindu dan Budha. Pada abad ke-
14 setelah masuknya Islam, kata “Budha” dipakai untuk orang yang belum menganut
Islam.
Dukun: Pimpinan Agama
dan Adat
Kepala kelompok-kelompok masyarakat
disebut Dukun. Dukun sebagai pimpinanAgama sekaligus sebagai Kepala Adat,
bertugas dan bertanggung jawab memimpin upacara-upacara adat. Dalam menunaikan tugasnya,
Dukun dibantu oleh beberapa orang petugas yaitu:
Ø
Wong
Sepuh, bertugas sebagai pembantu dalam menyiapkan sesaji upacara-upacara
kematian.
Ø
Legen,
bertugas membantu Penobatan Tamu Kehormatan mempersiapkan peralatan dan sesaji
pada upacara perkawinan.
Ø
Dukun
Sunat, bertugas melaksanakan khitanan anak laki-laki menjelang umur remaja.
Khitan bagi anak laki-laki Tengger berbeda dengan khitan dalam Agama Islam.
Khitan anak laki-laki Tengger hanya sekedar memotong sedik kulit ujung penis.
Ø
Dukun
Bayi, bertugas menolong ibu yang akan melahirkan.
Memperhatikan
betapa pentingnya peran dukun bagi Masyarakat Tengger, maka ditetapkan setiap
desa dikepalai seorang Dukun. Dukun dipilih oleh warga dengan persyaratan
tertentu, yaitu :
Ø
Laki-laki
sudah menikah
Ø
Keturunan
Dukun / titisan darah
Ø
Dapat
menguasai semua mantera / adat istiadat.
Ujian
calon Dukun dilakukan di Poten tempat upacara adat dan dilaksanakan bertepatan
dengan Yadnya Kasada.
Orang Tengger kaya akan upacara adat
tetapi hampir tidak memiliki produk
kesenian. Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan di wilayah
Tengger adalah sebagai berikut.
1.
Upacara
Kasada.
Perayaan Kasada atau hari raya
Kasada atau Kasodoan yang sekarang disebut Yadnya Kasada, adalah hari raya
kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16, bulan
Kasada, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya di lazuardi
biru. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang Tengger yang
bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara
Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi kurban demi
kesejahteraan ayah, ibu, serta para saudaranya.
Kasodoan merupakan sarana
komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang
menjaga Tengger. Komunikasi itu dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif
tradisi Tengger.Kepergian dukun Tengger ke Bromo bukan hanya untuk berdoa,
melainkan juga untuk minta berkah kepada yang menjaga Gunung Bromo. Permintaan itu ditujukan kepada Sang
Dewa Kusuma yang dikurbankan (dilabuh) di Kawah Bromo. Selain meminta sesuatu,
dukun Tengger juga memberi sesuatu, yaitu melaksanakan amanat Raden Kusuma yang
diucapkan pada masa lalu yang berbunyi sebagai berikut: “Dulurku sing isih urip ana ngalam donya,
ngalam padang, mbesuk aku saben wulan Kasada kirimana barang samubarang
sing ana rupa tuwuh, rupa sandhang
pangan, saanane sandhang pangan sing rika pangan ana ngalam donya, weruh
rasane, apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane rika, ya keturutan
panjaluke rika ya mesti kinabulna.” (“Saudara-saudaraku yang masih hidup di
dunia, di alam terang, kelak setiap bulan Kasada, kirimkan kepadaku hasil
pertanianmu, dan makanan yang kalian makan di dunia, agar aku dapat
merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu pasti kukabulkan”).
2.
Upacara
Karo.
Upacara ini bertujuan untuk kembali
ke Satyayoga, yakni kesucian. Upacara Karo juga merupakan upacara besar. Masyarakat
Tengger mempercayai, pada Hari Raya Karo inilah Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
YME) menciptakan “Karo”, yakni dua manusia berjenis lelaki dan perempuan
sebagai leluhurnya, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger. Upacara Karo dilaksanakan
12 hari. Masyarakat Tengger mengenakan pakaian baru, perabot baru. Makanan dan
minuman melimpah pada hari raya mereka. Antar keluarga saling mengunjungi.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap Sang
Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia.
Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka.
3.
Upacara
Unan-Unan.
Upacara ini diadakan hanya setiap
lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan
terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang
ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar
yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan.
4.
Upacara
Entas-Entas.
Upacara ini dimaksudkan untuk
menyucikan roh orang yang telah
meninggal dunia pada hari ke-1000 agar supaya dapat masuk surga. Biaya upacara
ini sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-besaran
dengan menyembelih kerbau. Sebagian
daging kerbau tersebut dimakan dan sebagian dikurbankan.
5.
Upacara
Pujan Mubeng.
Upacara ini diselenggarakan pada
bulan kesembilan atau Panglong Kesanga, yakni pada hari kesemilan
sesudah bulan purnama. Warga Tengger berkeliling desa bersama dukun mereka
sambil memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa bagian timur
mengelilingi empat penjuru desa. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan
desa dari gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut diakhiri dengan
makan bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal dari sumbangan
warga desa.
