Namo tassa bhagavato arahato sammᾱsambuddhassa.
Pᾱnimhi ce vano nᾱ’ssa
Hareyya pᾱṇinᾱ visaṁ
Nᾱbbanaṁ visamanveti
Natthi pᾱpaṁ akubbato.
Apabila seseorang tidak mempunyai
luka ditelapak tangannya,
Ia dapat memegang mangkok yang
berisi racun,
Oleh karena racun tidak akan
masuk ke dalam tubuhnya.
Seseorang yang tidak melakukan
perbuatan jahat,
Tidak kuatir akan akibat dari
perbuatan jahatnya.
(Dhammapada Pᾱpa Vagga; 9)
“Para Bhikkhu ada empat kekotoran
bagi matahari dan rembulan, karena dikotori olehnya, matahari dan rembulan
tidak bersinar, menyala, dan memancarkan sinarnya. Apakah yang empat itu?
Awan adalah kekotoran
bagi matahari dan rembulan, karena dikotori olehnya, matahari dan rembulan
tidak bersinar, menyala, dan memancarkan sinarnya, inilah dikatakan kekotoran
yang pertama.
Salju adalah
kekotoran bagi matahari dan rembulan, karena dikotori olehnya, matahari dan
rembulan tidak bersinar, menyala, dan memancarkan sinarnya, inilah dikatakan
kekotoran yang kedua.
Asap & Debu
adalah kekotoran bagi matahari dan rembulan, karena dikotori olehnya, matahari
dan rembulan tidak bersinar, menyala, dan memancarkan sinarnya, inilah
dikatakan kekotoran yang ketiga.
Rᾱhu raja para asura[1]
adalah kekotoran bagi matahari dan rembulan, karena dikotori olehnya, matahari
dan rembulan tidak bersinar, menyala, dan memancarkan sinarnya, inilah
dikatakan kekotoran yang keempat.
Inilah keempat kekotoran bagi
matahari dan rembulan. Karena dikotori olehnya, matahari dan rembulan tidak
bersinar, menyala, dan memancarkan sinarnya.
Demikian
pula para Bhikkhu, ada empat kekotoran bagi para petapa dan brahmana. Karena
dikotori olehnya, petapa dan brahmana tidak bersinar, menyala, dan memancarkan
sinarnya. Apakah yang empat itu?
Para
Bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang minum anggur dan minuman keras,
yang tidak menjauhkan diri dari hal tersebut, maka inilah disebut kekotoran
batin yang pertama, yang menyebabkan beberapa petapa dan brahmana
tidak bersinar, menyala, dan memancarkan sinarnya.
Ø
Di
dalam Vinaya Pitaka di jelaskan “Seorang
Bhikkhu tidak boleh minum-minuman yang disuling atau diragi
(Sura-meraya-majja), kecuali dalam jumlah yang sedikit untuk keperluan
pengobatan.”
Kemudian
ada beberapa petapa dan brahmana yang memanjakan diri dalam hubungan seksual, yang
tidak menjauhkan diri dari hal tersebut, maka inilah disebut kekotoran batin yang
kedua,
yang menyebabkan beberapa petapa dan brahmana tidak bersinar, menyala, dan
memancarkan sinarnya. Ada beberapa sumber untuk menguatkan penjelasan yang
terkait dengan kekotoran batin kedua, yaitu:
Ø
Di
dalam Anguttara Nikaya VII; Sattaka Sutta, yang membahas tentang tujuh belenggu
seksualitas, yaitu dimana kotbah ini diberikan oleh Buddha kepada seorang
Brahmana yang bernama Janussoni, Buddha menjelaskan isi kotbah ini yang berisi
tentang pelanggaran, perobekan, penodaan, serta cacat dalam kehidupan suci yang
selibat.
Tujuh belenggu Seksualitas itu
adalah sebagai berikut:
1.
