Tradisi ini berasal dari tradisi kerajaan di zaman dulu. Ceng Beng (baca :
Qing Ming = cerah dan cemerlang) dipilih karena 15 hari setelah Chunhun,
biasanya dipercayai merupakan hari yang baik, cerah, terkadang diiringi hujan
gerimis dan cocok untuk melaksanakan ziarah makam. Sebelum zaman Dinasti Qin,
ziarah makam hanya monopoli dan hak para bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang
mempersatukan Tiongkok dan mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil kemudian
meniru tradisi ziarah makam ini setiap Ceng Beng.
Sebuah legenda asal mula Ceng Beng menceritakan tentang kaum Cina yang memang punya tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur (sebutannya “kia hao” atau “filial piety”, alias “rasa hormat anak pada orang tua/leluhurnya”) . Makanya di rumah-rumah Cina banyak ditemukan rumah abu atau meja sembahyang leluhur. Karena itulah, nyekar juga menjadi satu kegiatan wajib.
Legenda 1
Hari *Ceng Beng* bermuasal dari zaman *Chun Qiu Zhan Guo *(Musim semi-gugur dan negara saling berperang, abad 11-3 SM), adalah salah satu hari perayaan tradisional suku Han (suku mayoritas di Tiongkok), sebagai salah satu dari 24 *Jie Qi *(sistem kalender Tiongkok), waktunya jatuh antara sebelum dan sesudah 5 April Masehi.
Sesudah hari *Ceng Beng*, di Tiongkok semakin banyak hujan, bumi dipenuhi dengan panorama kecemerlangan musim semi. Pada saat itu semua makhluk hidup "melepaskan yang lama dan memperoleh yang baru", tak peduli apakah itu tanaman di dalam bumi raya, atau tubuh manusia yang hidup berdampingan secara alamiah, semuanya pada saat itu menukar pencemaran yang diperoleh pada musim dingin/salju untuk menyambut suasana musim semi dan merealisasi perubahan dari *Yin *(unsur negatif) ke *Yang* (unsur positif).
Konon, sesudah Yu agung (Âçã», raja pada zaman Tiongkok kuno, abad ke-22 SM) menaklukkan sungai, maka orang-orang menggunakan kosa kata *Qing Ming *(di Indonesia terkenal dengan *Ceng Beng*) untuk merayakan bencana air bah yang telah berhasil dijinakkan dan kondisi negara yang aman tenteram.
Pada saat itu musim semi nan hangat bunga bermekaran, seluruh makhluk hidup bangkit, langit cerah bumi cemerlang, adalah musim yang baik untuk berkelana menginjak rerumputan (Ta Qing). Kebiasaan tersebut telah dimulai sejak dinasti Tang (618-907).
Saat *Ta Qing*, orang-orang selain dapat menikmati panorama indah musim semi, juga sering dilangsungkan beraneka kegiatan hiburan untuk menambah gairah kehidupan.
Legenda 2
Konon, jaman dahulu, terutama bagi orang-orang yang berduit dan berharta, nyekar itu tidak hanya diadakan sekali setahun, tapi bisa berkali-kali (dua kali sebulan bahkan). Dan acara ini dibuat penuh dengan kemewahan dan benar-benar mempertontonkan kekayaan. Kaum sanak keluarga ditandu ke sana lalu ke mari, diiringi dayang-dayang dan pengawal yang berjumlah banyak, makanan yang dibawa itu pasti yang enak-enak dan bunga yang disiapkan juga yang mahal dan harum-harum.
Suatu hari, Kaisar Tang Xuanzong melihat semuanya ini seperti pemborosan massal saja. Dia pun menitahkan agar semua membatasi diri dan hanya mengadakan acara nyekar ini sekali setahun. Dan ia menetapkan hari Ceng Beng (limabelas hari setelah Chunhun, atau hari di mana matahari tiba di katulistiwa) sebagai hari baik untuk ini. Selain karena Ceng Beng adalah hari baik (arti kata Ceng Beng, atau Qing Ming, adalah “cerah dan terang”), hari ini dipilih karena banyak petani sudah selesai panen dan punya waktu senggang untuk mengunjungi makam leluhur. Jadilah Ceng Beng bukan hanya kegiatan orang kaya, tapi kegiatan untuk semua orang.
Legenda 3
Kesederhanaan Ceng Beng juga berkaitan erat dengan cerita Kaisar Cong Er dari Dinasti Tang. Seperti kisah Cina kuno lainnya, latar belakangnya adalah kudeta. Pada masa pelarian (karena berselisih dengan selir kejam) ketika masih jadi putra mahkota Cong Er ini ditemani oleh teman (dan bawahan) yang sangat setia, Jie Zhitui namanya. Saking setianya, dia rela untuk mengorbankan dagingnya supaya si pangeran ini bisa makan dan nggak mati kelaparan. Suatu hari, tiba kabar bahwa Cong Er sudah tidak perlu lari lagi, karena ibu tirinya sudah mati. Bersiaplah Cong Er untuk kembali ke istana dan jadi kaisar. Tapi Je Zhitui menolak untuk ikut balik ke istana, dan menyepi ke sebuah gunung bersama Ibunya.
Cong Er yang sudah jadi kaisar itu tetep kukuh meminta temannya balik dan hidup bahagia di istana. tapi Jie Zhitui bukannya balik ke istana malah semakin bersembunyi ke pedalaman gunung. Cong Er yang sudah habis akal menyuruh prajuritnya untuk membakar gunung, dengan maksud supaya Jie Zhitui keluar dari persembunyian. Tetapi, yang terjadi bukannya keluar, malah Jie Zhitui dan Ibunya tewas terbakar.
Sedihlah sang kaisar. Lalu ia mencanangkan Hari Hanshi (Hari Makanan Dingin), satu hari dalam setahun (setiap tahunnya) di mana orang-orang tidak boleh memasak/memanaskan makanan dengan api. Lambat laun Hanshi pun diintegrasikan ke dalam perayaan Ceng Beng, di mana makanan yang disediakan itu dingin dan hambar.
Legenda 4
Cerita legenda yang lain menyebutkan tentang seorang Raja yang sudah bertahun-tahun pergi berperang (jaman perang antar kerajaan di Cina dulu), namun berakhir dengan kekalahan dan menjadi tawanan perang yang tidak terhormat di negeri lawan. Tapi raja ini tidak tinggal diam dan diam-diam mengumpulkan sekutu untuk mempersiapkan serangan balas dendam. Singkat cerita raja ini berhasil melakukan balas dendam dan negaranya pun kembali ke dalam tangannya.
Sewaktu ia kembali ke rumah, dia baru tahu kalau orang tuanya sudah lama meninggal — dibunuh oleh raja musuh. Dan parahnya lagi tidak ada yang tau di mana orang tua sang raja dimakamkan. Sang Raja akhirnya punya akal dan mencanangkan hari kunjungan makam leluhur. Pada hari yang telah ditentukan, semua orang di negaranya harus dan wajib nyekar. Logikanya, makam yang sepi dan nelangsa, pastilah makam orang tuanya. Sejak hari itulah, setiap tahun semua wajib nyekar ke makam leluhur.
Secara Awam, masih banyak yang belum jelas bahwa sebenarnya mengapa Ceng Beng itu selalu jatuh pada 5 April setiap tahunnya, dan bukannya mengikuti penanggalan kalender Imlek. Dalam tradisi Tionghoa, ada 2 penanggalan yang menggunakan penanggalan masehi. Yakni Ceng Beng dan Tang Che/Festival musim dingin.
Kelihatannya, kalender Tionghoa itu kalender bulan, tidak begitu halnya, karena ada faktor peredaran matahari di dalamnya, yaitu 24 posisi matahari. 1 posisi matahari adalah berjangka waktu 15 hari, ada 2 posisi matahari dalam 1 bulan. Posisi ini telah ada sejak zaman Huangdi (2697 SM, 4700 tahun lalu) didasarkan atas 12 cabang bumi yang diciptakan olehnya.
Penanggalan Tionghoa sendiri memperhitungkan peredaran matahari karena Tiongkok sejak dulu adalah negara agrikultur, mayoritas penduduk Tiongkok adalah petani dan petani harus menanam sesuai musim. Musim bergantung pada peredaran matahari, sehingga posisi matahari ditambahkan dalam kalender Tionghoa.
Adapun posisi penting peredaran matahari dalam kelender Tionghoa adalah :
1. Lipchun (mulai musim semi), tanggal 5 Februari
2. Chunhun (tengah musim semi), tanggal 21 Maret (matahari berada di khatulistiwa)
3. Ceng Beng (cerah dan terang), tanggal 5 April
4. Heche (tengah musim panas), tanggal 21 Juni (saat ini matahari berada pada 23.5 LU, siang terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok)
5. Chiuhun (tengah musim gugur), tanggal 23 September (matahari berada di khatulistiwa)
6 Tangche (tengah musim dingin), tanggal 22 Desember (saat ini matahari berada di 23.5 LS, malam terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok).
Dari 24 posisi matahari ini, maka Ceng Beng dan Tangche dijadikan festival penting dalam kebudayaan Tionghoa.
Kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan Ceng Beng
Pada jaman dinasti Tang, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan.
Yang hilang pada saat ini adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan.
Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Ceng Beng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang,kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang.
Konon, ada orang setelah layang-layang berkibar di langit biru, memutus talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke tempat nan jauh, konon ini bisa menghapus penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri sendiri.
Kebiasaan berikutnya adalah menancapkan pohon *Willow*: konon, kebiasaan menancapkan dahan *willow*(pohon Yangliu), juga demi memperingati *Shen Nong Shi*, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan. Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan* willow *di bawah teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Sesuai pameo kuno "Kalau dahan *willow* hijau, hujan rintik-rintik; kalau dahan *willow* kering, cuaca cerah". *Willow* memiliki daya hidup sangat kuat, dahannya cukup ditancapkan langsung hidup, setiap tahun menancapkan dahan willow, dimana-mana rimbun.
Sedangkan sejarah pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu.
Kebiasaan lain adalah bermain ayunan *Qiu Qian *(ðãðè): ini adalah adat kebiasaan hari *Ceng Beng* zaman kuno. Sejarahnya panjang, ayunan pada zaman dulu kebanyakan menggunakan dahan sebagai rangka kemudian ditambatkan selendang atau tali.
Akhir-nya berkembang menjadi 2 utas tali ditambah papan kayu sebagai pijakan kaki yang dipasang pada rangka balok kayu yang hingga kini digemari, terutama oleh anak-anak seluruh dunia.
Selain itu ada kebiasaan bermain *Cu Ju *(sepak bola kuno): *Ju* adalah semacam bola yang terbuat dari kulit, di dalam bola tersebut diisi bulu hingga padat. *Cu Ju *menggunakan kaki untuk menyepak bola (Mirip sepak bola saat ini). Ini adalah semacam permainan yang digemari oleh orang-orang pada saat *Ceng Beng *pada zaman kuno. Konon ditemukan oleh *Huang Di *(kaisar Kuning), pada awalnya bertujuan untuk melatih kebugaran para serdadu.
Ada juga kebiasaan untuk Menanam pohon: sebelum dan sesudah *Ceng Beng*, matahari musim semi menyinari, hujan rintik musim semi betebaran, menanam tunas pohon berpeluang hidup tinggi dan dapat tumbuh dengan cepat. Maka, semenjak zaman kuno, di Tiongkok terdapat kebiasaan menanam pohon di kala *Ceng Beng*. Ada orang menyebut hari *Ceng Beng* sebagai "hari raya penanaman pohon". Kebiasaan ini berlangsung hingga hari ini.
Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini disebut burung walet Zitui. Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming.
Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming,untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyat pun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya. (Dalam kisah ini agak berkaitan dengan Legenda 4 diatas. Namun karena ditemukan pada literatur yang berbeda, penyusun tidak berani mengambil kesimpulan sendiri. Mohon bagi yang lebih paham ceritanya memberikan masukan).
Seperti perayaan lainnya, Ceng Ceng juga memiliki makanan khas seperti makan telur yang kulitnya sudah dilukis, tapi untuk telur yang diukir tidak dimakan. Selain itu ada beberapa yang mungkin tidak pernah ada di Indonesia ini seperti makanan dari daun Ai yang menjadi ciri khas suku Khe, bubur dingin, ciri khas rakyat dibawah kaki gunung Mian, serta Qing tuan adalah makanan khas Qingming dari daerah Suzhou.
Pesan Moral Perayaan Ceng Beng :
Festival Ceng Beng pada akhirnya terkait dengan pilar-pilar budaya Tionghoa yaitu
penghormatan leluhur, makanan, kekerabatan, keselarasan dan harmony, setia, berbakti, dan juga kebersamaan.
Dan hal itu tidak hanya ada pada festival Ceng Beng saja tapi tercermin pada semua festival Tionghoa yang ada.
Dengan menghormati leluhur berarti kita harus menjaga sikap hidup kita agar
tidak mencoreng nama leluhur. Semoga pada perayaan festival Ceng Beng ini kita menyadari bagaimana cara kita menghormati leluhur, caranya sederhana yaitu berikanlah kontribusi positif pada lingkungan kita dan selalulah menjaga perilaku kita agar tidak memalukan para leluhur.
Sumber Penulisan:
1. Berdasarkan cerita turun temurun Masyarakat Tionghoa Indonesia.
2. http://www.hoktekbio.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62:qing-ming-ceng-beng&catid=27:ritual-a-budaya&Itemid=72
3. http://www.wihara.com/forum/artikel-buddhist/6742-cengbeng.html
4. http://www.chinapage.com/festival/qingming.html
5. TRADITIONAL CHINESE CULTURE by Qizhi Zhang.
6. The Legend of the Kite: A Story of China(Make Friends Around the World)by Kuiming Ha, Yiqi Ha. Published by Soundprints
7. http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-41419.html
8. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410
9. Dong Zhou Lie Guo Zhi (東周列國志), Feng, Menglong, 1574-1646, 2008.(pertama terbit 1752, Shanghai shu ju)
10. Buletin Maya Indonesia Dharma Mangala, 9 Maret 2004, tahun I, no 7
11. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410
Sebuah legenda asal mula Ceng Beng menceritakan tentang kaum Cina yang memang punya tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur (sebutannya “kia hao” atau “filial piety”, alias “rasa hormat anak pada orang tua/leluhurnya”) . Makanya di rumah-rumah Cina banyak ditemukan rumah abu atau meja sembahyang leluhur. Karena itulah, nyekar juga menjadi satu kegiatan wajib.
Legenda 1
Hari *Ceng Beng* bermuasal dari zaman *Chun Qiu Zhan Guo *(Musim semi-gugur dan negara saling berperang, abad 11-3 SM), adalah salah satu hari perayaan tradisional suku Han (suku mayoritas di Tiongkok), sebagai salah satu dari 24 *Jie Qi *(sistem kalender Tiongkok), waktunya jatuh antara sebelum dan sesudah 5 April Masehi.
Sesudah hari *Ceng Beng*, di Tiongkok semakin banyak hujan, bumi dipenuhi dengan panorama kecemerlangan musim semi. Pada saat itu semua makhluk hidup "melepaskan yang lama dan memperoleh yang baru", tak peduli apakah itu tanaman di dalam bumi raya, atau tubuh manusia yang hidup berdampingan secara alamiah, semuanya pada saat itu menukar pencemaran yang diperoleh pada musim dingin/salju untuk menyambut suasana musim semi dan merealisasi perubahan dari *Yin *(unsur negatif) ke *Yang* (unsur positif).
Konon, sesudah Yu agung (Âçã», raja pada zaman Tiongkok kuno, abad ke-22 SM) menaklukkan sungai, maka orang-orang menggunakan kosa kata *Qing Ming *(di Indonesia terkenal dengan *Ceng Beng*) untuk merayakan bencana air bah yang telah berhasil dijinakkan dan kondisi negara yang aman tenteram.
Pada saat itu musim semi nan hangat bunga bermekaran, seluruh makhluk hidup bangkit, langit cerah bumi cemerlang, adalah musim yang baik untuk berkelana menginjak rerumputan (Ta Qing). Kebiasaan tersebut telah dimulai sejak dinasti Tang (618-907).
Saat *Ta Qing*, orang-orang selain dapat menikmati panorama indah musim semi, juga sering dilangsungkan beraneka kegiatan hiburan untuk menambah gairah kehidupan.
Legenda 2
Konon, jaman dahulu, terutama bagi orang-orang yang berduit dan berharta, nyekar itu tidak hanya diadakan sekali setahun, tapi bisa berkali-kali (dua kali sebulan bahkan). Dan acara ini dibuat penuh dengan kemewahan dan benar-benar mempertontonkan kekayaan. Kaum sanak keluarga ditandu ke sana lalu ke mari, diiringi dayang-dayang dan pengawal yang berjumlah banyak, makanan yang dibawa itu pasti yang enak-enak dan bunga yang disiapkan juga yang mahal dan harum-harum.
Suatu hari, Kaisar Tang Xuanzong melihat semuanya ini seperti pemborosan massal saja. Dia pun menitahkan agar semua membatasi diri dan hanya mengadakan acara nyekar ini sekali setahun. Dan ia menetapkan hari Ceng Beng (limabelas hari setelah Chunhun, atau hari di mana matahari tiba di katulistiwa) sebagai hari baik untuk ini. Selain karena Ceng Beng adalah hari baik (arti kata Ceng Beng, atau Qing Ming, adalah “cerah dan terang”), hari ini dipilih karena banyak petani sudah selesai panen dan punya waktu senggang untuk mengunjungi makam leluhur. Jadilah Ceng Beng bukan hanya kegiatan orang kaya, tapi kegiatan untuk semua orang.
Legenda 3
Kesederhanaan Ceng Beng juga berkaitan erat dengan cerita Kaisar Cong Er dari Dinasti Tang. Seperti kisah Cina kuno lainnya, latar belakangnya adalah kudeta. Pada masa pelarian (karena berselisih dengan selir kejam) ketika masih jadi putra mahkota Cong Er ini ditemani oleh teman (dan bawahan) yang sangat setia, Jie Zhitui namanya. Saking setianya, dia rela untuk mengorbankan dagingnya supaya si pangeran ini bisa makan dan nggak mati kelaparan. Suatu hari, tiba kabar bahwa Cong Er sudah tidak perlu lari lagi, karena ibu tirinya sudah mati. Bersiaplah Cong Er untuk kembali ke istana dan jadi kaisar. Tapi Je Zhitui menolak untuk ikut balik ke istana, dan menyepi ke sebuah gunung bersama Ibunya.
Cong Er yang sudah jadi kaisar itu tetep kukuh meminta temannya balik dan hidup bahagia di istana. tapi Jie Zhitui bukannya balik ke istana malah semakin bersembunyi ke pedalaman gunung. Cong Er yang sudah habis akal menyuruh prajuritnya untuk membakar gunung, dengan maksud supaya Jie Zhitui keluar dari persembunyian. Tetapi, yang terjadi bukannya keluar, malah Jie Zhitui dan Ibunya tewas terbakar.
Sedihlah sang kaisar. Lalu ia mencanangkan Hari Hanshi (Hari Makanan Dingin), satu hari dalam setahun (setiap tahunnya) di mana orang-orang tidak boleh memasak/memanaskan makanan dengan api. Lambat laun Hanshi pun diintegrasikan ke dalam perayaan Ceng Beng, di mana makanan yang disediakan itu dingin dan hambar.
Legenda 4
Cerita legenda yang lain menyebutkan tentang seorang Raja yang sudah bertahun-tahun pergi berperang (jaman perang antar kerajaan di Cina dulu), namun berakhir dengan kekalahan dan menjadi tawanan perang yang tidak terhormat di negeri lawan. Tapi raja ini tidak tinggal diam dan diam-diam mengumpulkan sekutu untuk mempersiapkan serangan balas dendam. Singkat cerita raja ini berhasil melakukan balas dendam dan negaranya pun kembali ke dalam tangannya.
Sewaktu ia kembali ke rumah, dia baru tahu kalau orang tuanya sudah lama meninggal — dibunuh oleh raja musuh. Dan parahnya lagi tidak ada yang tau di mana orang tua sang raja dimakamkan. Sang Raja akhirnya punya akal dan mencanangkan hari kunjungan makam leluhur. Pada hari yang telah ditentukan, semua orang di negaranya harus dan wajib nyekar. Logikanya, makam yang sepi dan nelangsa, pastilah makam orang tuanya. Sejak hari itulah, setiap tahun semua wajib nyekar ke makam leluhur.
Secara Awam, masih banyak yang belum jelas bahwa sebenarnya mengapa Ceng Beng itu selalu jatuh pada 5 April setiap tahunnya, dan bukannya mengikuti penanggalan kalender Imlek. Dalam tradisi Tionghoa, ada 2 penanggalan yang menggunakan penanggalan masehi. Yakni Ceng Beng dan Tang Che/Festival musim dingin.
Kelihatannya, kalender Tionghoa itu kalender bulan, tidak begitu halnya, karena ada faktor peredaran matahari di dalamnya, yaitu 24 posisi matahari. 1 posisi matahari adalah berjangka waktu 15 hari, ada 2 posisi matahari dalam 1 bulan. Posisi ini telah ada sejak zaman Huangdi (2697 SM, 4700 tahun lalu) didasarkan atas 12 cabang bumi yang diciptakan olehnya.
Penanggalan Tionghoa sendiri memperhitungkan peredaran matahari karena Tiongkok sejak dulu adalah negara agrikultur, mayoritas penduduk Tiongkok adalah petani dan petani harus menanam sesuai musim. Musim bergantung pada peredaran matahari, sehingga posisi matahari ditambahkan dalam kalender Tionghoa.
Adapun posisi penting peredaran matahari dalam kelender Tionghoa adalah :
1. Lipchun (mulai musim semi), tanggal 5 Februari
2. Chunhun (tengah musim semi), tanggal 21 Maret (matahari berada di khatulistiwa)
3. Ceng Beng (cerah dan terang), tanggal 5 April
4. Heche (tengah musim panas), tanggal 21 Juni (saat ini matahari berada pada 23.5 LU, siang terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok)
5. Chiuhun (tengah musim gugur), tanggal 23 September (matahari berada di khatulistiwa)
6 Tangche (tengah musim dingin), tanggal 22 Desember (saat ini matahari berada di 23.5 LS, malam terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok).
Dari 24 posisi matahari ini, maka Ceng Beng dan Tangche dijadikan festival penting dalam kebudayaan Tionghoa.
Kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan Ceng Beng
Pada jaman dinasti Tang, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan.
Yang hilang pada saat ini adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan.
Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Ceng Beng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang,kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang.
Konon, ada orang setelah layang-layang berkibar di langit biru, memutus talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke tempat nan jauh, konon ini bisa menghapus penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri sendiri.
Kebiasaan berikutnya adalah menancapkan pohon *Willow*: konon, kebiasaan menancapkan dahan *willow*(pohon Yangliu), juga demi memperingati *Shen Nong Shi*, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan. Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan* willow *di bawah teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Sesuai pameo kuno "Kalau dahan *willow* hijau, hujan rintik-rintik; kalau dahan *willow* kering, cuaca cerah". *Willow* memiliki daya hidup sangat kuat, dahannya cukup ditancapkan langsung hidup, setiap tahun menancapkan dahan willow, dimana-mana rimbun.
Sedangkan sejarah pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu.
Kebiasaan lain adalah bermain ayunan *Qiu Qian *(ðãðè): ini adalah adat kebiasaan hari *Ceng Beng* zaman kuno. Sejarahnya panjang, ayunan pada zaman dulu kebanyakan menggunakan dahan sebagai rangka kemudian ditambatkan selendang atau tali.
Akhir-nya berkembang menjadi 2 utas tali ditambah papan kayu sebagai pijakan kaki yang dipasang pada rangka balok kayu yang hingga kini digemari, terutama oleh anak-anak seluruh dunia.
Selain itu ada kebiasaan bermain *Cu Ju *(sepak bola kuno): *Ju* adalah semacam bola yang terbuat dari kulit, di dalam bola tersebut diisi bulu hingga padat. *Cu Ju *menggunakan kaki untuk menyepak bola (Mirip sepak bola saat ini). Ini adalah semacam permainan yang digemari oleh orang-orang pada saat *Ceng Beng *pada zaman kuno. Konon ditemukan oleh *Huang Di *(kaisar Kuning), pada awalnya bertujuan untuk melatih kebugaran para serdadu.
Ada juga kebiasaan untuk Menanam pohon: sebelum dan sesudah *Ceng Beng*, matahari musim semi menyinari, hujan rintik musim semi betebaran, menanam tunas pohon berpeluang hidup tinggi dan dapat tumbuh dengan cepat. Maka, semenjak zaman kuno, di Tiongkok terdapat kebiasaan menanam pohon di kala *Ceng Beng*. Ada orang menyebut hari *Ceng Beng* sebagai "hari raya penanaman pohon". Kebiasaan ini berlangsung hingga hari ini.
Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini disebut burung walet Zitui. Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming.
Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming,untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyat pun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya. (Dalam kisah ini agak berkaitan dengan Legenda 4 diatas. Namun karena ditemukan pada literatur yang berbeda, penyusun tidak berani mengambil kesimpulan sendiri. Mohon bagi yang lebih paham ceritanya memberikan masukan).
Seperti perayaan lainnya, Ceng Ceng juga memiliki makanan khas seperti makan telur yang kulitnya sudah dilukis, tapi untuk telur yang diukir tidak dimakan. Selain itu ada beberapa yang mungkin tidak pernah ada di Indonesia ini seperti makanan dari daun Ai yang menjadi ciri khas suku Khe, bubur dingin, ciri khas rakyat dibawah kaki gunung Mian, serta Qing tuan adalah makanan khas Qingming dari daerah Suzhou.
Pesan Moral Perayaan Ceng Beng :
Festival Ceng Beng pada akhirnya terkait dengan pilar-pilar budaya Tionghoa yaitu
penghormatan leluhur, makanan, kekerabatan, keselarasan dan harmony, setia, berbakti, dan juga kebersamaan.
Dan hal itu tidak hanya ada pada festival Ceng Beng saja tapi tercermin pada semua festival Tionghoa yang ada.
Dengan menghormati leluhur berarti kita harus menjaga sikap hidup kita agar
tidak mencoreng nama leluhur. Semoga pada perayaan festival Ceng Beng ini kita menyadari bagaimana cara kita menghormati leluhur, caranya sederhana yaitu berikanlah kontribusi positif pada lingkungan kita dan selalulah menjaga perilaku kita agar tidak memalukan para leluhur.
Sumber Penulisan:
1. Berdasarkan cerita turun temurun Masyarakat Tionghoa Indonesia.
2. http://www.hoktekbio.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62:qing-ming-ceng-beng&catid=27:ritual-a-budaya&Itemid=72
3. http://www.wihara.com/forum/artikel-buddhist/6742-cengbeng.html
4. http://www.chinapage.com/festival/qingming.html
5. TRADITIONAL CHINESE CULTURE by Qizhi Zhang.
6. The Legend of the Kite: A Story of China(Make Friends Around the World)by Kuiming Ha, Yiqi Ha. Published by Soundprints
7. http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-41419.html
8. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410
9. Dong Zhou Lie Guo Zhi (東周列國志), Feng, Menglong, 1574-1646, 2008.(pertama terbit 1752, Shanghai shu ju)
10. Buletin Maya Indonesia Dharma Mangala, 9 Maret 2004, tahun I, no 7
11. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410
Tidak ada komentar:
Posting Komentar