6. Upacara Kapat.
Upacara Kapat
jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat,
bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan
terhadap arah mata angin.
7. Upacara Kawulu.
Upacara ini
jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu
sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan
tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
B. MASYARAKAT SUKU BADUY
Masyarakat suku baduy
merupakan masyarakat yang homogen dengan orang-orang sunda yang tidak terdengar
asing lagi oleh telinga masyarakat indonesia, mulai dari businessman sampai tukang sapu jalan, dari mahasiswa sampai anak
SD, di kalangan sosialitas sampai ibu-ibu arisan. Memang tidak semua masyarakat
indonesia mengomsumsi produk-produk impor tersebu, sebab masih ada segelintir
orang yang hanya bertindak sebagai pengamat atau sekedar ingin tahu saja. Dan
suku baduy tebagi menjadi dua yaitu suku baduy luar disebut Suku Urang Panamping dan suku baduy
dalam yang disebut Suku Urang Tantu. Dam mereka memiliki cara hidup masing- masing dan
memiliki pemukiman yang berbeda pula antara suku baduy dalam dan suku baduy
luar.
ADAT ISTIADAT ORANG PEDALAMAN
(BADUY)
Orang
Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah
Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para
peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi
yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara
dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan
yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
WILAYAH
Wilayah
Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan
108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki
pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung,
Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan
bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan
laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan
kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di
bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian
selatan). suhu rata-rata 20°C
ASAL USUL
Menurut
kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul
tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat
mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah,
yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita
rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat
Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad
ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting
dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai
Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan
hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut,
yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum
menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga
dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng
tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,
identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
BAHASA
Bahasa
yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang
Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat,
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan
lisan saja.
RUMAH ADAT DAN ISTIADATKU
Orang-orang
Baduy dalam membangun rumah dari susunan bambu dengan pondasi pasak-pasak kayu.
Rumah –rumah merka berdiri mengikuti kontur tanahnya yang berlobang. Tidak ada
paku, tidak perlu palu, cukup dengan menyambung engsel kayu-kayu dan bambu,
rumah khas orang-orang baduy dalam sudah biasa berdiri dengan kokoh. Sementara
rumah-rumah baduy luar memiliki dua pintu, dan rumah-rumah baduy dalam hanya
memiliki satu pintu. Satu pintu ini melambangkan prinsip orang baduy dalam
hidup berkeluarga. Satu pintu berati hanya boleh satu istri dan satu suami.
Mereka hanya terkait dalam satu hati, satu tujuan, satu adat membangun masa
depan. Orang baduy tidak mengenal kata perselingkuha, poligami, apalagi
perceraian hal-hal yang sudah lumrah pada kehidupan sekarang. Dengan perinsip
satu pintu inilah, keluarga masyarakat baduy mampu menjaga kerukunan rumah
tangganya dari zaman ke zaman.
KEPERCAYAAN
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang
disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang
(animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama
Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya
pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari
orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit
mungkin.
STRUKTUR PEMERINTAHAN
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem
pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya
masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin
oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat,
sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
“puun”. Struktur pemerintahan
MATA PENCAHARIAN
Sebagaimana
yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan
penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan
seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
RITUAL NGASEK DAN BUNYI CALINTUN
Bagi
masyarakat Baduy, berarti bukanlah sekedar penanam padi disawah, namunjuga
dianggap juga sebagai bagian dari tradisi. Masyarakat baduy dalam sangat
menghormati padi, bahkan sejak padi itu masih berupa benih. Menjelang musim
tanam selalu melakukan ritual menanam padi yang mereka sebut Ngasek. Sebelum penanaman, pemimpin adat
akan bertapa dan berpuasa selama tiga hingga sampai tuju hari. Setelah Sang
pemimpin adat selesai berdo’a, benih yang akan ditanam “dihibur” dengan musik
angklung dan nyanyian pantu.
C. MASYARAKAT SAMIN
MASYARAKAT SAMIN
Samin adalah nama seorang tokoh yang
hidup pada zaman colonial belanda (sekitar tahun 1900-an). Nama lengkap tokoh
tersebut adalah Kyai
Samin Surosentiko. Menetap di desa bapangan kecamatan menden kabupaten Blora
jawa tengah. Sebutan “kyai”
dalam
konteks kultur jawa menunjuk pada posisi special, biasanya menunjuk pada
kekuatan supranatural. Labeling “kyai”
tidak hanya untuk sebutan manusia tetapi bisa juga digunakan pada benda, hewan,
dan tumbuhan. Sebagai contoh: tombak pusaka keraton solo disebut sebagi kyai Plered, kerbau
keraton
dinamakan kyai
Slamet, pohon besar nan rimbun yang tumbuh di tepi sungai, disebut sebagai kyai Danyang, sedangkan
orang yang dituakan dalam masyarakat jawa juga biasa dipanggil dengan sebutan
“kyai”.