Pernyataan
hidup selibat tidak melakukan hubungan seks, akan tetapi berserah diri untuk
diminyaki, diurut/ dipijat, dilulur, dimandikan oleh seorang wanita, serta ia
merindukan, bergembira, berpuas hati setelah melakukan hal itu, maka ia telah
melakukan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dalam kehidupan suci sebagai
Samana. Dan Buddha menyatakan bahwa Samana semacam ini tidak akan terbebas dari
kelahiran usia tua, sakit, kematian, ratap tangis, kesedihan, kepedihan,
ketidakpuasan, derita, penyesalan, kesengsaraan!
2.
Pernyataan
hidup selibat tidak melakukan hubungan seks, juga tidak berserah diri untuk
diminyaki, diurut/ dipijat, dilulur, dimandikan oleh seorang wanita, akan
tetapi dia bergelak tawa, bermain, bersenda gurau dengan seorang wanita, serta
ia merindukan, bergembira, berpuas hati setelah melakukan hal itu, maka ia
telah melakukan pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dalam kehidupan suci
sebagai Samana.
3.
Pernyataan
hidup selibat tidak melakukan hubungan seks, tidak berserah diri untuk
diminyaki, diurut/ dipijat, dilulur, dimandikan oleh seorang wanita, juga dia
tidak bergelak tawa, bermain, bersenda gurau dengan seorang wanita, akan tetapi
dia memandangi seorang wanita dengan kontak matanya, serta ia merindukan,
bergembira, berpuas hati setelah melakukan hal itu, maka ia telah melakukan
pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dalam kehidupan suci sebagai Samana.
4.
Pernyataan
hidup selibat tidak melakukan hubungan seks, tidak berserah diri untuk
diminyaki, diurut/ dipijat, dilulur, dimandikan oleh seorang wanita, juga dia
tidak bergelak tawa, bermain, bersenda gurau dengan seorang wanita, juga tidak
memandangi seorang wanita dengan kontak matanya akan tetapi meloncat pagar utuk
mendengar suara wanita dibalik dinding yang sedang berbicara, bersendagurau,
menagis, tertawa, menyanyi, serta ia merindukan, bergembira, berpuas hati
setelah melakukan hal itu, maka ia telah melakukan pelanggaran, perobekan, noda
dan cacat dalam kehidupan suci sebagai Samana.
5.
Pernyataan
hidup selibat tidak melakukan hubungan seks, tidak berserah diri untuk
diminyaki, diurut/ dipijat, dilulur, dimandikan oleh seorang wanita, juga dia
tidak bergelak tawa, bermain, bersenda gurau dengan seorang wanita, juga tidak
memandangi seorang wanita dengan kontak matanya, juga tidak meloncat pagar utuk
mendengar suara wanita dibalik dinding yang sedang berbicara, bersendagurau,
menagis, tertawa, menyanyi, akan tetapi dia terus mengingat gelak tawa,
bermain, canda tawa, percakapan dengan seorang wanita, serta ia merindukan,
bergembira, berpuas hati setelah melakukan hal itu, maka ia telah melakukan
pelanggaran, perobekan, noda dan cacat dalam kehidupan suci sebagai Samana.
6.
Pernyataan
hidup selibat tidak melakukan hubungan seks, tidak berserah diri untuk
diminyaki, diurut/ dipijat, dilulur, dimandikan oleh seorang wanita, juga dia
tidak bergelak tawa, bermain, bersenda gurau dengan seorang wanita, juga tidak
memandangi seorang wanita dengan kontak matanya, juga tidak meloncat pagar utuk
mendengar suara wanita dibalik dinding yang sedang berbicara, bersendagurau,
menagis, tertawa, menyanyi, tidak mengingat gelak tawa, bermain, canda tawa,
percakapan dengan seorang wanita, akan tetapi terus memandangi perumah tangga
atau putra perumah tangga yang sedang bersenang-senang karena memiliki dan
dilengkapi lima tali kesenangan indria, serta ia merindukan, bergembira,
berpuas hati setelah melakukan hal itu, maka ia telah melakukan pelanggaran,
perobekan, noda dan cacat dalam kehidupan suci sebagai Samana.
7.
Menjalani
aspriasi kehidupan sebagai Samana ingin terlahir dialam dewa, serta
berkeinginan menjadi dewa yang besar, dewa yang kuat, dll. Dengan berfikir
bahwa dengan cara menjalankan sila, tekad yang kuat, hidup yang keras dalam
latihan, mampu mengapai hal itu. serta ia merindukan, bergembira, berpuas hati
setelah melakukan hal itu, maka ia telah melakukan pelanggaran, perobekan, noda
dan cacat dalam kehidupan suci sebagai Samana.
Ø
Di
dalam Vinaya Pitaka dijelaskan dengan berlandaskan empat Parajika dan Parajika
ke-1 menandaskan kepada Bhikkhu, bahwa: “
Apabila seorang Bhikkhu yang telah menerima Upasampada Bhikkhu dan menjalankan
kehidupan sebagai seorang Bhikkhu, serta tidak menyatakan ketidak sanggupannya
dalam menjalani kebhikkhuannya, melakukan hubungan kelamin sekalipun dengan
binatang betina, maka Bhikkhu itu telah terkalahkan dan tidak boleh lagi
berada dalam Saṅgha.”
Ø
Di
dalam Vinaya Pitaka dijelaskan:
1.
Apabila
seorang Bhikkhu duduk bersama seorang wanita berdua saja ditempat yang tertutup
sedemikian rupa sehingga seorang upasika yang dipercaya kata-katanya yang
meilhat mereka mengatakan bahwa bhikkhu itu melakukan pelanggaran Parajika atau
Sanghadisesa atau Pacittiya, maka Bhikkhu itu harus diperiksa sesuai dengan apa
yang dikatakan oleh Upasika itu, ini dikatakan pelanggaran peraturan aniyata.
2.
Apabila
seorang Bhikkhu duduk bersama seorang wanita berdua saja ditempat yang tidak
terdengar pembicaraannya oleh orang lain sedemikian rupa sehingga seorang
upasika yang dipercaya kata-katanya yang meilhat mereka mengatakan bahwa
bhikkhu itu melakukan pelanggaran Sanghadisesa atau Pacittiya, maka Bhikkhu itu
harus diperiksa sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Upasika itu, ini
dikatakan pelanggaran peraturan aniyata.
Ø Di dalam Maha Parinibbana Sutta
dijelaskan:
“
Jangan melihat kepada seorang wanita,
Kalau
juga mesti, maka jangan berbicara dengannya,
Kalau
juga mesti, maka berbicara tentang Dhamma dan Sila dan sebutlah sang Buddha
dengan segala kekuatan batinmu.”
Kemudian
ada beberapa petapa dan brahmana yang menerima emas dan perak, yang tidak
menjauhkan diri dari hal-hal tersebut, maka inilah disebut kekotoran batin yang
ketiga,
yang menyebabkan beberapa petapa dan brahmana tidak bersinar, menyala, dan
memancarkan sinarnya.
Ø
Di
dalam Sᾱrᾱnῑya Dhamma Sutta, bait ke-4, dijelaskan yang berkaitan dengan
pengertian di atas, yaitu: “ Duhai para Bhikkhu, di Ajaran ini, seorang Bhikkhu
berbagi Catupaccaya yang diterima, sebagai sesuatu yang pantas, yang diperoleh
dengan cara yang pantas dan menggunakan bersama Brahmacari pelaksana Sila. Ini
yang membuat yang saling dikenang, dicintai, saling dihormati, menunjang untuk
saling dikenang, dicintai, saling dihormati, menunjang untuk saling ditolong,
untuk ketiadacekcokan, kerukunan dan kesatuan.
(sehingga perlu diketahui
Catupaccaya bukanlah dikatakan suatu pelanggaran, dikarenakan Catupaccaya
adalah suatu bentuk dana yang dipersembahkan guna memenuhi kebutuhan bagi para
Samana, dan biasanya Catupaccaya diterima oleh kapiya (pendamping Bhikkhu/
Samanera).
