Oleh: Samanera Herman Vimalaseno
Pada masa Pra Buddha ada tiga golongan besar dalam teori
Kauasalitas, dalam kausalitas sendiri memiliki penjelasan yang pertama adalah
faktor yang menyebabkan terjadinya sesuatu berasal dari dalam diri menurut kaum
Subtansialis, sedangkan pandangan kedua adalah tentang faktor yang menyebabkan
adalah dari luar diri menurut kaum Naturalis, dan yan terakhir adalah faktor
yang menyababkan terjadinya adalah dua sebab baik dari dalam diri dan dari luar
diri hal ini dipegang oleh kaum Jaina.
Kaum Substansialis berpendapat bahwa segala faktor
berasal dari dalam diri, umumnya orang berpendapat bahwa kita memiliki jiwa,
roh, nyawa,ego, aku atau atma sebagai sesuatu inti yang kekal, tetap dan
absolut yang merupakan substansi yang tidak berubah-ubah, di balik “dunia yang
terlihat ini” yang senantiasa dalam keadaan bergerak dan berubah.
Dalam sejarah umat Buddha, ajaran Buddhalah yang
menentang adanya roh, aku atau atma yang kekal dan abadi. Didalam pandangan
ajaran Buddha sendiri bahwa dengan adanya ide tentang roh, aku atau atma adalah
khayalan belaka. Ide ini menciptakan pikiran yang sangat merugikan, yaitu
tentang adanya aku, milikku, serta adanya keinginan yang mementingkan diri
sendiri, kebencian, pikiran yang jahat, persilisihan hingga peperangan antar
negara dapat terjadi, semua ini dapat disimpulkan adalah dengan adanya ide ini
maka kejahatan dapat dicari melalui sumbernya yaitu pandangan salah ini.
Secara Psikologis ada dua macam pandangan berakar kuat
dalam setiap diri manusia, yaitu:
1.
Pandangan tentang
perlindungan diri (Self-Protection).
2.
Pandangan tentang
kelangsungan diri (Self- Preservation).
Selanjutnya adalah pandangan tentang faktor penyebab
adalah dari luar diri yang
dipengang oleh kaum Naturalis. Untuk melindungi dirinya,
manusia lalu menciptakan kekuatan luar, kepadanya dia bergantung untuk mencari
perlindungan, keselamatan, dan keamanan, seperti halnya seorang anak kecil yang
bergantung dan mencari perlindungan kepada orang tuanya.
Untuk
kelangsungan diri, manusia menggambarkan dalam pikirannya satu ide tentang adanya
roh, jiwa, nyawa, atau atma yang dapat hidup kekal abadi. Manusia memerlukan
dua hal tersebut karena dengan hal tersebut dia akan merasa terhibur terus dan
ia akan memegang hal itu erat-erat dan tidak merasakan rasa takut lagi dalam
dirinya.
Dalam pandangan kaum jainah yang berusaha menyatukan
kedua pandangan itupun di tentang dalam ajaran Buddha, yang dimana dijelaskan
bahwa, Agama Buddha tidak menyokong kedua pandangan itu dan bertujuan untuk
menolong manusia mencapai Kesadaran Agung dan Buddha benar-benar mengaskan
bahwa ajaran beliau melawan arus dan bertentangan dengan keinginan yang
mementingkan diri sendiri dari seorang manusia.
Didalam ajaran Buddha dijelaskan pada penjelasan Kata
‘Paticcasamuppāda’ mempunyai arti : PATICCA, berarti : Tinggal atau menempati SAM, berarti
: Siap UPPĀDA, berarti : Timbul. Paticcasamuppāda,
berarti : Keadaan
yang menempati dan siap untuk timbul. Kata “Paticcasamuppada” mempunyai makna
Hukum Originasi tergantung /Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan atau timbul
karena kondisi-kondisi yang saling bergantungan. Paticcasamuppada ini
adalah untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya, dimana
tidak ada sesuatu itu timbul tanpa sebab. Bila kita mempelajari Hukum
Paticcasamuppada ini dengan sungguh-sungguh, kita akan terbebas dan pandangan
salah dan dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya.
Apabila dikaitkan
dalam Hukum Paticcasamuppada yang berbunyi:
"Imasmim sati idam
hoti;
imasuppāda idam
uppajjāti
Imasmim
asati idam na hoti;
imassa nirodhā imam
nirujjhati"
Artinya
:
Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini,
timbullah itu. Dengan
tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu. Dengan memahami
seluruh fenomena kehidupan
ini, agama Buddha memandangnya
sebagai suatu lingkaran dari kehidupan yang tak dapat diketahui permulaan dan
akhirnya. Dengan
demikian masalah Sebab Pertama (causa prima) bukan menjadi masalah dalam
filsafat agama Buddha.
Proses kemunculan yang saling bergantungan (Anuloma):
1.
Avijja,
mengkondisikan sańkhara
2.
Sańkhara,
mengkondisikan viññana
3.
Viññana,
mengkondisikan nāma-rūpa
4.
Nāma-rūpa,
mengkondisikan salāyatana
5.
Salāyatana,
mengkondisikan phassa
6.
Phassa,
mengkondisikan vedanā
7.
Vedanā,
mengkondisikan taņhā
8. Taņhā, mengkondisikan upādanā
9. Upādanā, mengkondisikan bhāva
10.
Bhāva, mengkondisikan jāti
11.
Jāti, mengkondisikan jarā-marana
12.
Jarā-marana
Proses
kepadaman yang saling bergantung (Patiloma):
·
Dengan
padamnya avijja maka padam-lah sańkhara
·
Dengan
padamnya sańkhara maka padam-lah viññana
·
Dengan
padamnya viññana maka padam-lah nāma-rūpa
·
Dengan
padamnya nāma-rūpa maka padam-lah saļāyatana
·
Dengan
padamnya saļāyatana maka padam-lah phassa
·
Dengan
padamnya phassa maka padam-lah vedanā
·
Dengan
padamnya vedanā maka padam-lah taņhā
·
Dengan
padamnya taņhā maka padam-lah upādanā
·
Dengan
padamnya upādanā maka padam-lah bhāva
·
Dengan
padamnya bhāva maka padam-lah jāti
·
Dengan
padamnya jāti maka padam-lah jarā-marana
Segala sebab yang terjadi bukan dikarenakan oleh satu
sebab melainkan dari berbagai sebab, mungkin saya akan memberikan suatu contoh
perumpamaan:
Proses terjadinya hujan. Hujan terjadi dengan
menguapnya air laut atau air danau. Uap air ini naik ke angkasa, di angkasa uap
air menjadi awan dan terbawa oleh angin. Awan tertahan oleh gunung atau diam
diangkasa karena pendiginan dan tak ada angin. Karena pendiginan, awa yang
berisi uap air membentuk titik-titik air. Titik-titik air hujan jatuh ke bumi
ini disebut hujan. Air hujan mengalir ke dataran yang rendah membentuk aliran
air dalam got atau kali kecil menuju sungai. Aliran air sungai menuju danau
atau laut. Selanjutnya karena terik matahari air laut atau air danau menguap.
Demikian selanjutnya, proses terjadinya hujan tetap berlangsung, tanpa henti.
Demikianlah maka penjelasan yang paling ilmiah dan
berdasarkan akal pikiran mengenai sesuatu peristiwa hanya mungkin diberikan
berdasarkan Hukum Paticcasamuppada.
Banyak contoh yang ada di sekitar kita yang
berproses terus tanpa hentinya. Proses terjadi, lalu hal yang terjadi terurai.
Hal yang telah terurai berproses menjadi lagi dan seterusnya.
Daftar Pustaka
Maha
Thera Narada.(2006). Sang Buddha
dan Ajaran-ajaran-Nya. Majalah Dhammacakka, no.43/XII/. Jakarta.
K.
D. Buddhima Hansinie Subasinghe.(2008). Hukum
originasi tergantung. Artikel
Pelajaran Agama Buddha.
Maha Thera Dhammavuddho.(2008). Asal Usul Yang Saling Bergantungan.Patria Sumatra Utara. Medan
Felita
Nursatama Lestari.( 2003). Buku Pelajaran
Agama Buddha Sekolah Menegah Tingkat Atas Kelas III. ”, C.V. Felita Nursatama Lestari.Jakarta.
Mulyadi Wahyono, S.H.,.(
1994/1995.). Modul Materi Pokok-Pokok
Dasar Agama Buddha II.,. “Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu
dan Buddha Dan Universitas Terbuka. Jakarta.
Bagus samanera postingnya,,, kunjungi blo saya juga ya
BalasHapusensiklopedia-buddhadhamma.blogspot.com