Perkembangan
selanjutnga, kyai
Samin
membakukan
perilaku dan gaya hidupnya menjadi suatu ajaran sehingga terlembagakan menjadi
saminisme yang memanelkan
pada perilaku yang kemudian menjadi ajaran yang terinstitusionalisasi, kemudian
berkembang menjadi sikap kebatinan. Dalam perkembangan saminisme terbagi
menjadi dua golongan , yang satu disebut sebagia samin peniten (sikap), artinya
masyarakat samin yang berperilaku dan gaya niteni (memperhatikan terhadap milik
sendiri). Sebagai contoh: si A dikenai pajak Rp.250,-untuk pekarangan rumah dan
isinya. Tetapi si A tidak mau membayar karena merasa tanah pekarangan dan
seluruh isinya tersebut adalah milik pribadi sehingga tidak perlu membayar
pajak. Sedangkan golongan yang kedua adalah sebagai samin sangkak, yaitu
masyarakat samin yang gaya hidup dan ajarannya memakai logika yang berdasarkan
pada perspektif mereka sendiri. Misalnya si B ditanya; anaknya berapa? Maka
akan dijawab: anaknnya dua (padahal jumlah anaknya lima). Kalau ditanya: kok
cuma
dua? Maka akan dijawab: iya dua, laki-laki dan perempuan.
Asal ajaran Saminisme
Ajaran
Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda
yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud
penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat
terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang
menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Tokoh perintis ajaran Samin
Tulisan ini
merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba disuguhkan
untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam. Dalam tulisan
ini akan diuraikan tentang masyarakat samin meliputi; ide terbentuknya
masyarakat samin, tiga unsur gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber
ajaran Samin, daerah persebaran ajaran Samin, sebab perlawaan orang Samin, pandangan
orang Samin terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin saat ini,
bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, rites perkawinan orang Samin,
pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya, perkembangan
kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.
Tulisam ini diharapkan
menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena sampai saat ini masih
kentalnya pengetahuan masyarakat akan Orang Samin tidak beda dengan masyarakat
yang terbelakang, terisolir dan anti kemajuan. Karena penulis khawatir dari
kesekian kalinya kekerasan pada pemeluk aliran kepercayaan sering
dipertontontan, dan sangat mungkin terjadi pada pada entitas masyarakat
samin.Tulisan ini merujuk dari berbagai sumber, termasuk buah tangan
Sastroatmodjo (2003), film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran, dan hasil
diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di
Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes.Otak intelektual
gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin
ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati
Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki
kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan
viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah
(demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul
melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara,
dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan
mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo
melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir
miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang
dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan
bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang
berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika
Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai
pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya
melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan
pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani
rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi
dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan
substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam
kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu
berpegangan akan budi pekerti.
SYSTEM BAHASA
MASYRAKAT SAMIN
Masyrakat
samin secara umum menggunakan bahasa jawa sebagai media bahasa antar warga.
Bahasa jawa memiliki banyak tingkatan yang penggunaannya disesuaikan dengan
konteks dan posisi/derajat antar komunikator dan komunikan. Tingkatan dalam
bahasa jawa terdiri dari: bahasa kedaton, Krama inggil, Mudha krama, krama andhap, krama Ndesa, Ngoko
andhap, dan Ngoko. Krama
inggil digunakan oleh orang derajatnya lebih rendah kepada orang yang
kedudukannya lebih tinggi, bahasa kedaton digunakan untuk kalangan bangsawan di
lingkungan kedaton, Mudha karma dipakai untuk golongan priyai, dimana diantara
mereka setara derajatnaya, tetapi belum akrab. Kromo Andhap digunakan oleh
Priyai kepada orang yang derajatnya lebih rendah tetapi orang tersebut memiliki
martabat yang lebih ringgi. Ngoko Andhap digunakan oleh Priyai (golongan terhormat) yang
mempercayai derajat sama. Ngoko digunakan oleh mereka yang mempunyai kesamaan
derajad pada lingkungan pedesaan. Pengetahuan yang mempelajari tentang
bahsa dantingkatan-tingkatan bahasa
disebut paramasastra. Orang samin kebanyakan mempergunakan bahasa Ngoko dalam
percakapan diantara mereka. Hal ini mencerminkan kesamaan derajat yang kental.
Ketika berinteraksi dengan orang yang diluar lingkungan, mereka baru
menggunakan bahasa di luar
Ngoko tergantung siapa yang dihadapi.
abdullah masmun, j. s. (2003). Agama Tradisional:
potret kearifan masyarakat samin dan tengger. Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta.
Lahansari. (2011, mei). Masyarakat Baduy: sebuah cermin
keanggunan nilai tradisional di tengah era globalisasi. paramita media
informasi dan ekspresi kreatifitas , pp. 21-24.
Munfangati, T. (2004). Kearifan lokal masyarakat samin
kabupaten blora. Yogyakarta: Jarahnitra.
Rosmana, E. (2008, Maret 21). Suku baduy dipedalaman
banten. Retrieved Maret 28, 2012, from Indotoplist.om: http://info.indotoplist.com
Savitri, A. (2010). Sejarah agama dan tradisi suku
tengger gunung bromo.
Syharto, A. Sekilas Tentang Masyarakat Tengger .