Ø
Di
dalam Vinaya Pitaka dijelaskan: “Bhikkhu
tidak boleh menumpuk kekayaan emas dan perak apabila melanggar maka akan masuk
dalam pelanggaran Nissagiya Pacittiya ke-18, atau terlibat dan perdagangan atau
jual beli, maka masuk dalam pelanggaran Nissagiya Pacittiya ke-20.
Kemudian ada beberapa
petapa dan brahmana yang mencari nafkah dengan cara yang salah, yang tidak
menjauhkan diri dari hal tersebut , maka inilah disebut kekotoran batin yang keempat,
yang menyebabkan beberapa petapa dan brahmana tidak bersinar, menyala, dan
memancarkan sinarnya.
Ø
Di
dalam Brahmajala Sutta, dijelaskan tentang 62 pandangan salah bagi para petapa
dan brahmana, yaitu:
Seorang Petapa menjalankan
pekerjaan untuk mencari nafkah dengan cara meramal, melihat garis tangan,
melihat raut kening, melihat alis mata, melihat hari baik, menentukan hari
baik, meramal usia seseorang, membuat jimat, membaca mantra dengan mulut
komat-kamit, meramal bintang, peredaran ruang angkasa, mengkur tombak, pedang,
terlibat dalam urusan perjodohan, dll.
Buddha dengan tegas menyatakan
bahwa pekerjaan ini adalah pekerjaan yang rendah bagi seorang Samana dan Sang
Buddha meninggalkan pekerjaan semacam ini, tentu sebagai siswa Buddha tidak
melakukan hal ini dan mengikuti jejak dari Guru Buddha.
Ø
Di
dalam Vinaya Pitaka, dijelaskan:
1.
Apabila
seorang bhikkhu yang mengatakan atau menceritakan kepada umat awam tentang
kemampuan gaib yang dimiliknya, maka ia melanggar peraturan Pacittiya ke -8.
2.
Apabila
seorang Bhikkhu yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa menyatakan bahwa ia
memiliki kesaktian/ kesucian yang sebenarnya tidak ia miliki. Setelah di
periksa ternyata tidak, dan dia terjatuh dalam kesalahan dan ingin membersihkan
diri, maka Bhikkhu itu terkalahkan dan tidak boleh berada dalam Saṅgha.
Inilah hal yang dikatakan empat
kekotoran bagi petapa dan brahmana dan yang membuat mereka tidak bersinar,
menyala dan memancarkan sinarnya.
Refrensi:
1.
Nyanaponika
Thera dan Bhikkhu Bodhi. Petikan Aṅguttara
Nikᾱya 2- (Kitab Suci Agama Buddha). Klaten: Vihara Bodhivaṁsa dan Wisma
Dhammaguna, edisi pertama, cetakan kedua: Waisak 2547, Juni 2003.
2.
Dr.
R. Surya Widya, pandita Sasanadhaja. DHAMMAPADA.
Jakarta: Yayasan Dhammadῑpa Ᾱramᾱ, edisi keempat, Vesakha Puja 2548/2004 AD.
3.
Bhikkhu
Sri Subalaratano Mahathera, dkk. Pengantar
Vinaya. Jakarta: GRAHA METTA SEJAHTERA. 2002.
4.
Cunda
Jugiarta Supandi. Tata Bahasa Pᾱḷi.
Vidyᾱvardhana Samuha (Grup Pengembangan Pengetahuan). 2010.
5.
Yayasan
Saṅgha Theravᾱda Indonesia. Kumpulan Wacana Pᾱli untuk Upacara dan Puja.
Jakarta Utara. Yayasan Saṅgha Theravᾱda Indonesia. 2009.
[1] Asura adalah makhluk raksasa yang dikatakan
tinggal di daearah surga Tᾱvatiṁsa; mereka senantiasa konflik
dengan para dewa (lihat SN 11: 1-6; 35; 207). Mereka juga begembira di lautan,
lihat Teks 157. Rᾱhu adalah
raja asura yang tinggal di langit, yang secara berkala menculik rembulan dan
matahari (lihat SN 2:9, 10). Mitos ini menunjukkan interpretasi India kuno
tentang gerhana matahari dan rembulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar