Minggu, 10 Agustus 2014

FILOSOFI TANAH SEBAGAI SUMBER KEHIDUPAN


Oleh: Sāmaṇera Vimalaseno

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa.

Rûpaæ jîrati maccânaæ Nâmagottaæ na jîrati.

(Tubuh jasmaniah makhluk hidup berguguran, tetapi nama serta keturunannya tidak musnah).
(Pepatah Buddhis, 15/210)

Kehidupan yang dilalui selalu menemui lika-liku yang terkadang membuat seseorang menjadi jenuh, lamban, dan malas, bahkan sama sekali memilih tidak mau melalukan apa-apa dalam hidupnya. Kehidupan ini seperti tanah, tanah akan menjadi tandus dan subur tergantung dari kondisi sebab yang terjadi. Tanah di padang yang luas dan tanah di dalam pot atau perkarangan rumah, kebun tertentu berbeda. Perbedaan terletak dari kondisi sebab pelakunya. Tanah di padang yang luas sebagai pengkondisi adalah alam, sedangkan dalam lingkup kecil atau terbatas adalah manusia. Tidak menutup kemungkinan sebab-sebab yang lain. Tanah yang subur di dalam perkarangan rumah, ladang, kebun yang menjadi perhatian serius bagi pelakunya adalah tindakan yang bertanggung jawab, sehingga apa saja yang tumbuh akan menjadi baik dan subur.
Manusia yang hidup saat ini yang menempatkan dirinya sebagai tanah yang tandus adalah sebab ia tidak memiliki pengetahuan, pengetahuan mengenai arti sebuah kehidupan. sehingga apa yang tumbuh dalam dirinya hanyalah gulma (hama), hama itu adalah kebodohan, ketidaktahuan, keserakahan, kemarahan (dukkha). Sebaliknya mereka yang menjadi manusia yang seperti tanah yang subur karena mereka terus menyiram dan memupuk dirinya dengan 3 kondisi dhamma (Pariyatti, patipatti, dan pativedha Dhamma). Orang yang memiliki semangat dan tekad serta usaha (UTS) maka ia akan menghargai hidup ini yang hanya  1 kali ia rasakan secara nyata. Selebihnya ia akan lupa dengan kelahiran-kelahiran sebelumnya dan setelahnya. Maka ada istilah saat ini adalah saat yang terbaik.
Kehidupan tanpa asupan Dhamma akan menjadi tanah atau diri yang tidak seutuhnya sempurna. Sempurna dalam pencapaian yang dituju pada akhir kehidupan umat Buddha, akan tetapi sempurna disini adalah sempurna dalam upaya menjalan 3 kondisi dhamma tersebut. Pencapaian apapun (ariya puggala) atau terlahir dialam bahagia baik menjadi dewa, brahma merupakan efek dari perbuatan yang dilakukan semasa hidup saat ini. Terkadang orang selalu melihat masa lalu, apabila masa lalu itu suram, maka hanya membawa penderitaan, kesedihan, kekecewaan saja. Apabila disikapi dengan positif, itu adalah sebuah pengalaman, akan tetapi jarang manusia dapat memiliki persepsi yang positif mengenai hal yang tidak baik dimasa lalu untuk disikapi pada saat ini. Sebaliknya masa lalu yang baik, apabila dilihat secara terus menerus sebagai dampak yang tidak baik maka ia hanya hidup dalam lamunan. Melekat dan terikat dengan persepsinya yang semu. Sehingga apa yang diharapkan tidak menjadi kenyataan pada saat ini adalah menyebabkan kondisi dukkha yang baru.
Kehidupan saat ini dapat diperumpakan layaknya seorang petani, yang pada mulanya memikirkan tanah yang harus digembur secara berulang-ulang, diairi, diberi pupuk, setelah itu baru di tabur bibit-bibit padi, selanjutnya dibutuhkan perawatan yang intensif sehingga hama dapat diatasi. Pada akhirnya seiring berjalannya waktu, maka padi akan panen dengan hasil yang baik pula, sebaliknya hal buruk juga dapat terjadi disebabkan oleh faktor kemalasan dan kelambanan. Hidup seseorang dibutuhkan sebuah spirit (semangat) dengan memiliki semangat, dukung skill, kemauan, tekad, usaha, semua apa yang dikerjakan, diharapkan akan terwujud. Perumpamaan tersebut dapat dijabarkan dalam kehidupan ini adalah selayaknya sebagai manusia harus memulai hidup ini layaknya seperti tanah yang digembur, diri harus selalu diolah dengan menjalankan sila dan samadhi sebagai pupuk dan air, apabila sila dan samadhi jadikan sebagai alat untuk dirawat di dalam batin, maka niscaya hama seperti lobha, dosa, dan moha akan dapat diatasi, sebagai hasil panen adalah kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan non duniawi.
Kehidupan selayaknya sebagai manusia selalu mengembangkan kebaikan, etika dalam kehidupan merupakan sebagai penunjang sarana untuk mempraktikkan dhamma. Buddha menjelaskan  dalam Mahamaṅgala Sutta, Dhamikka Sutta- Sn, dan Sigalovada Sutta-Dn menjelaskan mengenai etika Buddhis. Selain Itu dalam Brahmajala Sutta dijelaskan setelah meninggalkan dan menghindari pembunuhan. pertapa Gotama meletakkan alat pemukul dan senjata, muak dengan kekerasan, penuh belas kasih dan berdiam mengharapkan kesejahteraan semua makhluk. Tanah yang subur akan menghasilkan tanaman apa saja, misalnya pohon pepaya yang subur akan menghasilkan buah yang manis, dan bijinya dapat disebar dan meneruskan keturunan dari pohon pepaya sebelumnya, dan terus demikian. Sama halnya seperti badan jasmani ini yang dapat digunakan dalam melakukan hal yang terbaik, misalnya dalam rumah tangga, seorang ayah harus bertindak seperti ayah, ibu dapat bertindak seperti ibu, menjaga rumah tangga dengan harmonis, sehingga keturunannya akan mengikuti jejak kedua orang tuanya. Selain itu, nama keluarga akan harum, baik dikenang oleh keturunan dan masyarakat lainnya. Pada saat meninggal orang tua tersebut telah meninggalkan warisan berupa pendidikan dan nasihat pada anak-anaknya, dan keturunannya.
Perbuatan baik juga telah dilakukan Oleh Guru para dewa dan manusia yaitu Buddha Gotama, yang telah menjadikan keturunnya para samana mengikuti Beliau hingga saat ini menjalankan dan mempertahankan Dhamma-Vinaya. Secara filosifi Buddha telah menjaga dan menjadikan tanah yang sangat subur sekali dalam waktu yang panjang dalam dirinya, setelah buah pencapaian yang Beliau peroleh, Beliau ajarkan untuk semua makhluk secara cinta kasih dan kasih sayang. Inilah tanah yang bermanfaat bagi banyak orang. Terkait dengan paham tanah, tanah juga memiliki filosofi sebagai tempat perisitirahat terakhir dalam kehidupan ini (kuburan). Sehingga selayaknya sebagai manusia selalu ingat bahwa kehidupan ini semua makhluk akan mengalami kematian, kematian adalah seseorang khususnya akan meninggalakan jasmaninya dan berangkat menuju kelahiran selanjutnya.
Perbuatan baik dan buruk setiap yang manusia lakukan juga Buddha jelaskan dalam Ambalatthikarahulovada Sutta adalah perbuatan yang dilakukan dari jasmani, ucapan, maupun pikiran yang mengarah pada penderitaan bagi dirinya, orang lain, dan keduanya, perbuatan ini dikatakan sebagai perbuatan yang tidak baik (akusala). Sebaliknya apabila itu  baik maka itu adalah kusala. Sehubungan dengan kriteria baik dan buruk prilaku, Buddha juga menjelaskan dalam Kandaraka Sutta-MN bahwa ada empat macam perbuatan, yaitu: *Seseorang yang menyiksa dirinya (attantapa), seperti pertapa yang mempraktikkan penyiksaan diri. *Seseorang yang menyiksa makhluk-makhluk lain (parantapa), seperti pemburu yang menghancurkan kehidupan makhluk lain. *Seseorang yang menyiksa dirinya sekaligus makhluk-makhluk lain, seperti seorang raja melakukan upacara kurban besar-besaran di mana baik raja maupun rakyatnya menanggung penderitaan tanpa henti ketika mempersiapkan hal-hal untuk upacara kurban, dan binatang-binatang yang dikurbankan juga menderita. *Seseorang yang tidak menyiksa dirinya maupun makhluk-makhluk lain, seperti seorang Arahat.
Sebagai manusia yang selalu menghargai kehidupan ini dengan selalu menjaga kehidupannya dengan moralitas, pengembangan konsentrasi (samadhi), hingga mencapai penembusan Dhamma dengan kebijaksanaan. Buddha menyatakan dalam Mahaparibbana Sutta-DN bahwa samadhi yang dilatih secara terus menerus akan menghantarkan pada penghacuran noda batin, dan dalam Maha Assapura Sutta- MN bahwa moral juga sebagai pendukung untuk perealisasian Nibbāna. Maka daripada itu terus berjuang dengan UTS menjadi tanah yang subur dan menghasilakn buah yang manis untuk semua makhluk.

Refrensi:

Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya
                              Vihāra Bodhivaṁsa, Klaten: 
Wisma Dhammaguṇa.

Bodhi, Nyanaponika. 2003. Majjhima Nikāya. Vihāra Bodhivaṁsa,
Klaten: Wisma Dhammaguṇa.

Bodhi, Nyanaponika. 2010. Tipiṭaka Tematika. Tanpa kota: 
                              Ehipassiko Foundation.

Kaharuddin. 2005. Abhidhammatthasaṅgaha. 
                               Vihara Padumuttara: Tangerang

Tim Giri Mangala Publication 2009. Kotbah-kotbah Panjang-
                             Sang Buddha Dῑgha Nikāya
                             Tanpa kota: Dhammacitta Press.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar