Rabu, 06 Agustus 2014

UPAYA MELESTARIKAN EKOLOGI BERDASARKAN ETIKA-ESTETIKA BUDDHIS



Oleh: Samanera Herman Vimalaseno

Mahasiswa STAB Kertarajasa-Batu-Malang-Jatim
Penulis Artikel Buddhis

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Mahāsuci, Yang telah Mencapai Penerangan Sempurna)

Yathāpi bhamaro pupphaṁ, vaṇṇagandhaṁ aheṭhayaṁ
paleti rasamādāya, evaṁ gāme care.

Bagaikan seekor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga
 tanpa merusak warna maupun baunya,
demikian pula hendaknya, orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.

As a bee gathers honey from the flower without injuring
its color or fragrance,
even so the sage goes on his alms-round in the village.
(Dhammapada; Puppha Vagga; 49)

Perspektif pemeliharaan ekosistem dalam Buddhisme, menekankan pelestarian lingkungan hidup. Sehubungan dengan pelestarian lingkungan hidup yang membawa seni keindahana (estetika) telah dijelaskan dalam Dhammapada-Khuddhaka Nikāya, syair 49, yaitu “Bagaikan seekor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya, demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.” Berkenaan dengan hal ini, di dalam ekosistem, lebah tidak sekedar mengambil keuntungan dari madu yang dihasilkan oleh bunga, akan tetapi ada feedback (umpan balik) dari lebah dengan melakukan penyerbukan terhadap bunga. Perilaku lebah telah memberikan ilustrasi estetika yang mampu menginspirasikan setiap individu untuk mampu menggunakan sumber daya alam terbatas. Secara kesimpulan yang telah dijelaskan di dalam Dhammapada bahwa manusia selain mengeksplorasi sumber daya dari alam, sebaiknya menjaga alam dan tidak mengambil sumber daya dari alam dan merusaknya.
Berkenaan dengan ekosistem dan estetika, Buddha menjelaskan di dalam Vinaya Pitaka- bagian vassa, disebutkan mengenai aturan kedisiplinan bagi para Bhikkhu yang sudah memasuki musim vassa (musim penghujan di India, selama tiga bulan) tidak diperkenankan untuk meninggalkan tempat, kecuali dalam keadaan mendesak. Pada masa vassa, dijelaskan apabila para bhikkhu memaksakan diri untuk berpergian, maka ia telah merusak tumbuh-tumbuhan dan dapat menyebabkan makhluk hidup ditanah terinjak dan mati. Apabila hal ini dilakukan, maka bhikkhu tersebut telah melakukan pelanggaran. Fakta menunjukkan esensial dalam menyikapi atau mengimbagi ekosistem lingkungan dengan etika Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.
Melestarikan alam sebagai bentuk estetika, dalam Vinaya Pitaka, Buddha menegaskan bahwa seorang Bhikkhu tidak diperkenankan untuk merusak biji-bijian, mencemari air dan tumbuh-tumbuhan dengan kotoran, seperti air liur, air seni dan tinja. Serta dilarang menebang pohon, bertani, menghidupkan api (memasak). Dalam melestarikan ekosistem umat Buddha diharapkan mampu mengaplikasikan etika Buddhis, sehingga mampu menciptakan estetika dalam kehidupan nyata. Etika menjadi tolak ukur yang sangat mendasar untuk terciptanya korelasi antara ekosistem dan estetika. Selain itu Buddha telah menerapkan ekologi sebagai bagian pengetahuan Dhamma kepada siswanya.
Berkenaan dengan pelestarian lingkungan dan alam, dijelaskan dalam Sekhiyavattha, butir 74, 75-Vinaya Pitaka, yaitu “Seorang Samana (pertapa) tidak diperkenankan untuk buang air besar, air kecil, air ludah ditetumbuhan dan air.” Hal ini sangat jelas Buddha menetapkan etika sebagai dasar untuk terciptanya ekosistem yang berestetika dalam kehidupan seseorang dan berguna bagi lingkungan hidup bermasyarakat.
Berkenaan dengan pengelolaan ekosistem tanpa etika, maka estetika tidak akan terwujud, sebagai efek saat ini semua lapisan masyarakat merasakan dampak dari bencana yang terjadi di Indonesia khususnya. Hal ini terjadi dikarenakan ambisi manusia yang tidak pernah terpuaskan oleh nafsu keinginan (Tanha) dalam mengeksploitasi sumber daya alam secara arogan. Seperti contoh sumber daya laut yang dieksploitasi dengan menggunakan bom rakitan atau racun yang merusak ekosistem, sekaligus estetika kelautan. Hal ini dilakukan tanpa didasari oleh etika manusia. Kasus kedua merupakan penembangan pohon secara liar, tanpa melakukan reboisasi dan menyebabkan erosi dan longsor.
Bencana yang terjadi selain disebabkan oleh sifat arogan dan ambisius manusia. Bencana juga terjadi oleh alam, seperti gempa, gunung meletus, dan tsunami. Dalam Aṅguttara Nikāya Aṭṭhakathā II; 432-Sutta Pitaka, Buddha menjelaskan bahwa terdapat lima hukum (Pañcaniyāma) yang bekerja di alam semesta ini, yaitu utu-niyāma, bῑja-niyāma, kamma-niyāma, citta-niyāma, dan dhamma-niyāma.

a.     Utu-niyāma
Merupakan hukum energi berkenaan dengan sesuatu yang tidak hidup (anorganik). Utu-niyāma bekerja dalam fungsinya di dalam pergantian musim, cuaca, pelapukan benda, proses penguapan, turunnya hujan, proses terbentuknya dan hancurnya planet, dan segala sesuatu yang berkenaan dengan kimia dan fisika.
b.     Bῑja-niyāma
Hukum yang berkenaan dengan hereditas yang bersifat organik. Kerja hukum ini berkenaan dengan proses pertumbuhan pada pohon, mulai dari biji sampai menjadi pohon. Hukum ini juga bekerja dalam proses pembelahan sel pada tubuh makhluk hidup, pembentikan janin, dan menurunnya sifat genetik.
c.      Kamma-niyāma
Hukum perbuatan dan hasil yang bekerja berkenaan dengan sebab-akibat. perbuatan buruk menghasilkan buruk, dan sebaliknya. Hasil dari perbuatan bukan merupakan hadiah atau hukuman, melainkan aksi konsekuensi dari hukum alam yang sewajarnya.
d.     Citta-niyāma
Hukum yang berkenaan dengan kerja batin. Bekerja dengan proses pikiran dan kesadaran makhluk. Kemampuan konsentrasi, kesaktian batin, kemampuan mengingat, bekerja atas hukum ini.
e.     Dhamma-niyāma
Hukum yang berkenaan dengan sifat dasar suatu fenomena yang alami, seperti kodrat, gravitasi, kejadian alam yang khusus dengan menandakan peristiwa besar di alam semesta. Peristiwa itu menyangkut kehidupan Buddha, seperti Kelahiran, Pencapaian Kesempurnaan, dan Mahaparinibbāna. Hukum ini juga bekerja untuk makhluk yang masih mengalami kelahiran dan belum menembus Nibbāna.
            Meskipun kelima hukum ini terlihat terpisah, akan tetapi merupakan satu kesatuan kausalitas. Kausalitas tidak memisahkan sebab dan akibat sebagai dua peristiwa yang berbeda, tetapi dipandang sebagai mata rantai yang saling berurutan dan saling bergantung dalam suatu rangkaian proses. Berkenaan dengan hukum (niyāma) yang saling berkaitan, peran etika sangat penting, karena dapat mempengaruhi iklim dunia. Misalnya kamma buruk yang dihasilkan (vipāka akusalakamma) sebagai akumulasi ketamakan, kebencian, pelanggaran sῑla sampai pada titik tertentu, maka akan terjadi gangguan pada alam atau ekosistem yang dapat berupa: musim hujan yang tidak tepat pada musimnya, cuaca esktrem.
            Etika merupakan sesuatu hal yang vital, karena etika yang buruk akan berdampak fatal pada alam semesta, kaitanya dalam ekologi. Hal ini juga dijelaskan dalam Aṅguttara Nikāya II, 69, Bilamana para raja, para menteri berlaku tidak benar, demikian juga para brahmana, rakyat, penduduk kota dan desa menjadi tidak benar, maka matahari, bulan, bintang, dan konstelasi-konstelasi berubah garis orbitnya. Siang, malam, bulan, musim, dan tahun juga berubah. Angin bertiup pada waktu yang tidak tetap, curah hujan yang berkurang sehingga panen datang pada musim yang salah, maka sebagai konsekuensinya manusia berusia pendek, memiliki rupa yang buruk, lemah, dan banyak penyakit, dan sebaliknya.
            Sebagai kesimpulan diharapkan umat Buddha selayaknya memberikan kontribusi pada lingkungan dengan merealisasi penerapan etika, misalnya menjalankan Pañcasῑla Buddhis, mengembangkan batin melalui meditasi, serta melakukan aksi penghijauan lingkungan, gerakan cinta alam, mengelolah sampah (simbiomasi = Sistem Biopori dan Manajemen Sebab Terintegrasi. *Telah diterapkan di Padepokan Dhammadipa Arama-Batu). Apabila hal ini di praktikkan dengan kesungguhan hati, maka kita telah melakukan upaya melestarikan ekosistem melalui etika dan menghasilkan estetika bagi alam semesta.

Daftar Pustaka:
Bodhi dan Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya. Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa Wisma Dhammaguṇa.

Bodhi. 2010. Tipiṭaka Tematika. Tanpa kota: Ehipassiko Foundation.
Dhammadhῑro. Tanpa tahun. Pustaka Panduan Sāmaṇera. Tanpa kota: Saṅgha Theravāda  Indonesia

Rashid, Teja. 2009. Sῑla dan Vinaya. Jakarta: Bodhi.
Subalaratano dan Widya (Ed.). 2002. Pengantar Vinaya. Tanpa kota: Graha Metta Sejahtera.
Vijāno, Win. 2013. Dhammapada. Tanpa kota: Bahussuta Society.

Vijjānanda, Handaka. 2010. Ehipassiko SMA 1. Tanpa kota: Ehipassiko Foundation.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar