A.
Konsep
Kebutuhan Individu
Sebagaimana telah
diuraikan di depan bahwa individu adalah pribadi yang utuh dan kompleks.
Kekompleksan tersebut dikaitkan dengan kedudukanaya sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial. Oleh karena ituselain harus memahami dirinya sendiri, ia
juga harus memahami orang lain dan memahami kehidupan bersama di dalam
masyarakat dan memahami lingkungan sekitar bahwa ia adalah makhluk Tuahan, dan
memahami kebutuhan fisik dan psikologis. Dengan demikian, setiap individu
memiliki kebutuhan karena ia tumbuh dan
berkembang untuk mencapai kondisi psikologis yang lebih sempurna dalam
kehidupanya.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
menuju ke jenjang kedewasaan, kebutuhan kehidupan seseorang mengalami perubahan
dengan pertumbuhan perkembanganya kebutuhan sosial psikologis semakin banyak
dibandingkan dengan kebutuhan fisik karena pengalaman kehidupan sosial semakin
luas. Dan kebutuhan itu timbul karena dorongan-dorongan (keadaan dalam pribadi
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan untuk mencapai
tujuan tertentu Sumadi, 1971 : 70;
Lefton, 1982:137). Lebih lanjut Lefton (1982) menyatakan bahwa kebutuhan
dapat muncul karena keadakan psikologis yang mengalami guncangan atau ketidak
seimbangan. Dan munculnya kebutuhan tersebut untuk mencapai keseimbangan atau
keharmonisan hidup.
Kebutuhan dapat
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kebutuhan
primer dan kebutuhan skunderkebutuhan primer pada hakiatnya merupakan
kebutuhan biologis atau organik dan umumya kebutuhan ini didorong oleh motif
asli. Contoh makan, minum, bernapas, dan kehangatan tubuh. Pada tingkat remaja
dan dewasa, kebutuhan bertambah seperti kebutuhan seksual.
Adapun kebutuhan
skunder umumnya merupakan kebutuhan yang didorong oleh motif yang di pelajari,
seperti kebutuhan untuk mengejar pengetahuan, kebutuhan untuk mengikuti pola
hidup bermasyarakat, kebuthan akan hiburan, alat transportasi, dan semacamya.
Klasifikasi kebutuhan primer dan skunder sering digunakan namun
pengklasifikasian semacam ini sering membingungkan. Oleh karena itu, Cole dan
Bruce (1959) (Oxindine, 1984:227) membedakan kebutuhan menjadi dua kelompok,
yaitu kebutuhan filosofis dan kebutuhan
psikologis dan pengelompokan ini sejalan dengan yang di kemukakan oleh
Murray (1938) (Oxindine, 1984:227) yang menjelaskan istilah yang berbeda, yaitu
kebutuhan viscerogenic dan kebutuhan psychologenic. Seperti contohnya: makan,
minum,istirahat, seksual, perlindungan diri, sedangkan kelompok kebutuhan
psikologis seperti yang di kemukakan Mslow (1943) mencakup;
· Keinginan
untuk memiliki sesuatu
· Kebutuhan
akan cinta dan kasih sayang
· Kebutuhan
akan keyakinan diri
· Kebutuhan
aktualisasi diri
Dalam
bidang kehidupan ekonomi , kebutuhan primer dikenal sebagai kebutuhan pokok
yang mencakup kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut kebutuhan yang mendesak dan harus segera di penuhisedangkan kebutuahan
kedua masih bisa di tunda bilamana dapat di lihat dari skala prioritasnya.
Kebutuhan psikologissemakin luas dan kompleks. Freud mengemukakan bahwa sikap
dan prilaku manusia didorong oleh faktor seksual (dorongan seksual) yang
terkenal sebagai teori libido seksual.
Yang mempunyai prinsip kenikmatan senantiasa mendasari perkembangan sikap dan
prilaku manusia dan dengan prinsip itu, ia menyatakan bahwa faktor pendorong
terutama manusia adalah seksual dan untuk kenikmatan atau kepuasan seksual.
Namun, freud menjadi terkenal sehubungan dengan pandanganya yang menyatakan
bahwa dalam perkembangan manusia terjadi pertentangan antara insting pribadi dan tuntutan masyarakat.
Dalam pendekatan pembentukan
kepribadian, ia mengemukakan penyelesaian pertentanagan dengan
pendekatan analisis pesikologik, sehingga teori freud dikenal denganteori psiko
analisis.
Menurut
teori freud, struktur kepribadian seseorangberunsurkan tiga komponen utama
yaitu: id, ego, dan superego. Ketigannya merupakan faktor penting terhadap
prilaku serta struktur pibadi manusia. Dan teori freud ini terutama diawali
dengan mengemukakan bahwa dorongan utama terutama yang berada pada id, id
dikenal sebagai insting pribadi dan merupakan dorongan asli yang dibawa sejak
lahir danmerupaka sumber kekuatan insting pribadi yang bekerja atas dasar
kenikmatan yang pada proses berikutnya akan memunculkan kebutuhan dan
keinginan. Ego adalah komponen pribadi yang praktis dan rasional; berdasarkan
egonya manusia mencari kepuasan atau kenikmatan berdasarkan kenyataan. Jadi,
ego adalah komponen pribadi yang mewakili kenyataan atau (reaita) yang
berfungsimenghambat munculnya dorongan asli (id) secara bebas dalam berbagai
bentuk. Dengan demikian tugas ego adalah menyelaraskan (menyeimbangkan)
pertentangan yang terjadi antara id dan tuntutan sosial meski kadang-kadang ego
mencegah id untuk mencul, tapi pada umumnya ego mendorong manusia bertindak
berdasarkan id-nya. Adapun superego merupakan pembagian sesuai dengan sistem
moral dan ideal.
Erik
Ericson (Buss, 1978:393-393) dalam menyelesaikan pertentangan antara dorongan
dan tuntutan sosial mengajukan pandangan yang merupakan revisi bagi teori
Freud. Dalam teorinya Erik Ericson lebih
bersifat sosial dan berorientasi pada ego. Ericson lebih melihat kepentingan
sosial. Revisi ini dimaksudkan agar perkembangan manusia lebih dilihat dari
kepentingan sosial.
Carl
loges (1902) (dalam Buss, 1078:395) juga mengemukakan tentang pendekatan
perkembangan pribadi individu. Dan menyatakan seseorang individu pada
hakikatnya mencoba mengekspresikan kemampuan, potensi, dan bakatnya untuk
mencapai tingkat perkembangan pribadi yang sempurna atau mapan. Rogers
menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengaktualitaskan diri,
apabila pengaktualitasan diri dapat diwujutkan, hal itu merupakan pertanda
bahwa individu telah mencapai tingkat pertumbuhan pribadi yang mempunyai
lingkup yang luas sehingga menjadi lebih bersifat sosial dan mampu
mengaktualisasikan diri dengan baik pada konsep dirinya.
Mengapa
manusia berprilaku? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ini menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan organismik (internal) dan pendekatan lingkungan
(eksternal). Prilaku merupakan pengejawatan untuk aktualisasi diri. Perilaku
didorong didorong oleh motif dan berarti kita mengesampingkan faktorlingkungan,
tapi perlu kita ketahui bahwa motivasi dan lingkungan padadasarnya
berinteraksi, sehingga persoalan lingkungan dengan sendirinya tercakup dalam
uraian ini.
Beberapa
psikolog, seperti Carl Rogers (1951), Arthus W. Combs dan Snygg (1959) meyakini
bahwa motif dasar manusia adalah “need for adequacy” yang mereka artikan sebagai
sesuatu “great driving striving, force in each of us by wich we are continually
seeking to make ourselves ever more adequate to cope with live” (Lindgren,
1980:36). Kebutuhan akan keyakinan diri ini diekspresikan melalui dua bentuk
prilaku yaitu kebutukan untuk mempertahankan diri (maintenance) dan
mengembangkan diri (enchancement).sejak lahir hingga meninggal kebutuhan untuk
mempertahankan dirinya agar tetap hidup
merupakan kebutuhan dasar. Hal ini berarti menempatkan funsi organisme
menjadi amat penting artinya. Dan kebutuhan mempertahankan dirinya selain itu
juga setiap individu senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya yang lebih memadai atau menjadi
lebih baik.
Lebih
dari yang dialami binatang manusia bisa mengantisipasi kejadian-kejadian
masadepan, tidak hanya terbatas untuk mempertahankan dirinya pada saat
sekarang, tetapi juga bermaksud mengubah diri dan lingkunganya agar
pengembangan dirinya menjadi lebih baik di waktu yang akan datang, Yang biasa
diartikan sebagai kebutuhan normatif
dan bukan semata-mata kebutuhan
psikologis.
Kebutuhan
psikologis muncul dalam kehidupan manusia, seperti apa yang dialami setiap hari
secara rasional yaitu: senag, puas, susah, lega, kecewa dan semacamnya. Untuk
itu seharusnya manusia belajar memahami norma-norma atau sifat-sifat dari norma
itu, artinya perilaku manusia diarahkan dan disesuaikan dengan kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu dalam kehidupan manusia juga berkembang
kebutuhan-kebutuhan normatif, yang di tentukan dan sesuai dengan
harapan-harapan pihak lain dan yang diterima oleh dirinya sekarang maupun yang
akan datang.
B. Kebutuhan Dasar Individu
Pada
bayi, perilakunya di dominasi oleh kebutuhan-kebutuhan biologis, yakni
kebutuhan untuk mempertahankan diri. Atau bisa disebut dengan definciency need yang artinya kebutuhan
untuk pertumbuhan dan memang di perlukan untuk hidup (survival). Kemudian, padamasa
kehidupan berikutnya, muncul kebutuhan untuk mengembangkan diri. Dan
berkembangnya kebutuhan seperti ini terjadi karena faktor lingkungan dan faktor
belajar; seperti akan kebutuhan cintakasih kebutuhan untk memiliki (yang di
tandai berkembangnya “aku” manusia kecil) seperti yang telah disebutkan Henry
A. Murray (Lindgren 1980:40) menyatakan tentang need for offilation atau
disingkat n’Aff dan need for achievement sebagai n’Ac.
Carl Roger dan Abraham H. Maslow (1954) menyebut n’Aff ini sebagai self actualizing need. Kebutuhan untuk
mengaktualisasi diri yang di tandai oleh berkembangnya kemampuan mengekspresi
diri. Dan kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat tinggi karena termasuk
kebutuhan berprestasi.
Kebutuhan-kebutuhan
sebelumnya adalah kebutuhan untuk memiliki, kepemilikan itu berkaitan dengan
lingkungan manusia maupun yang berkaitan dengan keadakan. Dalam keadakan
tertentu seorang individu berusaha memiliki teman sejawat, mendapatkan kasih
sayang, dan memiliki benda-benda yang disenanginya. Dan hal seperti ini berarti
dalam dirinya telah terjadi kontak dengan hubungan luar diri dengan “yang lain”
atau n’Aff. Sebagaimana telah dikatakan seperti mempertahankan diri.
Remaja
sebagai individu atau manusia pada umumnya juga mempunyai kebutuhan dasar tersebut.
Secara lengkap kebutuhan tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut (Lindgren,
1980:42).
·
Kebutuhan individu untuk mendapatkan
teman sejawat
·
Kebutuhan individu untuk mengembangakan
diri dan memiliki benda yang disenangi
·
Kebutuhan individu untuk berhasil dan
munculnya kebutuhan untuk bersaing
·
Kebutuhan individu untuk mendapatkan
kasihsayang dan cintakasih
Keempat
kebutuhan tersebut bersifat hierarki, dari kebutuhan yang tingkat rendah yaitu
kebutuhan jasmaniah, sampei kebutuhan tingkat tinggi yaitu kebutuhan
aktualisasi diri.
Hierarki diatas sejalan
Seperti yang di kemukakan Maslow (Lefton, 1982:171)
Menurut
Lewis dan Lewis (1993) kegiatan remaja atau manusia itu didorong oleh berbagai
kebutuhan, yaitu:
a)
Kebutuhan jasmani
b)
Kebutuhan psikologis
c)
Kebutuhan ekonomi
d)
Kebutuhan sosial
e)
Kebutuhan politik
f)
Kebutuhan penghargaan
g)
Kebutuhan aktualisasi diri.
C.
Kebutuhan Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja) dan Pemenuhannya
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak
menuju masa dewasa. Hall (dalam Libert dan kawan-kawan, 1974:478) memandang
masa remaja ini sebagai masa”strom and stres”. Ia menyatakan bahwa selama masa
remaja, banyak masalah yang di hadapinya
karena remaja itu berupaya menemukan jati dirinya (identitasnya)- kebutuhan
aktualitas diri. Usaha penemuan jati diri remaja dilakukan dengan berbagai
pendekatan agar ia dapat mengaktualitaskan diri secara baik. Beberapa kebutuhan
remaja dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok kebutuhan antara lain:
1. Kebutuhan
organik, yaitu kebutuhan makan, minum, bernapas dan seks
2. Kebutuhan
emosional, yaitu kebutuhan untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari pihak
lain
3. Kebutuhan
berprestasi atau need of achiment (yang
dikenal dengan A’Ach), yang
berkembang dengan didorong untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan
sekaligus menunjukan kemampuan pisikofisis; dan
4. Kebutuhan
untuk mempertahankan diri dan mengembangkan jenis.
Perumbuhan
fisik dan perkembangan sosial-psikologi pada masa remaja pada dasarnya
merupakan kelanjutan, yang dapat diartikan penyempurnaan proses pertumbuhan dan
perkembangan dari proses sebelumnya. Pertumbuhan fisik ditandai dengan
munculnya tanda-tanda kelamin sekunder merupakan awalmasa remaja sebagai
indikator menuju tingkat kematangan fungsi seksualnya.
Dalam
pertumbuhan dan perkembangan remaja masih mencakup kebutuhan fisik dan
kebutuhan sosil-psikologi yang menonjol, kebutuhan yang keduanya (fisik dan
psikologi) sering terkait. Oleh karena itu, pembagian yang memisahkan kebutuhan
dari dasar kebutuhan fisik dan psikologi pada dasarnya sulit dilakukan secara
tegas. Sebagai contoh”makan” adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan fisik,
tetapi pada jenjang masa remaja “makan dilakukan bersama dengan orang tertentu
orang lai”, makan dengan mengikutiaturan atau norma yang berlaku di dalam
budaya kehidupan masyarakat merupakan kebutuhan yang tidak hanya dikelompok
sebagai kebutuhan fisik semata.
Selain
itu, remaja membutuhkan pengakuan akan kemampuannya, yang menurut Waslow
kebutuhan ini disebu kebutuhan penghargaan. Remaja membutuhkan penghargaan dan
pengakuan bahwa ia (mereka) telah mampu berdiri sendiri, ampu melaksanakan tugas-tugas seperti yang
dilaksanakan orang dewasa, dan dapat bertanggung jawab atas sikap dan perbuatan
yang telah dikerjakan. Faktor nonfisik, yang secara intgratif bergabung didalam
faktor sosial psikologi di jiwai oleh tiga potensi dasar yang dimiliki manusia,
yaitu pikiran, rasa, dan kehendak.
Dalam
kehidupan dunia modern, manusia tidak hanya berpikir tentang kebutuhan pokok.
Pikirannya telah bercakrawala luas sehingga kebutuhan pokonya juga berkembang.
Pendidikan dan hiburan misalnya.
Beberapa
masalah yang dihadapi remaja sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhannya dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Upaya
untuk mengubah sikap dan prilaku kekanak-kanakan menjadi sikap dan prilaku
dewasa, tidak semuanya dapat dengan mudah dicapai baik oleh remaja laki-laki
maupun perenpuan.
2.
Proses Perkembangan Kemandirian
Kemandirian,
seperti halnya kondisi psikologi lain, dapat berkembang dengan baikjika
diberikesempatang untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus
menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan tersebut dapat berupa pemberian
tugas-tugas tanpa bantuan, dan tentu saja tugas-tugas tersebut disesuaikan
dengan usia dan kemampuan anak.
Meningkatkan
banyaknya dampak positif bagi perkembanan individu, kemandirian sebaiknya
diajarkan pada anak sendiri mungkin sesuai dengan kemampuannya. Seperti telah
diakui, segala sesuatu yang dapat diusahakan sejak dinid akan dapat dihayati
dan akan semakin berkembang menuju kesempurnaan. Kemandirian ini harus
disesuaikan dengan usia anak misalnya : Untuk anak –anak yang berusia 3-4
tahun, latihan kemandirian tersebut dapat berupa memberikan kesempatan untuk
memakai kaos kaki dan sepatu, membersihkan mainan setiap kali selesai bermain,
dan lain-lain.
3.
Kemandirian
sebagai kebutuhan Psikologi Remaja
Memperoleh
kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian
tersebut, remaja harus belajar dan berlatih dan membuat rencana, memilih
alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri
serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian,
ia akan beransur-ansur melepas diri dari kebergantungan pada orangtua atau
orang dewasa lainnya.
Dalam
pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sendiri
sedikit demi sedikit dari ikatan pisikis orangtuanya. Remaja mendambakan untuk
diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukakan Erikson
(dalam Hurlock, 1992) yang menanamkan proses tersebut’’ sebagai proses mencari
identitas ego’’.
Dalam
mencapai keinginannya untuk mandiri, sering remaja mengalami hambatan hambatan
yang disebabkan masih adanya kebutuhan untuk bergabung kepada orang lain.
Remaja mengalai delima yang sangat besar antara mengikuti kehendak orangtua
atau mengikuti keinginannya sendiri. Jika ia mengikuti kehendak orangtua, dari
segi ekonomi (biaya sekolah) akan terjamin karena orangtua pasti akan
membantunya. Sebaliknya, Jika ia tidak mengikuti kemauan orangtua, bisa jadi orangtuanyatidak
mau membiayai sekolahnya. Situasi ini sering dikenal sebagai keadaan
anbivalensi dan akan menimbulkan konflik pada diri remaja.
4.
Peran
Orangtua terhadap Pembentukan Kemandirian Remaja
Kemandirian
anak pada berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orangtua. Di
dalam keluarga, orangtualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan
membantu mengarahkan untuk menjadi mandiri. Mengingat masa anak-anak dan remaja
merupakan masa yang penting dalam proses perkembangan kemandirian, pemahaman
dan kesempatan yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan
kemandirian amatlah krusial.
Bagaimana
orangtua harus bertindak dalam menyikapi tuntutan kemandirian seorang remaja,
berikut ini terdapat beberapa saran yang layak untuk dipertimbangkan.
a. Komunikasi.
Berkomunikasi
dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan. Tentu saja, komunikasi di sini harus dua arah, aetinya
kedua belah pihak saling mendengar pandangan dari satu dengan yang lain
b. Kesempatan
Orangtua
sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak remaja untuk membuktikan atau
melaksanakan keputusan yang telah diambilnya.
c. Tanggung
jawab
Bertanggung
jawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci menuju kemandirian.
Dengan bertanggung jawab (betapa pun sakitnya), remaja akan belajar untuk tidak
mengulangi hal-hal yang memberikan dampak –dampak negatif (tidak mengenangkan)
bagi dirinya. Dalam khasus, masih banyak orangtua yang berjuang keras dengan
segala cara untuk membebaskan anaknya dari tahanan, sehingga anak tersebut
tidak dapat memperoleh kesempatan untuk bertanggung jawab atas prilaku yang
diperbuatnya (bahkan tidak sampai melewati pemeriksaan itensif pihak berwajib).
D. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis
pada Remaja
1. Pengertian Kemandirian
Setiap manusia dilahirkan dalam
kondisi yang tidak berdaya, ia akan bergantung pada orangtua dan orang-orang
yang berada dilingkungannya hinggawaktu tertentu. Seiring dengan berlalunya
waktu dan perkembangan selanjutnya, seorang akan perlahan-lahan akan melepaskan
diri dari kebergantungannya pada orangtuanya atau orang lain disekitarnaya dan
belajar untuk mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh
semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia.
Selama masa remaja, tuntutan
terhadap mandiri sangat besar dan jika direspon secara tepat bisa saja
menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologi sang
remaja di masa mendatang.
Kemandirian menurut Sutari Imam
Barnadib (1982), meliputi “prilaku maupun berinisiatif, maupun mengatasi
hambatan/masalah, mempunyai percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri
tanpa bantuan orang lain. Pendapat ini diperkuat oleh Kartini dan Dali (1987),
yang menyatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala
sesuatu bagi diri sendiri”secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian
mengandung pengertia.
1. Keadaan
seseorang yang memiliki hasrat perseorangan maju demi kebaikan dirinya
2. Mampu
mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi
3. Memiliki
kepercayaan dalam mengerjakan tugas-tugasnya,
4. Bertanggung
jawab terhadap apa yanga dilakukan.
Robert
Havighurst (1972) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa
aspek,yaitu:
1. Emosi,
aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak bergantung
pada orang lain,
2. Ekonomi,
aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak bergantungnya
kebutuhan ekonomi pada orang tua.
3. Intelektual,
aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi
4. Sosial,
aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang
lain dan tidak bergantung atau menunggu aksi dari orang lain
d.
Konsitensi
Konsitensi
orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai sejak masa
kanak-kanak dalam keluarga akan menjadi panutan bagi remaja untuk mengembangkan
kemandirian dan berpikir secara dewasa. Orangtua akan konsisten akan memudahkan
remaja dalam membuat rencana hidup sendiri dan dapat memilih berbagai
alternatif.
F.
Implikasi pemenuhan kebutuhan Remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan
Kebutuhan ini harus di penuhi karena
merupakan kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan agar tetap tegar (survival).
Kebutuhan ini sangat di pengaruhi oleh factor ekonomi, terutama ekonomi kepada
keluarga. Tidak terpenuhinya kebutuhan fisik ini akan sangat berpengaruh
terhadap pembentukan pribadi dan perkembangan psikososial seseorang individu.
Untuk itu, latihan kebersihan, hidup teratur dan sehat sangat perlu di tanamkan
oleh orang tua, sekolah dan lingkungan masyarakat kepada anak-anak dan para
remaja.
Khusus
kebutuhan seksual, yang juga merupakan kebutuhan fisik remaja, usaha
pemenuhannya harus mndapatkan perhatian khusus dari orang tua, terutama ibu. Pemenuhan kebutuhan dan dorongan seksual pada remaja, yang
telah menyadari adanya norma agama, sosial dan hukum, banyak di lakukan secara
diam-diam aktivitas onani atau masturbasi. Untuk mengembangkan kemampuan hidup
bermasyarakat dan mengenal berbagai norma sosial, amat penting di kembangkan
kelompok-kelompok remaja untuk berbagai urusan, seperti kelompok olahraga,
kelompok seni dan music, kelompok koperasi, kelompok belajar, dan semacamnya.
E. Kepercayaan Diri Sebagai Kebutuhan Remaja
A. Pengertian Kepercayaan Remaja
Seseorang
yang kehilangan rasa percaya diri (tidak pede), menjadi sesuatu yang sangat
mengganggu, terlebih ketika dihadapkan pada tantangan atau situasi baru.
Seseorang sering berkata pada diri sendiri, “dulu saya tidak penakut seperti
ini....kenapa sekarang jadi seperti ini?” ada juga yang berkata, “ kok saya
tidak seperti dia,...yang selalu percaya diri....rasanya selalu saja ada yang
kurang dari diri saya...saya malu menjadi diri saya!”
Menyikapi
hal seperti ini, muncul pertanyaan: mengapa rasa percaya diri begitu penting
dalam kehidupan seseorang. Lalu, apakah kurangnya rasa percaya diri dapat
diperbaiki sehingga tidak menghambat perkembangan seseorang dalam menjalankan
tugas sehari-hari maupun dalam hubungan interpersonal.
Kepercayaan
diri adalah sikap positif seorang
individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal
ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala
sesuatu seorang diri. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk
pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut bahwa ia merasa
memiliki kompetensi, yakni mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung
oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap
diri sendiri.
B. Karakteristik Individu yang Percaya
Diri
Ciri-ciri
atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional
sebagai berikut:
a.
Percaya akan kompetensi/kemampuan diri,
hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun hormat oarang
lain.
b.
Tidak terdorong untuk menunjukan sikap
konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok.
c.
Berani menerima dan menghadapi penolakan
oarang lain, berani menjadi diri sendiri.
d.
Mempunyai pengendalian diri yang baik
(tidak moody dan emosinya stabil).
e.
Memiliki internal locus of control
(memandang keberhasilan atau kegagalan, bergantung pada usaha diri sendiri dan
tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaaan serta tidak bergantung/mengharapkan
bantuan orang lain).
f.
Mempunyai cara pandang yang positif
terhadap diri sendiri, orang lain, dan situasi di luar dirinya.
g.
Memiliki harapan yang realistik terhadap
diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu
melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Adapun karakteristik
individu yang kurang percaya diri, sebagai berikut:
a. Berusaha
menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan
penerimaan kelompok.
b. Menyimpan
rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan.
c. Sulit
menerima realita diri dan memandang rendah kemampuan diri sendiri, namun di
lainpihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri.
d. Pesimis,
mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif.
e. Takut
gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target
untuk berhasil.
f. Cenderung
menolak pujian yang ditujukan secara tulus.
g. Selalu
memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu.
h. Mempunyai
external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangat bergantung pada
keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain).
C. Perkembangan Rasa Percaya Diri
a. Pola
Asuh
Para
ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri tidak diperoleh secara instan,
melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan
bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang memengaruhi kepercayaan diri
seseorang, faktor pola asuh dan interaksi di usia dini merupakan faktor yang
amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri. Sikap orang tua akan diterima
oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. Orang tua yang menujukkan
perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang
tulus dengan anak akan membangkitkan rasa percaya diri pada anak tersebut. Anak
akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai dimata oarang tuanya. Dan,
meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua, ia melihat bahwa dirinya
tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan bergantung
pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksistensinya. Di kemudian
hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif
dirinya dan mempunya harapan yang realistik terhadap diri seperti orang tuanya
meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.
Lain
halnya denga orang tua yang kurang memberiakan perhatian pada anak, suka
mengkritik, sering memarahi anak, namun kalau anak berbuat baik, meraka tidak
pernah memuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau
menujukkan tidak kerpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan
sikap overprotective yang makin meningkatkan kebergantungan. Menurut para
psikolog, orang tua dan masyarakat sering meletakkan standar dan harapan yang
kurang realistik terhadap seorang anak atau individu. Sikap
membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau membicarakan
kelebihan anak lain didepan anak sendiri, tanpa sadar , menjatuhkan harga diri
anak-anak tersebut.selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend
yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau penerimaan sosial. Contoh
kasus yang real pernah terjadi di tanah air, ketika seorang anak bunuh diri
gara-gara dirinya tidak diterima masuk dijurusan A1 (IPA), meskipun ia sudah
bersekolah di tempat yang elit, rupanya sang orang tua mengharap anaknya
diterima di A1 atau paling tidak A2, agar kelak bisa menjadi dokter.
Situasi
ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak bisa
menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga kini), setiap
orang mengharapkan dirinya menjadi seorang yang bukan dirinya sendiri. Dengan
kata lain memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak tumbuh menjadi individu yang
mempunyai pola pikir bahwa untuk bisa doterima, dihargai, dicintai, dan diakui,
ia harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan mereka. Pada saat
individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri, mereka tidak punya
keberanian untuk melakukannya. Ras
percaya dirinya begitu lemah, sedangkan ketakutannya begitu besar.
b. Pola
Pikir Negatif
Pola
pikir individu yang kurang percaya diri, bercirikan antara lain:
1. Menekankan
keharusan-keharusan pada dir sendiri (“ saya harus bisa begini, saya harus bisa begitu”). Ketika
gagal, ia merasa seluruh hidup dan masa depannya hancur.
2. Cara
berpikir totalitas dan dualisme, “ kalau saya sampai gagal, berarti saya memang
jelek”
3. Pesimistik
yang futuristik : satu saja kegagalan kecil menyebabkan dirinya merasa tidak
akan berhasil meraih cita-citanya di masa depan. Misalnya, mendapat nilai C
pada salh satu mata kuliah, langsung berpikir dirinya tidak akan lulus sarjana.
4. Tidak
kritis dan selektif terhadap self-criticism: suka mengkritik diri sendiri dan percaya
bahwa dirinya memang pantas dikritik.
5. Labeling:
mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan sebutan-sebutan negatif seperti:
“ saya memang bodoh”...”saya dilahirkan untuk jadi orang susah”, dan
sebagainya.
6. Sulit
menerima pujian atau hal-hal positif dari orang lain. Ketika orang memuji
secara tulus, ia langsung merasa tidak eank dan menolak mentah-mentah
pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau
peran yang penting, ia langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak
layak untuk menerimanya.
7. Suka
mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri, senang mengingat dan bahkan
membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang
pernah diraih. Satu kesalahan kecil membuatnya merasa menjadi orang tidak
berguna.
D. Memupuk Rasa Percaya Diri
Seseorang
dalam menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional, harus memulainya dari
dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya dialah yang
dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang dialaminya. Berikut
beberapa saran bagi yang kurang memiliki kepecayaan diri:
a.
Evaluasi diri secara obyektif
Belajar
menilai diri secara objektif dan jujur. Susunlah daftar “kekayaan” pribadi
seperti, prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri, baik
yang sudah disktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki, serta
kesempatan atau sarana yang belum mendukung kemajuan diri. Sadari semua aset
berharga anda dan temukan aset yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang
selama ini menghalangi perkembangan diri anda, seperti: pola pikir yang keliru,
niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan
kesabaran, selalu bergantung pada bantuan orang lain, atau sebab-sebab
eksternal lain. Hasil analisis dan pemetaan terhadap SWTO (Strengths,
Weaknesses, Obstacles, and Threats) diri, kemudian di gunakan untuk membuat dan
menerapkan strategi pengembangan diri yang lebih realistik.
b.
Beri penghargaan yang jujur terhadap
diri
Sadari
dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda miliki.
Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar , berevolusi dan
transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Ketidakmampuan menghargai diri
sendiri mendorong munculnya keinginan
yang tidak realistik dan berlebihan. Contoh: ingin cepat kaya, ingin menjadi
cantik, populer, mendapat jabatan pentng dengan segala cara. Jika ditelaah
lebih lanjut, semua itu sebenarnya bersumber dari rasa rendah diri yang kronis,
penolakan terhadap diri sendiri, ketidak mampuan menghadapi diri sendiri
sehingga berusaha mati-matian menutupi keaslian diri.
c.
Positive Thinking
Cobalah
memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam
benak anda. Katakan pada diri sendiri bahwa nobody’s perfect and it’s okay if I
made a mistake. Jangan biarkan pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa
sadar, pikiran itu akan terus terbakar, bercabang, dan berdaun. Semakin besar
dan menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran
negatif menguasai pikiran anda dan perasaan anda. Hati-hatilah agar masa depan
anda tidak rusak karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru.
Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di-review kembali
secara logis dan rasional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran
itu ternyata tidak benar.
d.
Gunakan self-affirmation
Untuk
mengatasi negatif thinking, gunkan self-affirmation yaitu berupa kata-kata yang
membangkitkan rasa percaya diri:
Contoh:
» Saya
pasti bisa!
» Saya
adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan
hidup saya!
» Saya
bisa belajar dari kesalahan saya ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran
yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan.
» Sayalah
yang memegang kendali hidup ini.
» Saya
bangga pada diri sendiri.
e.
Berani mengambil resiko
Berdasrkan
pemahaman diri yang objektif, anda bisa memprediksi resiko setiap tantangan
yang dihadapi. Dengan demikian, anda tidak perlu menghindari resiko, melainkan
lebih menggunakan strategi-strategi untuk menghindari, mecegah ataupun
mengatasi resikonya. Contohnya anda tidak perlu menyenangkan orang lain untuk
menghindari resiko ditolak. Jika anda ingin mengembangkan diri sendiri (bukan
diri seperti yang diharapkan orang lain), pasti ada resiko dan tantangannya.
Namun , lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa daripada maju dengan
mengambil resiko. Ingat: No Risk, No Gain.
Rasa percaya diri yang berlebihan
pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari
oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orang tua dan masyarakat, hingga
tanpa sadar melandasi individu untuk “harus” menjadi orang sukses. Selain itu,
persepsi yang kelirupun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri
sendiri hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh
kemapuan yang nyata. Contohnya: seorang anak yang sejak lahir ditanamkan oleh
orang tua bahwa dirinya adalah spesial, istimewa, pandai, pasti kan menjadi
orang sukses, dsb. Namun dalam perjalanan waktu , anak itu sendiri tidak pernah
punya track record of success yang real dan original (atas dasar usahanya
sendiri) . akibatnya, anak tersebut tunbuh menjadi seorang manipulator dan
otoriter-memperalat, menguasai, dan mengendalikan orang lain untuk mendapatkan
apa yang dia inginkan . Rasa percaya diri pada individu seperti itu tidaklah
didasarkan oleh real competence, tapi lebih pada faktor-faktor pendukung
eksternal, seperti kekayaan, jabatan, koneksi, relasi, back up power keluarga,
nama besar orangtua, dan sebagainya. Jadi, jika semua atribut itu di
tinggalkan, sang individu tersebut bukan siapa-siapa.
F.
Implikasi pemenuhan kebutuhan Remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan
Kebutuhan ini harus di penuhi karena
merupakan kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan agar tetap tegar (survival).
Kebutuhan ini sangat di pengaruhi oleh factor ekonomi, terutama ekonomi kepada
keluarga. Tidak terpenuhinya kebutuhan fisik ini akan sangat berpengaruh
terhadap pembentukan pribadi dan perkembangan psikososial seseorang individu.
Untuk itu, latihan kebersihan, hidup teratur dan sehat sangat perlu di tanamkan
oleh orang tua, sekolah dan lingkungan masyarakat kepada anak-anak dan para
remaja.
Khusus
kebutuhan seksual, yang juga merupakan kebutuhan fisik remaja, usaha pemenuhannya
harus mndapatkan perhatian khusus dari orang tua, terutama ibu. Pemenuhan
kebutuhan dan dorongan seksual pada remaja, yang telah menyadari adanya norma
agama, sosial dan hukum, banyak di lakukan secara diam-diam aktivitas onani
atau masturbasi. Untuk mengembangkan kemampuan hidup bermasyarakat dan mengenal
berbagai norma sosial, amat penting di kembangkan kelompok-kelompok remaja
untuk berbagai urusan, seperti kelompok olahraga, kelompok seni dan music,
kelompok koperasi, kelompok belajar, dan semacamnya.